Ibnu Taimiyyah Inspirator Neo Sufisme

0

Pada era modern ini yang banyak sekali permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia selain kemudahan-kemudahan yang ia tawarkan bagi manusia. Namun disamping itu modernitas juga menimbulkan krisis multi dimensi yang tak berkesudahan yang dialami oleh manusia modern di era dewasa ini.

Di antara krisis yang sedang dialami oleh manusia modern tersebut adalah krisis spiritual yang begitu parah, yang tidak pernah terjadi sepanjang perjalanan sejarah peradaban manusia hidup dibumi ini. saat ini manusia tengah terjebak dalam dunia paradoks yang menggiring mereka ke dalam keagamaan yang absurd dan profan. Manusia modren menemui jalan yang terputus dengan jalan zaman sejarah agama-agama mulai terbentuk,di antaranya termasuk agama Islam.

Fazlur Rahman merupakan seorang pembaharu Islam dari Pakistan yang terinspirasi dari pendahulunya Ibnu Taimiyah. untuk mencoba menjawab permasalahan yang tengah dialami oleh manusia modern saat ini, dengan memunculkan konsep kesufian yang baru yang ia sebut dengan neo-sufisme.

Neo sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni fazlur rahman (1919-1988) dalam bukunya, “ISLAM”(1979). Kemunculan istilah itu tidak begitu saja diterima oleh para pemikir muslim, tetapi justru memancing polemik dan diskusi yang luas.

Sebelum Fazlur Rahman, sebetulnya di Indonesia Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya” tasawuf modern”. Tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata neo-sufisme, akan tetapi secara konsep dan paradigm berpikirnya memiliki kemiripan. Keseluruhan isi buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf Al-Ghazali kecuali dalam masalah uzlah. Jika Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.

Menurut Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut neo sufisme, adalah Ibnu Taimiyah (w. 728H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qayyim, yaitu tipe tasawuf yang terintregasi dengan syariah.

Kebangkitan sufisme di dunia islam dengan  sebutan neo sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama seperti penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi, selaku produk modernisme. Modrenisme dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya orang kembali keagama. Karena, salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan (Rivey Siregar).

Di samping itu Menurut Rahman neo sufisme ini muncul karena penolakan terhadap konsep zuhud pada kaum sufi terdahulu yang cenderung melakukan isolasi diri. Yang menimbulkan keganjilan dalam beragama Islam. Hal ini menurut Rahman tidaklah sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-Hadist. karena hal itu tidaklah membuat seseorang beragama Islam secara kaffah.

Neo-sufisme adalah ”reformed sufism”, sufisme yang telah diperbaharui. Jika pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat estatik-metafisis atau mistis filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau di reform dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks.

Fenomena neosufisme yang Falzur Rahman munculkan hampir sama dengan yang dilaukan Tariqah Sanusiyah yang ada di afrika utara, yang didirikan oleh Muhammad bin Ali-al Sanusi (w. 1275 H) di Mekah. Tariqah Sanusiyah adalah sebuah Tariqah yang menerapkan kesufian yang ketat namun mereka aktif dalam praksis kemasyarakatan.

Tujuan dari neosufisme sendiri sebenarnya adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi, atau lebih dikenal dengan penyeimbangan (tawazun) antara yang bersifat duniawi dengan yang bersifat ukhrawi agar tercapainya pemahaman Islam secara kaffah tidak secara parsial saja.

Sikap puritanis pendukung neo-sufisme menyebabkan persebrangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan para pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif. Berlainan dengan neo sufisme, yang malah mendorong dan memotivasi para pengikutnya agar aktif dan kreatif dalam kehidupan ini, yang bersifat karya-karya praktis maupun dalam kreatifitas intelektual.

Sufisme terdahulu kelihatannya cenderung tertutup terhadap perkembangan pemikiran diluaran, sehingga pengertian uzlah itu bukan saja dalam arti lahiriyah, tetapi juga dalam pengertian uzlah dari pendapat yang beragam. Lain halnya dengan neosufisme, kelihatannya justru sangat mendukung keanekaragaman pemahaman keagamaan dan hidup dalam pluaritas masyarakat manusia.

Artinya, bahwa neo sufime berupaya untuk menampung berbagai paham yang berkembang baik yang bersifat hukum atau fiqih, aspek teologis maupun aspek sufisme untuk kemudian dikristalisasikan. Mereka tidak menutup diri dari perkembangan dunia dan peradaban manusia, tetapi justru sangat menekankan pentingnya perlibatan diri dalam masyarakat secara intensif. Cara pandang dan gaya hidup yang demikian di tuangkan dalam semacam dotrin yang disebut “ Ruhaniyah Al-Ijtima’iyah” atau spiritualisme sosial, istilah ini berasal dari judul buku karangan Dr. Said Ramadlan, yaitu seorang penggerak neo sufisme di Jeneva.

Sebenarnya pada hakekatnya di neo sufisme bukanlah ittihad, fana’ baqa’, hullul atau wahdatul wujud yang menjadi tujuan utama,-notabene manifestasi kesalehan pribadi-. Namun yang menjadi tujuan neosufisme adalah kesalehan sosial yang imbang antara esoteris dan eksoteris.

Pendekatan esoteris; keduanya (sufi lama dan neo-sufisme) sama dalam hal  berkeyakinan, bahwa untuk memahami dan menghayati keagamaan harus melalui pendekatan pengalaman metafisis atau al-kasyf. Namun dalam dalam hal kemutlakan nilai kebenarannya, terlihat antara keduanya ada perbedaan yg tajam.

Jika sufisme terdahulu meyakini secara mutlak kebenaran yang diperoleh melalui esoteris-al-kasyf, tetapi neo-sufisme akan menyakini kebenaran itu apabila sejajar dengan syariat. Di samping itu, sufisme terdahulu hanya mengakui pendekatan esoteris satu-satunya yang dapt di gunakan dalam rangka penghayatan keagamaan, tetapi neo-sufisme tetap mengakui terhadap pluralitas pendapat.

Sikap uzlah kalau sufisme terdahulu menempuh cara hidup ‘uzlah total, maka neo-sufisme menempuh cara itu hanya sewaktu diperlukan saja sekedar untuk menyegarkan wawasan melalui musahabah-introspeksi diri untuk nantinya kembali kepada kehidupan masyarakat menyeimbangkan kesalehan pribadinya dengan kasalehan sosialnya.

Konsep zuhud (askestisme), apabila sufisme terdahulu “membenci” kehidupan duniawi karena dianggap menghalangi pencapaian tujuan, tetapi neo-sufisme menyakini kehidupan duniawi ini sangat bermakna dan sangat penting. Oleh karena itu, kehidupan duniawi harus diperjuangkan dan harus disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi.

Menurut pandangan ini, makna kehidupan duniawi tergantung pada keterkaitannya dengan nilai ukhrawi yang dihasilkan aktivitas duniawi itu. Karena mereka berkeyakinan, bahwa neo-sufisme menjadi satu-satunya alternative culture yang dapat meng-counter buadaya materialisme-konsumeris dan hedonis yang menrupakan anomali kehidupan modern. Salam… (@D)

Mubaidi Sulaeman*

Mubaidi Sulaeman*

*Mubaidi Sulaeman; Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar

About author

No comments