Studi Kasus Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama Bermayoritas Non Muslim di Desa Wonoasri Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri

0

Kerukunan memiliki dasar rukun yang berasal dari bahasa Arab , yaitu “Ruknun” yang artinya tiang, asas-asas atau dasar. Jamak “ruknun” adalah “arkan”, artinya suatu bangunan sederhana yang terdiri dari berbagai unsur yang saling menguatkan seperti yang ada pada rukun Islam dan rukun iman pada agama Islam.Kerukunan juga bermakna suatu proses kemauan dan kemampuan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tentram. Di dalam proses kerukunan harus terjadi sikap saling terbuka, komunikasi dengan baik, menghargai sesama, dan adanya cinta dan kasih.

Sedangkan, kata toleransi dalam bahasa Arab yaitu “Tasamuh” yang berarti saling mengizinkan dan saling memudahkan. Sedangkan secara istilah, toleransi yaitu sikap membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan (David, 1959 : 779). Toleransi tercermin pada sikap yang kuat terhadap kepercayaannya sendiri. Dengan kata lain, toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainnya. Di dalam hal ini, toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan dan keyakinan yang ia anut, tetapi toleransi tercermin pada sikap yang kuat terhadap kepercayaannya sendiri. Toleransi merupakan sikap atau refleksi dari kerukunan.

Toleransi merupakan upaya untuk menghindari konflik-konflik yang terjadi akibat tidak adanya rasa menghormati dan menghargai orang lain. Toleransi diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah dicapai, tetapi justru yang paling penting dalam masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika adalah adanya saling pengertian.

Di Indonesia, agama-agama sangat dilindungi oleh negara, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayannya itu”. Dengan menghormati hak asasi manusia untuk menjalankan hak dan kebebasannya berarti sudah terciptanya toleransi. Kerukunan umat beragama bermakna rukun dan damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengalaman ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan beragama.

Maftuh Basuni(2008:79) bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengmalan ajaran agmanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementra itu, dalam Al-Quran juga banyak terdapat ayat yang membicarakan tentang sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan, salah satunya dalam surah Al-Hujurat (49) ayat 13.

Pada zaman sekarang ini, untuk menjaga toleransi umat beragama bukanlah hal yang mudah atau ringan. Hal ini harus berjalan dengan berhati-hati karena melibatkan aspek emosi umat yang mereka lebih cenderung dengan kebenaran daripada mencari kebenaran. Di dalam penyebarannya ini sering kali terjadi konflik atau gesekan-gesekan antar umat beragama. Terkait hal itu, seyogiannya perlu ada bahasan mengenai minoritas di suatu daerah. Salah satunya di Desa Wonoasri.

Desa Wonoasri Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri merupakan desa yang memiliki keunikan tersendiri, dikarenakan penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan, Katolik, dan sebagian lainnya beragama Islam. Perbedaan ini pun tidak menjadikan konflik bagi masyarakat tersebut. Justru mereka bisa lebih saling menghargai dan membuat desa lainnya menjadi kagum dengan kerukunan desa Wonoasri.

Asal mula terjadinya mayoritas kristen ini berawal dari seseorang Kristen bernama Mathius Anif yang mendirikan desa ini, kemudian namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan di desa Wonoasri. Ia berasal dari GKJW Ngoro Jombang  dan kemudian berguru kepada seseorang nama MD. Kemudian si Mathius Anif memiliki keturunan yang kemudian menempati desa Wonoasri. Awalnya, desa ini hanya berpenduduk orang kristen saja. Kemudian masyarakat Islam perlahan-lahan juga menempati desa tersebut. Masyarakat Islam tersebut berasal dari desa sebelah, yaitu Desa Sonorejo. Kemudian terdapat salah satu gang di desa wonoasri yang bernama gang masjid yang bermayoritas beragama Islam. Masyarakat Kristen pun menerima kedatangan mereka dengan senang hati, tidak menimbulkan perpecahan.

Salah satu bentuk menghargai oleh masyarakat kristen yaitu ketika bulan ramadhan, mereka memberi ucapan kepada masyarakat muslim untuk menjaga persaudaraan. Begitupun dengan sebaliknya. Uniknya, dahulu mereka pernah mengadakan kegiatan berbuka puasa bersama dengan masayarakat Islam dan Kristen berbaur menjadi satu, tentunya dengan menggandeng organisasi Karang Taruna untuk menjembataninya. Cara mereka bersosialisasipun tidak memandang darimana asal mereka. Maka dari itu, mereka cepat membaur untuk bersosialisasi maupun berkomunikasi. Mereka memegang erat rasa persaudaraan antar sesama.

Cara mereka agar tetap menjaga toleransi adalah dengan mengadakan salah satu bentuk kegiatan, yaitu Kesenian Jaranan. Kegiatan ini banyak digemari oleh kalangan remaja di desa Wonoasri Kecamatan Grogol. Mereka berbaur tanpa memandang suku, ras, dan agama mereka. Mereka memandang sama rata. Hal ini menjadi hal yang biasa bagi mereka dan sudah menjadi budaya untuk saling menjaga solidaritas.

Teori dalam kasus ini adalah teori tentang nilai yang berhubungan dengan bagaimana kaum mayoritas dan minoritas berperilaku saling menghargai. Hal ini termasuk ke dalam masalah etika (moral). Masyarakat yang bisa menghargai sesamanya termasuk ke dalam orang yang beretika baik dan dapat menciptakan keindahan. Berbeda dengan orang yang tidak dapat beretika baik dengan lingkungannya, maka ia tidak akan dapat menciptakan keindahan atau estetika dalam lingkungannya.

Masyarakat di desa Wonoasri mayoritas sudah paham dengan keanekaragaman budayanya. Sehingga mereka akan melibatkan etika untuk memperlakukan sebagaimana harusnya dan menciptakan keindahan (estetika) solidaritas di Desa Wonoasri. (DEW)

 

Biografi Penulis

Erlin Alaida Lailani

Mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam semester 6 IAIN Kediri. Untuk dapat mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail pribadinya erlinalaidaaa@gmail.com

About author

No comments