DESA “CANGA’AN”: CERITA RAKYAT DAN KEARIFAN LOKAL YANG ADA PADA MASYARAKATNYA

0

Desa ini terletak di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik Jawa Timur. Dikenal dengan desa yang masih dianggap pelosok oleh sebagian orang, namun desa ini menyimpan berbagai keindahan alam yang belum tentu pernah akan kalian temui dibelahan bumi yang lain. Desa ini juga menyimpan berbagai cerita sejarah yang menarik untuk ditelusuri.

Dari berbagai sumber sejarah, cerita Desa Canga’an terdapat berbagai versi. Hal ini dipengaruhi karena awal mula kehidupan yang ada di kawasan Canga’an bertahap/berangsur-angsur silih berganti dari kelompok yang satu dengan yang lain yang mencari sumber air kelangsungan hidup. Menurut suatu versi penduduk asli Desa Canga’an berasal dari Desa Takeran Lamongan yang mencoba untuk bertahan hidup di wilayah ini.  Asal usul desa ini adalah sebuah rawa yang konon katanya didiami oleh banyak burung cangak (sejenis bangau berukuran besar) namun sekarang sudah dipastikan punah. Ada cerita yang menarik dari burung cangak ini, dikatakan bahwa burung cangak selalu mencari makan di laut tepatnya di wilayah Desa Dalegan. Burung cangak selalu mencari ikan di sana dan membawa ikan tersebut ke wilayah Canga’an yang membuat nelayan sana marah karena mengganggu perolehan ikan yang didapat. Sampai akhirnya warga bersumpah, bahwa barang siapa warga Dalegan dan warga Canga’an menjalin pernikahan maka pernikahan tersebut tidak langgeng. Sempat dibuktikan oleh warga setempat, namun kepercayaan tersebut mungkin sudah ditelan oleh zaman, karena banyak warga Canga’an dan warga Dalegan menjalin pernikahan dengan harmonis sampai sekarang.

Menurut versi yang lain, bahwa awal mula kehidupan di wilayah Canga’an adalah Mbah Abdurrohman (Pringgoboyo), namun keberadaannya di wilayah Canga’an hanya sebagai napak tilas pengembaraannya mencari kehidupan dan ketenangan batin. Dan semasa tinggal di wilayah Canga’an beliau sempat membuat sumur yang sekarang dikenal dengan sumur kembang (sekarang berada di komplek Ponpes Karomatul Fatih).

Versi yang lain juga menyebutkan bahwa Ketanen (salah satu kampung dari desa Canga’an) ada kaitannya dengan Desa Tanen Kecamatan Panceng, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kesamaan nama tempat dan kesamaan struktur situs sumur. Wilayah Desa Canga’an dibatasi oleh beberapa desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Ngemboh, di sebelah barat dibatasi oleh Desa Dalegan Kecamatan Panceng, di sebelah selatan dibatasi oleh Desa Wotan dan di sebelah timur dibatasi oleh Desa Gosari. Desa Canga’an pun diapit oleh 2 bukit kapur yang menambah keindahan Alam. Penduduk Desa Canga’an mayoritas berprofesi sebagai petani dan juga TKI. Di samping itu ada juga yang bekerja di sektor perdagangan, jasa, dan juga peternakan.

Wilayah Desa Canga’an merupakan wilayah dengan tanah yang subur, bisa dilihat dari keadaan lingkungannya yang hasil pertaniannya melimpah dan juga pepohonan yang rindang. Bahkan, dahulu Canga’an disegani dengan hasil perkebunan buah jambu yang melimpah. Hal itu dapat dilihat dari adanya simbol buah jambu pada gapura masuk Desa Canga’an. Para orang tua dahulu melakukan perdagangan buah jambu keluar desa. Namun, komoditas buah Jambu di Desa Canga’an bisa dibilang sudah tidak ada, karena seleksi alam dan para penduduk yang lebih menggeluti sektor pertanian. Wilayah pertanian di Desa Canga’an juga diberi nama dengan julukan-julukan tertentu seperti, Secinde, Segunting, Sekeser, Senogo, Sewayang, Gampeng. Nama-nama tersebut diberikan karena ada kaitan dengan sejarah yang pernah ada di tempat-tempat tersebut. Juga sektor pertanian yang paling digeluti para warga.

