Back to Nature: Merawat Psychological Well-Being di Tengah Pandemi Covid-19

0

Oleh: Endang Sulistyowati

Bercumbu dengan keindahan alam semesta

Hanya angan bagi jiwa yang sibuk meronta

Berdamailah dan syukuri karunia Sang Pencipta

Niscaya jiwa kan terhubung dengan rasa cinta

—————————————————————————————————————

Kehidupan yang akan datang merupakan sebuah misteri dimana tak seorang pun mengetahuinya dengan pasti. Manusia hanya bisa memprediksi dengan berlandaskan pada akal dan pikiran yang diperoleh dari Sang Maha Pemberi yaitu Tuhan. Segala kenikmatan dan keindahan yang disuguhkan telah memanjakan kehidupan makhluk yang paling sempurna di semesta ini. Hingga tak jarang ketidakbersyukuran, ketidakpuasan, dan keserakahan telah membalut jiwa-jiwa yang hanya sibuk berkompetisi.

Kompetisi dengan maksud agar dipandang sebagai ‘manusia paling’ adalah sumber dari rasa ketidakbersyukuran, ketidakpuasan, dan keserakahan. Di mana hal tersebut semakin hari semakin dianggap sebagai hal yang wajar dan patut untuk dilakukan guna mempertahankan eksistensi. Eksistensi dengan melupakan esensi bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan apalagi dibiarkan terus berkembang. Tanpa disadari ini hanya akan membuat jiwa mengakses kebahagiaan yang semu. Di mana sejatinya jiwa semakin sakit dan haus akan rasa cinta, bahagia, dan sejahtera.

Kesibukan mempertahankan eksistensi yang tiada henti, telah banyak menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Manusia beranggapan bahwa hal tersebut berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup agar diperoleh kebahagiaan diri dan kesejahteraan psikologis atau dalam dunia psikologi dikenal dengan psychological well-being. Namun nyatanya, itu hanya nampak bahagia di luar sedangkan apabila di tengok ke dalam, masih perlu dipertanyakan lagi.

Hadirnya pandemi di tengah kesibukan berkompetisi guna mempertahankan eksistensi adalah sebuah peringatan, teguran, dan tamparan keras bagi makhluk yang terlena dengan kebahagiaan semu. Wabah dari Kota Wuhan yang bernama Corona Virus Disease (Covid-19) yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Sindrome Coronavirus-2 (SARS-COV-2) hingga tanggal 29 Maret 2020 telah mencatatkan 1.528 kasus dengan positif covid-19 dan 136 kematian di Indonesia (kini pada 30 April 2021 telah tercatat kasus positif covid-19 1.668.368 orang dan 45.521 kematian). Di mana setiap harinya kasus ini semakin bertambah dan mempengaruhi segala sisi kehidupan baik itu sosial, ekonomi, budaya, maupun pendidikan.

Adanya pandemi telah memaksa segala sisi kehidupan untuk berubah. Sebagian besar aktivitas masyarakat dipusatkan di rumah mulai dari belajar dari rumah (study from home), bekerja dari rumah (work from home), hingga beribadah di rumah (pray at home). Himbauan untuk tetap di rumah, melakukan social distancing, hingga diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa kota di Indonesia nampaknya adalah sebuah hal yang tidak pernah terpikirkan akan terjadi dan bahkan mustahil terjadi. Namun inilah yang saat ini terjadi dan memang harus dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, manusia yang awalnya memiliki kebebasan dalam beraktivitas dan mengakses segala kebutuhan hidupnya. Kini kebebasan itu hilang dalam sekejap. Manusia yang awalnya disibukkan dengan kompetisi yang tiada henti, kini diminta untuk mengambil jeda sejenak. Inilah yang dimaksudkan dengan peringatan, teguran, dan tamparan keras bagi manusia. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan pikiran serta nurani sudah selayaknya memberi apresiasi pada diri dengan mengambil jeda dan mulai merawat jiwa ini. Merawat jiwa yang sebelumnya telah diajak berjuang tapi tak sekalipun diberi kesempatan untuk mengambil jeda. Merawat jiwa yang telah letih yang selalu dituntut untuk memenuhi hasrat ketidakpuasan manusia.

