HOAX DI TENGAH PANDEMI YANG BERUJUNG TERALI BESI

0

Saat ini seluruh dunia telah mengalami perubahan. Pandemi yang terjadi akibat merebaknya virus corona (Covid-19) tidak hanya membuat ekonomi global berantakan, namun juga berdampak pada tatanan dunia. Implikasinya masyarakat dunia yang akrab dengan ‘interaksi’, kini harus hidup dengan menerapkan serangkaian ketentuan protokol kesehatan. Di dalam tempo yang relatif singkat, berbagai aktivitas harus dihindari guna memutus mata rantai Corona Virus. Di antaranya budaya berjabat tangan, menyentuh, memeluk, berkumpul,  dan lain sebagainya. Tentu tidak mudah menerima pola dinamisasi ini, karena hakikat manusia ialah makhluk sosial yakni membutuhkan orang lain di sekitarnya. Namun, itulah kenyataan hidup yang harus dihadapi akibat dari pandemi ini. Ya, bisa diakumulasikan bahwa corona cukup melumpuhkan dunia, tidak hanya negara berkembang saja seperti Indonesia, bahkan negara maju sekelas Amerika dibuat oleng olehnya.

Kondisi tersebut otomatis memaksa sebagian masyarakat untuk di rumah saja  dan membatasi aktivitas di luar rumah. Dengan banyaknya waktu berdiam diri di rumah, tentu saja menimbulkan perasaan stres dan bosan bagi masyarakat yang terbiasa aktif di luar dalam kesehariannya. Banyak kantor-kantor yang menerapkan work from home (WFH), banyak resto yang hanya menerima delivery order (D.O), bahkan seluruh kegiatan sekolah dilaksanakan dengan sistem daring. Tak heran, perusahaan telekomunikasi adalah perusahaan yang paling diuntungkan dengan adanya pandemi ini. Hal ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan sektor usaha-usaha lainnya yang harus gulung tikar akibat pandemi ini.

Melalui kemudahan teknologi komunikasi dan informasi yang telah berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman, memicu adanya beragam media termasuk media online yang ditawarkan. Di dalam penggunaannya, media online ini sebagai wadah penyebaran informasi yang sangat mempengaruhi masyarakat baik cara penyampaian informasi maupun mindset masyarakat dalam mengonsumsi informasi tersebut. Satu hal yag disoroti ialah saat ini penyebaran berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal saja, namun siapapun dapat berperan dalam distribusi informasi termasuk informasi yang tidak benar (hoax) sekalipun.

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Kediri digemparkan dengan warganya yang tertangkap dalam kasus hoax yang menimpa penyanyi terkenal Syahrini. Siapa yang menyangka admin akun gosip @danunyinyir99 adalah seorang ibu rumah tangga dan merupakan warga Kediri berinisial MS. Dalam pemeriksaan polisi, tersangka mengaku sebagai pemilik akun dan yang mengunggah video syur di akun medsos miliknya tersebut. Tersangka juga mengunggah gambar Syahrini yang digabungkan dengan gambar video seseorang. Motif dari perbuatan pelaku sendiri adalah karena kebenciannya terhadap Syahrini dan rasa fanatismenya terhadap seorang artis lain yang diidolakannya. Selanjutnya setelah diselidiki lebih mendalam, ternyata tidak hanya murni rasa benci saja yang menyebabkan tersangka melakukan perbuatan tersebut, ada motif ekonomi di balik pembuatan akun tersangka. Tersangka mengunggah video hoax tersebut adalah untuk menarik  banyak followers, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membuka endorse. Atas perbuatannya tersebut, tersangka dijerat dengan Pasal 27 jo Pasal 45 Undang-Undang ITE dan Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang ancaman hukumannya paling lama 12 tahun dan denda sekitar Rp250 juta sampai Rp6 miliar.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh bahwa kita boleh tidak suka terhadap orang lain, namun jangan sampai ketidaksukaan tersebut menyebabkan diri kita sendiri terjerumus ke masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Disadari atau tidak faktor di rumah saja memberikan ruang yang lebih luas kepada siapa saja dapat jatuh di lubang hoax. Maka tak heran, jumlah kasus hoax ini meningkat di saat pandemi corona berlangsung. Masyarakat yang terbiasa berinteraksi secara langsung banyak dibatasi karena alasan kesehatan dan keselamatan bersama, sehingga mereka semua beralih ke sarana komunikasi dan media online. Di samping itu, ditunjang juga dengan semakin pesatnya perkembangan sarana teknologi dan informasi, semua bisa diakses hanya melalui gawai.

Sebuah pengetahuan bersama keberadaan UU No. 16 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebenarnya sudah cukup lama berlangsung. Semua hal yang penting juga sudah diakomodir dan diatur dalam UU tersebut. Latar belakang munculnya pembentukan UU ITE tersebut adalah untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Selain itu, sejalan dengan berkembangnya kejahatan dalam masyarakat, sehingga hukum juga harus upgrade agar fungsinya sebagai pemberi rasa aman dapat terpenuhi. Karena pada dasarnya hukum itu tidak statis, melainkan dinamis. Hukum harus dapat diaplikasikan dan mengikuti kondisi di masyarakat. Dengan adanya undang-undang ini, maka diharapkan masyarakat “takut” untuk melakukan kesalahan. Akan tetapi,  realisasinya masih saja ada orang yang melanggar undang-undang ini, bahkan jumlahnya semakin bertambah di tengah pandemi sekarang. Padahal secara gamblang disebutkan dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE bahwa penyebar informasi tidak benar alias hoax bisa terkena sanksi berat, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar”.

Hal demikian ini membuktikan bahwa masyarakat sendiri juga belum memiliki kesadaran dalam memanfaatkan internet sebagai media mengekspresikan pikiran dan gagasan dengan bijaksana, termasuk juga dalam memilah konten-konten di media online mana yang bermanfaat maupun tidak. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang tidak diimbangi dengan peningkatan sikap masyarakat dalam menghadapi berita-berita atau info yang beredar luas justru menjadi bumerang bagi masyarakat penggunanya sendiri. Selain itu, persoalan yang kemudian muncul adalah mengenai pengawasan atas pelaksanaan UU ITE yang hampir tidak terlaksana. Masih banyak masyarakat awam yang belum paham mengenai apa-apa yang diatur dan dilarang oleh undang-undang tersebut.

Oleh karena itu, seyogianya perlu memaksimalkan fungsi aparat hukum, sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dibidang teknologi informasi dengan memberikan pembinaan dan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat. Khususnya adalah masyarakat awan, guna meminimalisir bentuk-bentuk kejahatan yang mungkin dapat muncul dari adanya berita-berita dan info hoax tersebut. Dalam hal ini, kesadaran masyarakat menjadi poin penting dalam mengatasi kejahatan-kejahatan dunia maya salah satunya kasus hoax. Kolaborasi tersebut untuk menjaga ketahanan dan keamanan masyarakat suatu negara dari ancaman berita-berita bohong (hoax) baik dari dalam maupun dari luar negeri, karena mengingat teknologi informasi dapat berkembang dengan cepat dalam waktu yang singkat. Salam… (DT)

Nila Galih Roosanti, S.H., M.H.*

Nila Galih Roosanti, S.H., M.H.*

*Nila Galih Roosanti, S.H., M.H. adalah dosen Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syariah IAIN Kediri (email: nroosanti@gmail.com)

About author

No comments