Rasa Pergeseran Teo-Antroposentris; Refleksi Lingkunganku juga Ramadhanku Kemarin

0

Ramadhan, pasti tidak asing dengan kata itu bukan? bulan yang paling dinantikan oleh seluruh umat Muslim di dunia. Bagaimana tidak? Segala amal kebaikan dan ibadah pada bulan tersebut dilipatgandakan nilainya oleh Allah SWT. Masjid ramai ? tentunya, siapa yang tidak tergiur dengan janji Allah tersebut. Ditambah lagi ada satu malam di bulan Ramadhan yang sudah pasti merupakan keberuntungan yang amat sangat ketika bisa menjumpainya. Yaitu “Malam Lailatul Qadr”, Malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Berbondong-bondong umat Islam melakukan I’tikaf dimasjid di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Yang konon dalam 10 hari tersebut merupakan malam Lailatul Qadr.

Tentunya semua orang ingin mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dibulan yang penuh berkah ini bukan? Masjid ramai dengan lantunan tadarus ayat-ayat suci yang menyejukkan setiap hati yang mendengarnya. Tujuannya apa ? memperoleh Ridho Allah, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bukan hanya dimasjid, pondok-pondok pesantren menggiatkan para santrinya untuk mengaji dan belajar agama di bulan yang penuh barokah ini. Banyak pondok pesantren membuka program kilatan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk belajar memperdalam ilmu agama, lewat kitab-kitab yang dipelajari selama kilatan. Unik dan khasnya kilatan ini tentunya hanya terjadi pada bulan Ramadhan.

Kemajuan teknologi yang semakin berkembang juga sangat berguna untuk sarana memperoleh pahala. Bagaimana bisa? seminar online tentang islam, pengajian online dan semua yang online-online tentunya semakin memudahkan kita untuk memperdalam ilmu agama bukan? terutama untuk kaum rebahan yang malas untuk beranjak pergi ke majlis, atau untuk orang-orang yang memiliki kesibukan yang sangat dan tidak bisa menghadiri majlis.

Berbeda dengan ramadhan kali ini, mengapa? kita dihadapkan dengan fakta yang mengandung unsure positif negatif semenjak ditetapkannya COVID-19 sebagai pandemic. Dan kenyataan terburuknya bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang terdampak virus tersebut. Tidak hanya berhenti disitu kita dihadapkan pada kebijakan-kebijakan yang membuat kita terpenjara dan sengsara mulai dari Social Distancing, Physical Distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang mengharuskan masyarakat Indonesia untuk menjaga jarak, work from home, study from home hingga Ibadah Dirumah Saja. Ramadhan dimana kita bersemangat untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya justru kini dihadapkan dengan kenyataan yang pahit ini.

Horror lagi ketika daerah tempat kita tinggal dinyatakan sebagai red zone , jangankan ke masjid sekedar untuk ke rumah tetanggapun sudah diliputi rasa takut. Mental masyarakat benar-benar sedang diuji dengan dahsyatnya goncangan COVID-19. Status yang biasanya single, menikah dan lain-lain kini memiliki status baru yaitu ODP, PDP, ODR dan reaktif. Sungguh miris ketika status ini disandang lalu masyarakat sekitar menjauhi. Bagaimana tidak ? yang seharusnya dijauhi penyakitnya kan ? bukan orangnya. Memang kita memiliki resiko tertular dan menularkan tetapi alangkah baiknya untuk tetap memberikan semangat untuk yang sakit. Tindakan menjauhi bukan serta merta benar, justru tindakan tersebut akan berpengaruh pada psikologis orang tersebut dan juga keluarganya. Terutama jika di dalam keluarga tersebut terdapat anak kecil, jika kita menjauhi mereka apa yang akan terjadi ? tentunya jika dewasa kita bisa membayangkan bagaiamana terguncangnya psikologis anak tersebut bukan ?

