BAGAIMANA KATA BISA JADI TEMANKU?

0

Narasi ini bukan perihal cerita horor. Hanya untuk kalian pecinta intuisi. Dariku berkata “Aku bukan penulis cerita panjang, meskipun diriku suka menulis”.

Panggil saja aku Nona. Kala itu, dengan berbalut seragam putih abu terlintas dalam batinku “Bagaimana diriku bisa berbicara tanpa suara?”. Bagi kalian yang baru saja membaca pertanyaan tadi, mungkin kalian bergumam “Hm.. Pemikiran macam apa itu?”, sembari tertawa kecil dalam hati.

Baiklah, daripada kalian asik menerka, akan kuceritakan alasan di balik stereotipku semasa itu. Kini diriku tidak lagi memakai seragam putih. Duduk bersila, menatap layar persegi panjang kecil berukuran 5 inci. “Saya sudah mengetik dari sedari tadi yah”, ucapku. Berbeda dengan kebanyakan cerita lain yang berkata “Saya mulai mengetik”. Padahal, tadi juga sudah mengetik.

Lanjut perihal ceritaku. Perlu diketahui bahwa diriku tidak seperti anak SMA yang suka banyak bicara dimana gaya bicara di depan umum sangat lancar layaknya MRT. Sementara, saya adalah orang yang sebaliknya yakni tipe orang pendiam. Seandainya terdapat ajang reword of the record orang paling pendiam sudah pasti jatuh pada namaku.

Diam adalah cara khusus untuk mengamati dan mengagumi apa yang ada di sekeliling. Walaupun hal tersebut hanya sebatas pikir dan rasa. Bagiku, suara bukan media tepat untuk menampilkan spektrum emosi. Akhirnya, tulisan menjadi kunci untuk melampirkan bagaimana pemikiranku terhadap dunia. Beberapa orang yang pasti paham isi dari tulisanku ialah orang yang bernasib sama seperti diriku. Sisanya hanya menikmati diksi yang kurangkai menjadi beberapa potong kalimat. Namun, mereka tidak memiliki kuasa untuk menafsirkannya.

 

Siapapun yang mengalami kondisi serupa diriku. Berikut kalimat yang kupersembahkan guna menjadi pegangan dalam menjalani hidup, “Tak apa jika dirimu tak sanggup bersua, tak bisa langsung menyahut lemparan kata orang-orang yang pandai berargumen, dan hal lain yang memang enggan kau lakukan. Apakah hati dan pikiran punya bibir sendiri untuk berucap menjelaskan yang ingin disampaikan?  Bukankah keduanya itu membutuhkan mulut sebenarnya?”

Beruntungnya, Sang Khalik selalu unik. Menciptakan rasa yang tak harus dikatakan namun, bisa dibaca dan dirasakan.  Itulah kita, para pengungkap rasa lewat coretan kata.  Bukan mereka yang menganggap diri bisa karena bisa bersua dengan percayanya.

Kesimpulannya, kata bisa menjadi teman di saat seseorang tidak dapat mengungkapkan gagasan melalui suara. Orang yang memiliki sifat demikian cenderung menggunakan media sebagai ajang untuk mengkontekstualisasikan pemikiran pribadinya terhadap dunia. Salam… (DEW)

Christhi Junyati Madjeni*

Christhi Junyati Madjeni*

*Christhi Junyati Madjeni. Alumni Ners Unik (Email: christhi.junyatimadjeni@gmail.com)

About author

No comments