KISAH DI BALIK PANTANGAN MAKAN LELE BAGI WARGA LAMONGAN

0

Setiap daerah tumbuh dari waktu ke waktu dengan membawa kisah yang berbeda-beda. Kisah yang terkadang menjadi ciri khas atau keunikan dari daerah tersebut. Seperti kisah yang ada di daerah Lamongan, tepatnya desa Barang, Lamongan, tempat penulis tinggal.

Kisah yang menjadi salah satu keunikan yang menonjol di lingkungan desa penulis adalah pantangan memakan ikan lele. Apakah kalian pernah mendengar cerita ini? Jika belum, simak kisah menarik berikut ini.

Sebelum kita ke pembahasan inti, pertama-tama kalian kenal tidak dengan Lamongan? Atau mungkin mengenal Persela? Soto Lamongan? Nasi Boran? Apabila kalian pernah datang ke Lamongan dan menemukan patung Bandeng & Lele di beberapa jalan, jangan heran ya, karena itu adalah lambang dari kabupaten Lamongan. Lambang Lamongan sendiri memiliki sembilan unsur yang memiliki maknanya masing-masing, yaitu:

  1. Bentuk segilima sama sisi melambangkan dasar negara Pancasila.
  2. Bintang bersudut lima melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  3. Keris melambangkan kewaspadaan dan menandakan sejarah panjang Lamongan.
  4. Bukit atau gunung tidak berapi melambangkan Lamongan memiliki daerah pegunungan yang mengandung bahan untuk pembangunan seperti adanya Gunung Mas Lamongan yang merupakan bukit kapur.
  5. Ikan Lele melambangkan sikap hidup ulet tahan menderita, sabar tetapi ulet, dan bila diganggu akan berbahaya menyerang dengan senjata patilnya.
  6. Ikan Bandeng melambangkan potensi komoditi Lamongan.
  7. Air beriak di dalam tempayan melambangkan bahwa air selalu menjadi masalah, di musim hujan terlalu banyak air sedangkan di musim kemarau kekurangan air.
  8. Tempayan Batu melambangkan tempat air bersih yang dapat diambil oleh siapapun yang memerlukan.
  9. Padi dan kapas melambangkan kemakmuran rakyat dalam arti kecukupan pangan, sandang, dan lain-lain.

Kabupaten Lamongan dan ikan lele seolah menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Selain masuk sebagai lambang kabupaten, ikan lele juga memiliki sejarah dan mitosnya sendiri. Mitos tersebut terkait dengan larangan bahwa warga Lamongan asli dilarang mengonsumsi dan berurusan dengan ikan lele. Mari kita mengulik mitos ikan lele di Kabupaten Lamongan tersebut. Awal mula kisah warga Lamongan pantang memakan ikan lele itu sebenarnya terdapat beberapa versi.

Pertama, terkait mitos tersebut didapatkan cerita bahwa pada zaman kerajaan di tanah Jawa ada seorang Nyi Lurah yang meminjam keris salah seorang Waliyullah atau sunan yang dikenal sebagai Sunan Giri. Nyi Lurah tersebut meminjam keris kepada Sunan Giri guna mencegah adanya ontran-ontran atau kerusuhan wilayah sekitar Bojonegoro. Sunan Giri meminjamkan keris tersebut dengan syarat bahwa keris tidak boleh digunakan untuk berbuat kekerasan dan harus dikembalikan kepada beliau secara langsung setelah tujuh purnama.

Tujuan Nyi Lurah untuk mencegah kerusuhan tersebut berhasil, tetapi apakah keris tersebut dikembalikan oleh Nyi Lurah? Tidak, ia belum juga mengembalikan keris tersebut. Sunan Giri merasa khawatir kalau-kalau keris tersebut digunakan untuk hal yang tidak baik alias disalahgunakan. Sunan Giri pun mengutus salah satu muridnya untuk menemui Nyai Lurah. Murid Sunan Giri tersebut bernama Boyopati. Kedatangan Boyopati lantas tidak membuat Nyi Lurah mau untuk mengembalikan keris pusaka tersebut. Nyi Lurah sangat bersikeras untuk tidak mengembalikan keris. Hingga akhirnya, Boyopati memiliki rencana untuk mengambil keris secara diam-diam.

*) Makam Mbah Boyo Pati

Boyopati memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil mengambilnya. Sayang sekali, Nyi Lurah cepat menyadari hilangnya keris pusaka tersebut dan memanggil warga desa untuk mengejar Boyopati. Kejar-kejaran berlangsung sangat panjang hingga memasuki daerah Lamongan. Di sekitar daerah Babat-Pucuk, Boyopati terpojok di sebuah pohon asam besar tetapi berhasil mengatasi. Hingga akhirnya, dalam perjalanan Boyopati menemukan sebuah kolam yang berisi ikan lele, karena sudah merasa terpojok Boyopati pun berdoa kepada Allah dengan tekad beliau menyeburkan diri ke kolam ikan lele.

