MEMAKNAI AJARAN GUS DUR TENTANG TOLERANSI DALAM PLURALITAS MASYARAKAT DESA MRICAN KOTA KEDIRI

0

Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki banyak keanekaragaman. Mulai dari keanekaragaman budaya, suku, agama, latar belakang, dan masih banyak lagi. Kemajemukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan ini, terdapat berbagai macam keragaman yang melekat dalam masyarakat. Berbagai keragaman tersebut dapat berupa keberagaman budaya, suku, agama, dan lain sebagainya.

Pluralisme dapat terjadi di berbagai ruang lingkup dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara bahasa, Pluralisme berasal dari kata plural yang memiliki arti jamak, banyak atau lebih dari satu. Sedangkan, secara istilah pluralis merupakan suatu pandangan yang berprinsip bahwa keanekaragaman bukan merupakan suatu penghalang dalam hidup berdampingan secara damai dalam suatu masyarakat yang sama. Gagasan Pluralisme Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan julukan Gus Dur merupakan suatu upaya dalam menyikapi pluralitas yang ada di masyarakat dengan segala keanekaragaman budaya, warna kulit, bahasa, agama, etnik, dan lain sebagainya. Gus Dur merupakan orang yang selalu mengedepankan sikap toleransi dan menjadi suatu teladan yang tidak lekang oleh zaman. Gus Dur merupakan seorang ulama sekaligus tokoh politik yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme yang mengedepankan toleransi. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang mendukung Islam progresif yakni Islam yang demokratis, inklusif, pluralis, dan toleran.

Menurut Gus Dur, pluralisme adalah sebuah pandangan yang menghargai dan mengakui adanya keragaman identitas, seperti suku, agama, budaya, ras, dan lain sebagainya. Pluralisme bukanlah suatu ide yang ingin menyamakan semua agama sebagaimana yang selama ini sering dituduhkan karena setiap agama pastinya memiliki berbagai perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme tidak seharusnya menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan. Gus Dur sering menganalogikan konsep pluralisme yang diibaratkan seperti sebuah bangunan rumah besar yang terdiri atas banyak ruangan dan setiap ruangannya memiliki pemilik dan keunikan sendiri-sendiri. Semua penghuni ruangan–ruangan tersebut harus bekerjasama menjaga, merawat, dan melindungi keseluruhan bagian rumah tersebut.

Ketika terjadi serangan yang berasal dari luar, maka penghuni – penghuni tersebut harus bersatu melawan para penyerang yang ingin merusak keberadaan bangunan rumah tersebut tanpa harus menyalahkan antar penghuni ruangan. Bila hal ini dihubungkan dalam konteks negara, maka seluruh warga negara yang menjadi penghuni bangunan rumah NKRI wajib menjaga, melindungi, dan merawat rumah besar NKRI yang telah dibangun di atas pondasi pancasila dan keragaman identitas primordial. Pluralisme diibaratkan sebagai sebuah desain Tuhan agar manusia dapat saling mengenal dan saling belajar satu sama lain agar dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Dengan kata lain, siapapun yang mengutuk pluralisme, maka sama saja ia telah mengutuk Tuhan, sang pencipta keragaman di muka bumi ini.

Gus Dur menganggap toleransi tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim saja, melainkan juga ditujukan secara tegas kepada seluruh umat manusia agar mereka dapat menjunjung tinggi kesetaraan dan mengedepankan dimensi kemanusiaan dalam segala urusan. Gus Dur meyakini bahwa ajaran yang ada di dalam Islam merupakan ajaran yang sempurna dalam artian bahwa Islam telah menetapkan prinsip-prinsip umum secara lengkap dan komprehensif agar dapat menjadi pedoman dan panduan bagi manusia dalam menjalankan seluruh aktivitas kehidupan. Gus Dur juga meyakini bahwa Islam sebagai sebuah agama atau ajaran yang memuat nilai-nilai luhur dan universal yang selalu cocok dengan berbagai situasi dan kondisi serta fleksibel mengikuti arus zaman. Untuk itu, dalam setiap kesempatan, Gus Dur selalu menekankan pada umat Islam agar tidak menjadikan perbedaan sebagai bencana, melainkan seharusnya perbedaan tersebut dianggap sebagai suatu anugerah dan kekuatan yang wajib disyukuri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Menurutnya, perbedaan bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, Yang dilarang oleh agama yaitu lahirnya perpecahan dan perselisihan akibat adanya perbedaan – perbedaan tersebut .

