Studi Kasus Mengenai Desa “BAWEAN’’: Pernikahan, Budaya, dan Sistem Kekerabatan

0

Pada mulanya pulau ini bernama pulau mejeti atau pulau majdiyang berasal dari bahasa Arab yang artinya uang logam. Disebut demikian, karena bentuk pulau ini bulat seperti uang logam. Namun, anehnya mengapa akhirnya pulau tersebut berubah nama menjadi Bawean?

Pada masa Kerajaan Majapahit berada pada saat keemasannya ia bermaksud untuk menyatukan nusantara maka dikirimlah seluruh armadanya untuk berlayar menuju daerah yang jauh di sana ternyata dari sekian banyak armada yang dikirim ada yang mendapat kemalangan perahu mereka diserang badai di Laut Jawa. Akhirnya, mereka yang selamat terdampar di sebuah pulau. Berawal dari rasa gembira karena selamat,tanpa sengaja terlontarlah kata dari ketua pasukan Ba-we-an yang berasal dari bahasa Sansekerta, Ba artinya sinar, We artinya matahari dan Anartinya ada, yang bermaksud ada sinar matahari. Kini, mereka hidup di pulau yang baru mereka kenal dengan penuh kebahagiaan karena baru saja selamat dari maut. Sebutan Bawean yang lambat laun panggilan Majeti atau Majdi tidak terdengar lagi.

Menurut Sahibul Hikayat, asal usul Pulau Bawean berawal dari perjalanan Kerajaan Majapahit dalam upaya mencari tanah jajahan baru. Pada tahun 1350 serombongan kapal dari kerajaan tersebut sudah berbulan-bulan mengarungi samudera. Di suatu pagi yang masih berkabut tebal mereka sampai di Laut Jawa. Muncul sinar matahari dari sebuah daratan. Kemudian,  mereka mendarat di daratan tersebut, di daratan itulah mereka seakan-akan hidup kembali, karena mereka sudah berbulan-bulan mengarungi samudera. Selain itu, Pulau Bawean dikenal juga dengan nama Pulau Putri yang mengandung makna sendiri. Penamaan Pulau Putri, sesungguhnya tidak semata mata terkait dengan jumlah penduduk Bawean, dimana perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yang mana para lelaki-lelakinya banyak yang merantau keluar negeri. Melainkan nama Pulau Putri memiliki alur tertentu, identitas maknawi. Tetapi, menurut Ahsan warga Bawean dinamakan Pulau Putri karena para lelakinya banyak yang merantau keluar Bawean atau keluar negeri kalau hanya bekerja di Bawean mereka hanya cukup untuk dimakan sehari-hari bahkan tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan tidak bisa memberi kepada orang tuanya, itu alasan mereka banyak yang merantau ke luar.

Adapun adat dan istiadat di Pulau Bawean ini seperti pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak.

Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu diBawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun, pada keluarga kaya acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.

Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Di dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Hal demikian selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohan dilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut maupun berdasarkan tanggal lahirnya.

Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan dijodohkan. Pada tahap ini, orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar. Selanjutnya jika lamaran diterima harus segera melapor ke lurah, karena pernikahan nanti akan melibatkan seluruh warga. Setelah itu ada pemilihan To’ To’a. Perlu digaris bawahi bahwa wanita yang akan menikah harus dipingit.

Hari pertama pernikahan berlangsung sejak pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda-mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktivitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.

Hari kedua kita bisa melihat mamarase yakni berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di dua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan seluruh hadirin.

Sementara selepas Isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa Bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean dikenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.

Paginya, dilaksanakan penyembelihan sapi 1–3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini dilakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial sipunyahajat.

Malam harinya dilaksanakan kegiatan yang disebut dengan A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.

Di hari keempat, `Panganten Matammat-tammat/Nammattaken, yang mana penganten putri membaca al-Qur’an hingga khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat al-Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.

Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue. Sedangkan, para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.

Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).

Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu, diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling,korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang digelar.

Di hari kelima, disebut sebagai panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya, seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk disiram dan saling siram. Bahkan, keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi. Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.

Hari keenam, diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak digemari oleh Masyarakat Bawean.

Selanjutnya, masyarakat menyebutnya dengan penganten nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, manakala selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.

Di hari kedelapan, disebut denga istilah Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.

Sementara itu, mengenai sistem kekerabatan di Pulau Bawean juga mempunyai keunikan tersendiri. Di pulau Bawean, mayoritas penduduknya kebanyakan perempuan, dikarenakan para laki-lakinya sebagian besar bekerja di pulau-pulau lain. Orang Bawean, memiliki jiwa perantau yang sudah menjadi tradisi bagi mereka, bahkan semacam “keharusan’’ bagi para laki-laki Bawean. Menurut mereka kalau belum pernah merantau ke tempat lain berarti belum dewasa. Orang Bawean memiliki jiwa merantau yang sangat kuat, sehingga mereka juga tersebar kemana-mana, termasuk ke Malaysia, Singapura bahkan sampai ke Australia.Orang Bawean, secara ras, mirip dengan orang Madura dan Jawa,

Masyarakat Bawean, memiliki ciri dari berbagai suku-bangsa di sekelilingnya, mereka mendapat pengaruh budaya dari etnik Madura, Jawa, Bugis, Sumatera dan Kalimantan. Seorang wartawan Kompas Emmanuel Subangun, menuliskan pada tahun 1976, bahwa orang Bawean adalah “Kristalisasi Keragamaan Etnik Indonesia”. Maka dari itu, sistem kekerabatan bagi suku bawean bukanlah hal yg asing , karena sifat mereka mempunyai jiwa rantau dimana mereka harus terbiasa membaur dengan suku lain.

Di samping itu, di Pulau Bawean juga kaya akan budaya. Adapun budaya-budaya di Pulau Bawean adalah kercengan (biasanya dipersembahkan sewaktu acara perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah), cukur jambul(bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya), pencak Bawean(sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang yang panjang). Selanjutnya adalah Dikker, yaitu alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang. Adapun mandiling adalah sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.(DEW)

BIOGRAFI PENULIS

Misnama

Misnama seorang mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam semester lima IAIN Kediri. Prestasi yang pernah diraih adalah cipta baca puisi, dan fashion show busana muslim. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menguhubungi di e-mail pribadinya mammatusannimie@gmail.com

About author

No comments