KULTURALISASI ISHARI

0

‘Membumikan Sholawat’,  merupakan semboyan menarik sebagai simbol cinta rosul pada era milenial khususnya di zaman ini. Fenomena ini sebenarnya sudah sangat tidak asing bagi kita. Khususnya para pecinta musik religi yang sudah sekian lama menggandrunginya. Seperti pada umumnya musik, sholawat juga mempunyai alirannya masing-masing begitu pula dengan karakteristik yang berbeda di setiap pembawaan musik ataupun liriknya. Contohnya hadrah, banjari, dan habsyi. Salah satunya dalam studi kasus yang kali ini akan penulis bahas adalah mengenai kulturalisasi Hadrah ISHARI di Desa Tapen, tempat kelahiran penulis.

ISHARI pada awal pendiriannya bernama Jam’iyyah Hadrah yaitu sebuah kumpulan yang berkegiatan kesenian rebana dengan diiringi bacaan Sejarah Kelahiran dan Perjuangan Nabi Besar Muhammad SAW (Perpaduan Antara Kitab Maulid Syaroful Anam dan Kitab Diwan Al Hadroh) dengan paduan gerakan dan bunyian keplok tangan yang teratur dan indah sehingga terpadu antara bunyi rebana. Suara merdu dari pembawa syair sahutan jawaban bacaan sholawat dari para peserta serta gerakan-gerakan yang menandakan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jam’iyyah ini didirikan oleh Hadrotus Syeikh KH. Abdurrokhim bin Abdul Hadi di Pasuruan sekitar tahun 1918–an.

Berawal dari Abah dan beberapa kelompok dari berbagai kecamatan di daerah utara Brantas yang aktif menggeluti ISHARI. Khususnya di utara Brantas memang awalnya masih sangat sedikit peminatnya.  Berhubung pada tahun itu, awal 2000-an memang pengenalan ISHARI pada khalayak umum masih sangat baru dan asing. Pembentukan anggotanya juga tidak seperti kebanyakan kecamatan di daerah Jombang yang sudah membentuk cabang di wilayahnya masing-masing.

Di utara Brantas ini, tergolong dari 4 kecamatan yang menjadi satu kelompok. Kudu, Plandaan, Ploso, dan Kabuh. Sebenarnya, awal pembentukan di Jombang sendiri sudah lama, yaitu sejak pembentukan Komite Hijaz secara diam-diam pada tahun 1926. Berdasarkan klasifikasinya dalam pembawaan sholawat ISHARI ini ada beberapa hal yang unik dan berbeda. Sholawat yang dibawakan merujuk pada kitab al-‘iqdud dhurori ,pembawaan rowi-rowi irama dengan unik dan khusus, serta juga gerakan roddat yang dibawakan anggota khusus juga. Juga pukulan khas yang mengeluarkan bunyi pukulan yang berbeda dengan rebana biasanya. Uniknya lagi, yang membawakan sholawat tidak bisa sembarang orang yang memiliki suara merdu. Yang penting enak didengar. Tidak. Dalam ISHARI, ada tata krama tersendiri yang berbeda. Sholawat harus dibawakan oleh sanad ahli yang dipilih. Yang memang mempunyai wewenang dalam membacakan sholawat ISHARI. Itu cerita unik yang langsung di sampaikan oleh Abah penulis. Masih membicarakan sholawatnya. Irama lagunya juga mempunyai kekhasan tersendiri. Bukan tipikal irama yang sekali dua kali mudah ditirukan. Namun, butuh beberapa kali ikut nimbrung agar bisa menirukan irama yang dibawakan dalam sholawat ini. Jujur, penulis saja yang terhitung sering menyaksikan Abah ikut nimbrung, belum juga hafal betul irama nada yang biasa Abah lantunkan.

Ada lagi, yaitu istilah roddat. Sejenis gerakan tari dengan posisi duduk bersimpuh setengah berdiri, dan mengepak-ngepakkan telapak tangan dengan lantang. Gerakan itu dilakukan dengan serempak dan kompak. Begitu terlihat rapi dan berbaris layaknya sholat berjamaah. Ya, inilah poin tertinggi dari ISHARI. Kata Abah penulis, “Sholawat itu ya begini. Teratur dan rapi. Menyambut baginda Nabi Muhammad Saw. harus begini, Nak.” Bahkan, gerakan tarian radadnya dengan anggukan kepala dan gerakan badannya telah baku yang mengilustrasikan penulisan lafadz Allah Jalalah maupun gerakan tarian tangan yang mengilustrasikan penulisan lafadz Muhammad. Karena Shalawat hadrah ISHARI adalah bagian dari amaliyah Thariqah Mahaabbaturrasul yang hanya bisa dirasakan keindahan dan kenikmatannya ketika sudah ikut terjun dalam pembacaan shalawat dan mengikuti gerakan tarian radadnya. Dikatakan, seni hadrah ISHARI adalah kesenian islami kekayaan Indonesia yang telah menjadi bagian sejarah masyarakat santri menghadapi penjajahan dan juga komunisme. Seni hadrah ISHARI juga merupakan warisan budaya Islam Nusantara yang harus dilestarikan dan didukung perkembangannya.  “Apalagi untuk menghadapi gerakan radikal agama yang marak di tengah masyarakat muslim Indonesia saat ini, maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan kebudayaan Islami seperti seni hadrah ISHARI ini untuk menampilkan simbol-simbol tradisi Islam moderat dan Islam ramah yang hal itu merupakan wajah Islam Indonesia.