Walaupun demikian, Ramadhan kali ini sholat Tarawih tetap dilakukan di daerah-daerah tertentu yang memiliki status zona aman. Masjid dan Mushola tetap ramai meskipun tidak seramai Ramadhan biasanya. Lalu bagaimana dengan dirumah aja versi red zone ? masih ada sebagian masyarakat yang berada di zona merah yang melaksanakan sholat tarawih di masjid dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Walaupun demikian diantara mereka masih belum sadar dengan bahaya yang mengintai di sekitar mereka, ada dari mereka yang beranggapan bahwa “Mati itu adalah ketetapan Allah, dan sewaktu-waktu jika tiba masanya kita juga akan mati, aku lebih takut sama Allah daripada sama virus itu”. Miris memang, kesadaran masyarakat belum banyak yang terbuka. Meski begitu memang sholat tarawih masih bisa dilaksanakan dirumah, tapi apakah menjamin dirumah tetap sholat tarawih? Begitulah kiranya pertanyaan yang ada dibenak saya ketika anjuran tarawih dirumah saja keluar.

Meskipun sholat tarawih itu sunnah, tetapi hanya dilakukan satu tahun sekali dan ada fadhilah tersendiri dimasing-masing malamnya. Sama halnya dengan tadarus Al-Qur’an yang semakin mengindahkan bulan ramadhan. Sejak adanya pandemic COVID-19 ini sama seperti tarawih, tidak semua daerah memperbolehkan adanya tadarus dimasjid. Tetapi ada juga yang memperbolehkannya dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah. Waktunya pun dibatasi, pada ramadhan dihari sebelumnya hingga larut malam kumandang lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut masih ada. Kini sudah dibatasi, terkadang hingga sampai jam 10 lalu suara indah itu sudah tidak terdengar lagi.

Bukan hanya berpengaruh pada ibadah selama Ramadhan, tetapi dampak dari COVID-19 ini juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat diliputi rasa khawatir, diliputi keresahan. Karena bagaimana tidak ? mereka bukan hanya berpotensi tertular, tetapi menularkan. Hingga timbul pertanyaan-pertanyaan “kok aku batuk, ini aku sehat nggak ya ? kok aku takut kena COVID-19” keadaan semakin miris ketika mudik dilarang dan pulang kampung diperbolehkan. Berbagai polemik terjadi ketika kebijakan ini diterapkan, mulai dari penyalahartian masyarakat tentang kedua kata tersebut hingga pelanggaran peraturan tersebut dengan berdalih akan pulang kampung karena mudik tidak diperbolehkan.

Keadaan ini semakin diperkeruh ketika para napi tindak kejahatan seperti jambret dan lain-lain dilepaskan dengan bebas bersyarat. Dengan dalih untuk memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19, tetapi justru apa yang terjadi ? kebijakan ini justru meresahkan masyarakat ketika para napi ini mulai beraksi kembali. Pembegalan, perampokan hingga berhujung pembunuhan terjadi dengan pelakunya adalah mantan napi yang baru saja dibebaskan bersyarat. Mereka beralasan tidak mempunyai mata pencaharian lain, tidak mempunyai pemasukan tetapi mereka juga butuh makan untuk menyambung hidup. Bahkan dari berita yang beredar, yang paling miris pelakunya ada yang masih duduk dibangku sekolah. Dikarenakan tidak diberikan uang saku oleh orangtua mereka. Sungguh ironi yang terjadi, ditengah pandemic dan krisis ekonomi yang terjadi, dimana mencari pekerjaan juga susah. Tentunya ini merupakan kritikan tajam bagi pemerintah untuk lebih hati-hati dalam memutuskan kebijakan. Ketika napi di Negara lain di ikutsertakan dalam memerangi virus COVID-19 dengan membuat masker, APD dan lain-lain, tetapi justru kontras dengan kebijakan di Indonesia. Kini masyarakat keluar bukan hanya diliputi rasa takut akan COVID-19, tetapi juga rasa takut akan kriminalitas yang marak terjadi akhir-akhir ini.