Salah satu pluralitas yang ada dalam masyarakat salah satunya berada di salah satu desa di Kota Kediri. Desa tersebut adalah Desa Mrican yang berada di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Provinsi Jawa Timur. Di Desa Mrican terdapat pabrik gula Mritjan yang telah berdiri sejak beberapa puluh tahun lalu. Selain itu, desa ini memiliki berbagai keragaman dalam kehidupan masyarakat. Antara lain perbedaan agama, suku, warna kulit, latar belakang, profesi, karakter, dan masih banyak lagi. Di desa ini, selain didominasi oleh suku Jawa, juga terdapat suku–suku lain. Misalnya, Suku Batak dan Suku Dayak Kalimantan. Masyarakat yang berasal dari luar suku Jawa ini memiliki beberapa alasan untuk menetap di Jawa khususnya di Desa Mrican ini. Alasan tersebut antara lain karena kepentingan pekerjaan, kepentingan pendidikan, ataupun karena mereka masih memiliki saudara di Jawa.

Menurut mereka, lapangan pekerjaan di Jawa cukup banyak dan bervariasi dibandingkan dengan daerah asal mereka. Lalu, untuk kepentingan pendidikan, di Kediri terdapat beberapa sekolah–sekolah dan universitas yang cukup beragam. Apalagi di daerah Desa Mrican sendiri terdapat kampus negeri yang dianggap favorit yaitu kampus Universitas Brawijaya yang baru beberapa tahun lalu dibuka. Ternyata meskipun mereka berasal dari luar Jawa, tetapi ternyata mereka masih memiliki hubungan darah dengan saudara – saudara yang ada di Jawa. Warga Desa Mrican kebanyakan beragama Islam, namun juga ada beberapa agama lain misalnya Kristen ataupun Katholik.

Untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan di atas keberagaman yang ada dalam masyarakat Desa Mrican, maka diadakan kegiatan–kegiatan yang dapat mempererat hubungan antar warga. Kegiatan–kegiatan tersebut antara lain berolahraga dengan senam aerobik di sore hari ataupun bersepeda santai saat akhir pekan pagi, pengajian rutin di masjid atau rumah warga setiap harinya, kataman al-Qur’an di masjid, arisan ibu–ibu maupun arisan bapak–bapak, kerja bakti, makan bersama antar warga ketika menyambut hari–hari tertentu. Kegiatan – kegiatan tersebut merupakan wujud inisiatif atau usulan dari beberapa warga Desa Mrican. Lalu, usulan atau masukan tersebut didukung oleh pemerintah desa setempat, seperti kepala RT atau RW yang menyediakan tempat ataupun mendukung kegiatan tersebut.

Untuk kegiatan olahraga senam aerobik ini dilakukan setiap sore hari di kediaman rumah kepala RW, kegiatan ini biasanya diikuti oleh ibu–ibu warga Desa Mrican. Selain itu, terdapat kegiatan olahraga lain seperti bersepeda santai. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Minggu mulai jam enam pagi hingga sekitar jam sepuluh. Untuk rute sepeda santai ini biasanya berbeda setiap minggunya, hal ini didasarkan oleh musyawarah dengan melakukan voting dalam memilih rute dan tujuan untuk bersepeda santai. Kegiatan ini juga banyak diikuti oleh ibu–ibu warga Desa Mrican.