Kemudian, para peternak biasanya mencari makanan untuk ternak-ternaknya dan juga bisa menggembalanya. Bahkan, pada usia anak-anak pun mereka diajari untuk ngaret yaitu kegiatan mencari rumput untuk para ternak. Selain sebagai pekerja dalam sektor pertanian dan peternakan, para penduduk Desa Canga’an juga bekerja sebagai TKI dan juga berhasil mendapat penghasilan untuk keluarga di rumah. Seorang Guru atau bisa disebut sebagai Kiai pernah berkata, bahwa ia mengumpamakan penduduk Canga’an sebagai burung cangak yang mencari makanan di luar desa tersebut, karena banyaknya penduduk desa yang yang berprofesi menjadi TKI untuk mencari nafkah bagi keluarga di rumah.

Desa Canga’an juga bisa dikatakan sebagai desa yang masih kental ajaran tradisi dan agama. Sebagian para penduduknya percaya dengan perkataan-perkataan orang tua pada zaman dahulu seperti halnya, ojo lunggoh didukur bantal, engko na’e udunen (jangan duduk diatas bantal, nanti bisulan). Itu merupakan wejangan atau petuah karena duduk di atas bantal itu melambangkan ketidaksopanan. Ada juga lagi, entekno pangananmu, wedosmu cek gak mati (habiskan makananmu agar kambingmu tidak mati), yang berarti kita tidak boleh menyianyiakan rezeki yang sudah diberikan oleh Tuhan dan juga banyak lagi wejangan-wejangan lainnya.

Para penduduk Desa Canga’an menganut agama Islam sejak dahulu, bahkan di Desa Canga’an terdapat beberapa pondok pesantren. Banyak juga orang luar yang mondok/menimba ilmu. Ada tiga pondok pesantren di Desa Canga’an yakni Ponpes Mamba’ul Ulum, Ponpes Karomatul Fatih dan Ponpes Tahfidz Nurul Qur’an. Di desa Canga’an ada dua Ormas yang berhaluan Agama Islam yakni Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah. Meskipun dari pemikiran/pendapatnya sering terjadi perbedaan, tetapi toleransinya sangat luar biasa, mereka saling membantu jika ada yang mengalami kesulitan tanpa memandang golongan. Sehingga dapat dikatakan masyarakat di Desa Canga’an merupakan masyarakat yang rukun dan hidup damai. Awal mula masuknya agama Islam ke wilayah Canga’an memiliki cerita yang berbeda-beda versi, karena keaslian sejarah tersebut belum disepakati hanya dibenarkan dari cerita mulut ke mulut dari zaman nenek moyang dahulu. Ada versi yang menceritakan bahwa agama Islam masuk ke wilayah Canga’an dibawa oleh bekas rakyat Majapahit yang melarikan diri setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Desa Canga’an juga memiliki situs-situs kuno yang dianggap sebagai peninggalan nenek moyang atau para orang-orang terdahulu. Ada cerita yang menarik dari orang-orang tua, bahwa pada masa dulu, jika ada seorang warga yang kena penyakit, maka warga tersebut mendatangi situs atau tempat yang dianggap orang-orang tua terdahulu sebagai tempat keramat. Banyak tempat yang dianggap sebagai situs bersejarah peninggalan nenek moyang dari penduduk Canga’an seperti Sumur Gayam, Jublang Gede, Pohon beringin besar (sekarang menjadi Masjid Nurul Huda) dan taman.

Daerah Taman ini dahulu memiliki dua muara kali, yakni kali untuk laki-laki dan kali untuk perempuan. Kali ini digunakan sebagai daerah pemandian nenek moyang pada zaman dahulu. Kearifan lokal lain yang ada di desa Canga’an ini adalah pengolahan tanaman polopendem yang disebut dengan gadong. Tanaman ini merupakan tanaman yang mengandung racun tetapi tidak mematikan hanya saja jika kita memakannya mentah-mentah akan menyebabkan mulut terasa mengkerut hingga tidak bisa berbicara. Namun, sebagian besar masyarakat Canga’an bisa/mungkin bisa disebut terbiasa mengolah tanaman itu untuk dikonsumsi. Tahapan pengolahan tanaman gadong yang biasa dilakukan masyarakat Canga’an yaitu dengan menaburi tanaman gadong dengan abu, lalu setelah ditaburi dengan abu tanaman itu dijemur di bawah sinar matahari dan setelah itu tanaman itu dicuci lalu digoreng. Penduduk Canga’an biasa mengonsumsi tanaman itu sebagai cemilan sehari-hari. Kebiasaan lain dari masyarakat Canga’an adalah melakukan Riyoyo Kupatan (Hari Raya Ketupat), yang dilakukan seminggu setelah terjadinya Hari Raya Idul Fitri. Para masyarakat Canga’an membuat ketupat dan dibarengi dengan sayur lodeh untuk dimakan pada hari itu.