Untuk menekan angka tindak kejahatan yang terjadi. Beberapa daerah menerapkan sistem ronda malam di daerahnya. Dengan cara bergantian para warga melakukan ronda malam di daerah mereka masing-masing. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan di daerah mereka. Disamping itu, mereka tetap menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Dalam ronda malam ini, masyarakat juga bisa saling bercengkrama ditengah kebijakan social distancing, physical distancing dan PSBB yang diterapkan pemerintah, ronda malam ini mampu merekatkan tali silaturahim satu sama lain. Mampu menumbuhkan sikap empati dalam bertetangga dan saling menjaga lingkungan sekitar mereka dari tindak kejahatan yang mengintai sewaktu-waktu.

Dari dua hal tersebut dapat kita ambil hikmahnya dari sisi yang berbeda, bahwa kriminalitas memang meresahkan masyarakat, namun dengan kriminalitas masyarakat bisa lebih rukun, bersatu untuk kemashlahatan dan menjaga keselamatan. Dari sini juga timbul rasa empati dan kepedulian dalam bertetangga. Karena yang mereka lakukan bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk lingkungan sekitar daerah mereka tinggal. Masyarakat jadi lebih aktif berjaga. Selain itu di bulan yang penuh berkah ini mereka juga dapat mengambil berkah dan pahalanya dengan membangunkan sahur. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk mengambil berkah dari sahur tersebut, dan barangsiapa yang mengingatkan orang dalam kebaikan bukankah kebaikan tersebut juga Allah limpahkan kepada mereka ? tentu saja pahala tersebut juga akan mengalir pada orang-orang yang dengan ikhlas membangunkan sahur sekaligus menjaga keamanan sekitar. Bagaimana tidak? Disaat yang lain tidur, mereka tetap terjaga untuk menjaga keamanan.

Meskipun tadarus Al-Qur’an tidak bisa dilakukan hingga larut malam di masjid maupun mushola, masyarakat tetap bisa melanjutkan tadarusnya di rumah. Meski malam-malam melakukan ronda tetapi jika dengan diniati sebagai ibadah, maka jaga malampun juga akan menjadi ibadah. Bukankah kita semua tahu bahwa semua ibadah tergantung kepada niatnya? Selain itu. jaga malam juga bisa menjadi salah satu ajang silaturahim dengan masyarakat sekitar. Yang selama ini selalu disibukkan dengan pekerjaannya, maka dengan berjaga malam ini masyarakat bisa sedikit lebih dekat dengan bercengkrama, menjalin silaturahim satu sama lain. Dan tentu kita tahu bahwa silaturahim dapat melancarkan rezeki dan memperpanjang umur kita.

Bukankah kita ingin bahwa wabah Covid-19 ini cepat selesai?. Maka tetaplah tenang namun tetap waspada. Tetap ikuti anjuran pemerintah untuk jangan keluar rumah ketika tidak sangat mendesak. Maka Covid-19 bisa kita hadapi dengan tetap berpikir positif, mengontrol kondisi kita agar terus berpikiran positif. Agar tidak muncul kecemasan berlebih dan menimbulkan masalah baru. Ingat kita tetap bisa bahagia di tengah merebaknya wabah Covid-19 ini dengan selalu mengikuti anjuran pemerintah, senantiasa berpikir positif dan berdoa kepada Allah Swt. Inshaallah tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha. Dan ingat janji Allah dalam QS. Maryam 19; Ayat 4 bahwa “dan Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya dalam berdoa”. Dengan segala ikhtiar dhohir dan batin yang telah kita lakukan, kita percaya dan yakin pandemic ini akan segera berlalu. Wallahu a’alam. (WKK).

Atiq Ni'matus Sa'adah*

Atiq Ni’matus Sa’adah*

* Atiq Ni’matus Sa’adah adalah Mahasiswi Aktive IAIN Kediri (atiqmamay@gmail.com)

About author

No comments