Untuk kegiatan pengajian ruti ini biasanya dilaksanakan di rumah warga, namun karena adanya wabah pandemi Covid-19, maka kegiatan tersebut dipindahalihkan di Masjid setempat, yaitu Masjid Al-Amal. Siapapun boleh mengikuti pengajian rutin ini. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehabis shalat Isya berjamaah, namun terkadang karena ada alasan tertentu bisa diubah menjadi pagi hari. Kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh ibu–ibu, namun juga bapak–bapak warga Desa Mrican.

Untuk kegiatan kataman Al-Quran pun juga dilaksanakan di masjid, hal ini dilakukan sebulan sekali atau dua kali tergantung oleh kehendak warga yang ingin mengadakan kegiatan tersebut. Kegiatan ini juga dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu warga Desa Mrican. Beberapa warga biasanya juga memberikan sumbangan ke masjid untuk mendukung kegiatan peribadatan. Misalnya ada warga yang menyumbang mukena, karpet masjid, sajadah, al-Quran, snack untuk acara pengajian atau berbuka puasa, uang untuk dana pemeliharan dan pembangunan masjid. Selain itu wujud toleransi warga Desa Mrican ini terlihat ketika perayaan hari-hari besar agama. Misalnya, ketika Bulan Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri. Seluruh warga turut serta dalam merayakan baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Untuk kalangan non muslim biasanya mereka membantu dalam keikutsertaan kerja bakti membersihkan lingkungan desa ataupun memasang spanduk, lampu, dan aksesoris perayaan. Mereka juga turut serta dalam acara makan bersama yang diadakan warga semalam sebelumnya. Sebaliknya ketika umat non muslim merayakan hari besar mereka, umat muslim juga membantu dalam mempersiapkan perayan.

Umat muslim membantu dalam hal membersihkan lingkungan, membantu memasak di rumah tetangga masing-masing, dan juga memberikan hasil panen yang dimiliki seperti buah-buahan atau sayur mayur untuk disumbangkan kepada mereka. Selain itu, warga Desa Mrican memiliki kepekaan yang cukup tinggi dengan warga yang lain. Mereka seolah selalu siap dan sigap apabila warga yang lain terkena musibah. Misalnya, ketika salah satu warga yang beragama Islam saat itu sedang sakit dan membutuhkan pertolongan segera ke rumah sakit, kemudian ada warga lain yang berbeda agama menawarkan bantuan dan sebaliknya. Mereka saling membantu tanpa membeda-bedakan latar belakang yang dimiliki. Maka dari itu, ajaran Gus Dur terkait toleransi dalam menghadapi Pluralisme telah diterapkan dan melekat dalam masyarakat di Desa Mrican ini. (DEW)

Referensi :

Barton, G. 2010. Pengantar: Memahami Abdurrahman Wahid dalam Abdurrahman Wahid. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

Rakhmat, Jalaluddin. 2016. Islam dan Pluralisme : Akhlak al – Qur’an menyikapi Perbedaan. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Salleh. Kamaruddin. 2014. Gusdur dan Pemikiran Liberalisme. ArRaniry: International Journal of Islamic Studies Vol.1, No.2, Desember 2014. h. 259- 284

Wahid, Abdurrahman. (2006). Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta : The Wahid Institute.

PROFILE PENULIS

Dewi Laila Wati

Dewi Laila Wati adalah mahasiswa aktif Psikologi Islam IAIN Kediri. Lahir di Kediri pada tanggal 2 Desember 1999. Lulusan SDN Mrican 1, SMP Negeri 4 Kediri, dan SMA Negeri 1 Kediri. Selain menjadi mahasiswa, juga merupakan seorang pengajar di bimbingan belajar yang dikelolanya hingga saat ini. Prestasi yang pernah diraih menjadi anggota paduan suara gabungan SMA Kota Kediri sebagai perwakilan Kota Kediri dalam lomba paduan suara dalam Pekan Seni Pelajar Provinsi Jawa Timur 2017 juara Harapan III. (Email : dewilailaa10@gmail.com)

About author

No comments