Dan ada lagi. Jam’iyyah sholawat ISHARI ini, biasanya mengadakan rutinan sholawat di wilayah cabang masing-masing ataupun terkadang mendapatkan undangan dari berbagai daerah di luar ataupun dalam kota. Kegiatan sholawat ISHARI ini, berlangsung cukup lama. Biasanya, dimulai dari pukul 21.00 hingga 02.00. Kenapa bisa begitu? Pertama, karena banyaknya cabang yang harus bergiliran roddat dari berbagai daerah. Ya, harus bergiliran. Karena semua daerah berkumpul dalam satu majlis. Lalu. bagaimana dengan yang bersholawat? Apakah rombongan daerah tersebut yang juga membawakan sholawatnya? Tentu tidak, sholawat hanya boleh dibawakan oleh majlis hadi. Yaitu guru hadi atau guru badal yang sudah terpilih seperti yang penulis paparkan di susunan keorganisasian ISHARI di atas. Kedua, karena dalam melantunkan sholawat di ISHARI, harus selesai satu kitab. Semuanya dibaca dan dihayati seakan-akan maknanya. Dibaca dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Dengan pembawaan irama yang klasik namun khasnya ISHARI. Itulah yang terjadi.

Pemaparan di atas merupakan gambaran mengenai ISHARI secara umum. Lantas, bagaimana dengan ISHARI di daerah penulis? Ya, di sini alhamdulillah sudah banyak yang bergabung di ISHARI. Dulu, sebelum ada wabah covid-19, satu minggu sekali atau bahkan lebih, cabang UTB yang beranggotakan 4 kecamatan seperti yang penulis sebutkan di atas, selalu mengadakan rutinan. Untuk apa? Yang jelas melatih keterampilan hadrah, memukul rebana, dan melatih bacaan sholawatnya.

Kemudian, mengenai lokasi atau tempat untuk latihannya bisa berpindah-pindah. Biasanya latihan dilakukan sekalian dengan adanya acara keagamaan atau tradisi kecil-kecilan dari salah satu anggota ISHARI. Di situ, para jamaah akan mengasah kemampuan hadrah dan sholawat secara mandiri dan santai. Hal ini tentu membuat para jamaah lebih leluasa untuk mendalami sholawat dan hadrah.

Selain itu, dalam satu tahun sekali juga ada kegiatan perlombaan yang diadakan oleh pimpinan provinsi setempat. Hal ini juga memicu semangat para jamaah ISHARI dari berbagai kota ataupun daerah. Sebenarnya banyak sekali kegiatan inti ataupun di luar inti dari organisasi ini. Muskercab (Musyawarah Kerja Cabang), MUNAS (Musyawarah Nasional), dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan lainnya.

Memang jika dibandingkan dengan jamaah sholawat banjari kebanyakan yang digandrungi anak milenial,melihat respon mereka, ketika lantunan sholawat dikumandangkan, justru tidak ada barisan yang rapi. Kadang berdesakan. Menyerukan sholawat dengan suara lantang. Itulah perbedaannya. Shalawat hadrah ISHARI, memang tidak serancak shalawat al-Banjari atau semenarik Tari Saman Aceh, yang juga sama-sama tarian yang diiringi shalawat pujian pada Nabi.  Shalawat Hadrah ISHARI adalah sakral yang tidak bisa dimodifikasi dengan tambahan unsur entertainment. Pelafalan bacaan shalawatnya harus menggunakan cengkok suara yang khusus, pukulan rebananya juga tidak bisa dimodifikasi agar lebih rancak dan meriah sehingga bisa lebih enak didengar.

Jamaah ISHARI di beberapa daerah tertentu, khususnya juga di utara Brantas ini, kurang begitu diminati kaum pemuda atau milenial. Rata-rata anggotanya merupakan bapak-bapak dengan usia paruh baya. Atau bisa jadi bapak bapak sepuh lanjut usia. Semua kalangan bisa masuk, asalkan lelaki. Iya, memang harus lelaki. Sepanjang sejarah ISHARI itu pasti beranggotakan lelaki. Tidak ada wanita. Berbeda lagi, dengan sholawat al-banjari, yang kini tidak membedakan gender. Apa mungkin ini yang membuat kaum milenial lebih condong ke sholawat banjari?

Terlepas dari semua perbedaan yang ada di atas. Tujuan sholawat itu sama yaitu membumikan cinta Rasululloh, mengharapkan syafaat di hari kiamat. Sebagai bukti, bahwa kita mencintai beliau dengan menghantarkan kerinduan kita melalui lantunan sholawat. Menurut penelitian, kegiatan seni hadrah ISHARI ini merupakan salah satu dakwah Islami yang dapat meningkatan karakter anak yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis sebagai upaya menuju kebahagiaan dunia akhirat. Seni Hadrah ISHARI adalah kesenian Islami kekayaan Indonesia yang telah menjadi bagian sejarah masyarakat santri menghadapi penjajahan dan juga komunisme. Seni Hadrah ISHARI adalah warisan budaya Islam Nusantara yang harus kita lestarikan dan kita dukung perkembangannya. Apalagi untuk menghadapi gerakan radikalisme agama yang marak di tengah masyarakat muslim Indonesia saat ini, maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan kebudayaan islami seperti seni hadrah ISHARI ini untuk menampilkan simbol-simbol tradisi Islam moderat dan Islam ramah yang hal itu merupakan wajah Islam Indonesia. (EN)

BIOGRAFI PENULIS

Alvina Ahda Shafira

Alvina Ahda Shafira adalah seorang mahasiswi aktif program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Penulis merupakan anggota dari IPNU IPPNU Desa Tapen, PAC Kudus dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Untuk mengenal lebih dekat penulis, bisa menghubungi instagram @vinasaiff ataupun melalui email pribadi penulis alvinaahda@gmail.com.

About author

No comments