Tradisi atau kearifan lokal yang pernah terjadi di Desa Canga’an tidak lepas dari pengaruh legenda yang beredar di lingkungan masyarakat setempat. Bahkan, di perkampungan Canga’an tepatnya di wilayah RW 02 terdapat situs bersejarah yakni Sumur Gayam yang diyakini merupakan sumur pada zaman dahulu dari legenda Joko Slining. Memang banyak sumur tua di sini. Namun, sumur inilah yang paling tua dan paling disegani oleh masyarakat Canga’an, karena sumur tersebut tidak pernah kering meskipun digunakan oleh orang banyak dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari terutama dalam urusan rumah tangga. Sekitar 20 pompa air dari beberapa kelompok keluarga yang ikut menyalur ke Sumur Gayam. Sehingga pada saat kegiatan kemerdekaan atau agustusan para warga RW 02 melakukan tasyakuran atau kenduri untuk mensyukuri rezeki yang berupa sumber air yang melimpah dari Sumur Gayam.

Setelah acara tasyakuran selesai, para warga melakukan pengurasan air sumur agar air di dalam sumur semakin jernih. Legenda terjadinya Sumur Gayam tidak lepas dari masyarakat setempat, dinamakan Sumur Gayam karena dahulu di sekitar Sumur Gayam ada pohon Gayam. Terjadinya Sumur Gayam tidak lepas dari legenda Joko Slining yang membuat 40 sumur dalam semalam untuk menuntaskan sayembara yang diberikan oleh Putri Kabunan, namun, sebelum ia menyelesaikan sumur tersebut ia digoda oleh Putri Kabunan sampai menjelang pagi ia belum menyelesaikan satu sumur lagi. Dari cerita yang beredar bahwa Joko Slining merupakan keturunan dari Nyai Jikha yang merupakan saudagar dari Arab yang bertugas menyebarkan agama Islam di daerah utara Gresik atau juga bisa disebut daerah Pantura (Pantai Utara). Nah, dari legenda tersebut, Sumur Gayam merupakan salah satu sumur yang telah selesai dibuat oleh Joko Slining. Namun, seiring berjalannya waktu sumur itu tertutup oleh tanah. Kemudian, setelah beberapa waktu nenek moyang dari penduduk Canga’an menemukan sumur tersebut dan digunakan sebagai sumber mata air sampai sekarang.

Perkampungan-perkampungan di Desa Canga’an juga ada kaitannya dengan seorang putri yakni Putri Kabunan seperti perkampungan Secinde, Sekeser dan wilayah pertanian Sebekuk. Dari banyaknya legenda dan cerita rakyat yang beredar membuktikan bahwa bukti kehidupan di wilayah Canga’an juga bertahap dan berangsur-angsur dan meninggalkan bukti/situs legenda yang masih ada sampai sekarang, terdapat juga makam-makam tua yang ada di wilayah Canga’an, ada juga makam dari bangsa Belanda yang masih diyakini.

Dari pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa kejadian di masa lalu memberikan kontribusi di masa sekarang yang berguna dan bisa dipakai sampai sekarang. Maka, kita harus mensyukuri rezeki dan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. (EN)

Biografi Penulis

*) Muhammad Fathoni Irsyad

Bernama asli Muhammad Fathoni Irsyad seorang mahasiswa IAIN Kediri yang memilih Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam dan baru memulai dari tahun 2020. Untuk mengenalnya lebih lanjut bisa menghubungi e-mail : irsyadddd15@gmail.com

About author

No comments