Warga yang mengejar sudah sampai dekat kolam ikan dan tidak menemukan Boyopati. Sempat salah satu warga curiga bahwa Boyopati masuk ke dalam kolam ikan lele. Akan tetapi, banyak warga yang sangsi dengan kecurigaan tersebut karena ikan lele sangatlah berbahaya. Patil yang dimiliki ikan lele bisa melukai seseorang apalagi dengan banyaknya ikan lele yang ada di kolam tersebut. Kerumunan warga pun menyerah dan kembali ke rumah masing-masing. Boyopati kemudian keluar dari kolam tersebut dan sangat bersyukur atas perlindungan-Nya. Sejak saat itu, Boyopati bersumpah bahwa keturunannya tidak akan memakan ikan lele yang telah melindungi dirinya dari bahaya. Dari cerita tersebutlah mitos berkembang di masyarakat. Masyarakat yang telah sangat mempercayai mitos dan memaksakan diri untuk mengonsumsi ikan lele akan mendapati kulitnya menjadi belang-belang.

Versi kedua, cerita ini diambil dari sebuah kisah ketika Sunan Giri III atau bernama asli Sudamargo, beliau blusukan di pesisir selatan, ke daerah penyebaran Islam dengan menggunakan perahu menelusuri sepanjang aliran Bengawan Solo hingga ke desa-desa. Sesampainya di desa Barang (sekarang masuk wilayah Kecamatan Glagah Lamongan), malam sudah larut, sinar terang bulan purnama menuntun langkah Sudamargo meyusuri desa satu ke desa lainnya. Hingga pada suatu tempat, Sudamargo melihat lampu godog (sejenis oblek) yang menyala di sebuah gubuk di sudut desa. Sudamargo lantas menghampiri sumber cahaya tersebut. Disitu didapatilah seorang wanita yang dikenal seorang Mbok Rondo sedang menjahit pakaian, lalu Sudamargo menghampiri dan berbincang-bincang. Perbincangan antara keduanya terjadi sampai larut malam. Di akhir perbincangan, akhirnya Sudamargo berpamitan untuk pergi.

Namun, Sudamargo lupa mengambil keris miliknya yang diletakkan di bale (ruang tamu), selama dia berbincang dengan Mbok Rondo tadi. Dia baru sadar ketika sudah tiba kembali di Giri. Kemudian Sudamargo memerintahkan salah satu orang terdekatnya Ki Bayapati untuk kembali ke Desa Barang guna menggambil keris pusakanya yang tertinggal di bale gubug Mbok Rondo. Keberadaan keris tersebut diketahui oleh Mbok Rondo, seketika wanita ini mengambil dan menyimpannya untuk kemudian dikembalikan apabila Sudarmaga kembali menggambil keris itu sendiri. Saat ditugasi oleh Sudamarga untuk menggambil kerisnya, Ki Bayapati menggunakan kemampuan ilmu sirepnya agar cepat menuju ke gubug Mbok Rondo. Sesampainya di gubug Mbok Rondo, Ki Bayapati menggambil keris itu dengan cara sembunyi-sembunyi.

Akan tetapi, sepandai apapun Ki Bayapati, cara tersebut diketahui oleh Mbok Rondo yang disambut dengan terikan maling. Mbok Rondo menggangap utusan dari Sudarmago ini sedang mencuri keris, padahal yang terjadi sebenarnya adalah ingin mengembalikannya. Teriakan Mbok Rondo membangunkan tetangga dan semua warga desa Barang. Kemudian, massa mengejar Ki Bayapati yang diduga mencuri keris pusaka itu. Karena panik dikejar warga, Ki Bayapati lari dan memberanikan diri terjun ke jublang (kolam) untuk menghindari kejaran dan amukan warga Barang. Tanpa disangka, tiba-tiba kolam tersebut dipenuhi ikan lele yang berenang di permukaan kolam. Keberadaan Ki Bayapati tersembunyikan oleh munculnya ikan-ikan lele tersebut. Warga pun menganggap bahwa Ki Bayapati meninggal karena tak terlihat lagi, padahal masih hidup. Karena berjasa menyelamatkan hidupnya, Ki Bayapati pun bersumpah jika dia dan semua keturunannya tidak akan memakan ikan lele.

Ki Bayapati lalu segera meninggalkan lokasi kolam tersebut dan kembali ke Giri. Ki Bayapati lantas menceritakan kejadian aneh tersebut sambil mengembalikan keris kepada tuannya (Sudamargo). Karena jasanya, akhirnya Sudamargo menghadiahkan kerisnya yang sekarang disebut dengan Koro Welang kepada Ki Bayapati. Lalu Ki Bayapati mendapat gelar dari Sudamargo dengan nama ‘Sayyid adb. Shomad’. Setelah pengabdiannya yang begitu lama kepada Sudamargo, Ki Bayapati meminta izin kepada gurunya untuk kembali ke Lamongan untuk membabad desa dan mengajarkan agama Islam serta mendirikan desa-desa. Desa yang pertama dibabad adalah Desa Barang, tempat dimana dia diselamatkan oleh ikan lele. Ki Bayapati juga di makamkan di tempat tersebut dan dimuliakan oleh masyarakat setempat.

Itulah kisah-kisah di balik adanya pantangan bagi warga untuk memakan ikan lele. Kisah tersebut adalah kisah yang turun-temurun dari mulut ke mulut. Kisah tersebut bisa menjadi salah satu keunikan atau kekayaan yang dimiliki oleh warga Lamongan. (EN)

Biografi Penulis

*) Putri Ayu Nadhila

Email:

ayup40416@gmail.com

Aktif dalam organisasi IPNU IPPNU IAIN KEDIRI

*) IPNU IPPNU IAIN Kediri

About author

No comments