Lantas bagaimana cara merawat jiwa atau kesejahteraan psikologis (psychological well-being) di tengah pandemi? Bukankah dengan adanya pandemi kesejahteraan psikologis manusia semakin dipertanyakan? Di mana beberapa penelitian mengungkapkan bahwa dengan adanya pandemi tingkat kecemasan dan ketakutan semakin meningkat yang membuat jiwa semakin tertekan dikarenakan sebagian besar aspek kehidupan manusia dipaksa untuk berubah. Belum lagi kondisi ekonomi yang mengalami penurunan drastis dikarenakan harus beradaptasi dengan perubahan sebesar ini. Akankah manusia masih bisa merawat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) di tengah situasi yang dianggap tidak mendukung oleh sebagian besar masyarakat?

Bagaimanapun situasi dan kondisinya, manusia pasti bisa merawat kesejahteraan psikologisnya. Akan tetapi hal ini tergantung dari kemampuan masing-masing individu dalam memaknai kondisi yang ada. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (1995) mengenai psychological well-being, yaitu:

“Comprehensive accounts of psychological well-being need (to) probe people’s sense of whether their lives have purpose, whether they are realizing their given potential, what is the quality of their ties to others, and if they tell in charge of their own lives.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dimaknai bahwa Ryff dan Keyes (1995) memandang psychological well-being berdasarkan pada sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam hidup, apakah individu tersebut menyadari potensi-potensi yang ada, kualitas hubungan dengan sesama, dan sejauh mana individu tersebut bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri. Di mana hal-hal tersebut baru akan disadari apabila manusia mengambil jeda untuk merenungkannya. Jadi, individu dengan psychological well-being adalah individu yang mampu mengaktualisasikan potensi diri yang ada guna menghadapi tantangan kehidupan, memiliki sikap positif baik pada diri sendiri maupun orang lain, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana cara merawat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) di tengah pandemi? Back to nature (kembali ke alam) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk merawat kesejahteraan psikologis. Alam adalah hal yang tepat untuk dihadiahkan pada jiwa yang merindukan jeda. Di mana sebelum adanya pandemi sebagian manusia telah mengabaikan kebutuhan psikologisnya dengan terus memeras dirinya untuk mempertahankan eksistensi. Terus berjuang di tengah kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan tanpa kesadaran untuk mengambil jeda. Hal-hal tersebut sebenarnya cenderung membuat jiwa semakin sakit dan haus akan rasa bahagia.

Pandemi covid-19 adalah sebuah momentum yang tepat digunakan untuk merawat kesejahteraan psikologis. Dengan back to nature (kembali ke alam) manusia diberi kesempatan untuk mengambil jeda sejenak dari kebisingan dan hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia menjadi punya kesempatan untuk menikmati keindahan alam semesta yang selama ini jarang dijamah oleh inderanya. Alam menyuguhkan hal-hal yang sebenarnya dibutuhkan oleh jiwa yaitu keheningan. Apalagi dalam situasi pandemi saat ini di mana tak seorangpun tahu kepastian kapan berakhirnya wabah covid-19. Hidup dalam ketidakpastian merupakan hal yang tidak mengenakkan. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh tokoh CEFT di Indonesia, Aswar, dalam sebuah grup telegram beliau mengatakan, “Kebencian terbesar banyak orang adalah benci pada ketidakpastian. Ternyata kehidupan yang sifatnya sangat tidak pasti itu hanya bisa diatasi dengan keheningan”.

Salah satu cara untuk memperoleh keheningan adalah dengan kembali ke alam dan berinteraksi dengan alam. Di alam, manusia akan merasakan ketenangan dan keheningan di mana yang tersaji adalah pemandangan hijaunya pepohonan, kejernihan air, kesejukan udara, dan suara-suara burung yang saling bersahutan. Semua hal tersebut sangat mendukung kesejahteraan psikologis manusia dikarenakan dapat mengurangi stress dan kecemasan dalam menjalani kehidupan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2009 yang diterbitkan dalam Enviromental Health and Preventive Medicine. Dalam penelitian ini, peneliti mengirim peserta ke daerah berhutan maupun perkotaan. Hasilnya, peserta yang telah menjalani 20 menit berjalan di hutan memiliki kadar hormon stress yang lebih rendah dari pada peserta yang berada di perkotaan. Ini membuktikan bahwa alam dapat mengurangi stress yang dirasakan oleh manusia.

Mengapa back to nature (kembali ke alam) dapat merawat kesejahteraan psikologis? Hal ini dikarenakan alam memberikan jeda pada manusia untuk beristirahat dari kesibukan di luar sana. Alam memberikan kesempatan pada manusia untuk fokus ke dalam dirinya, merenung, dan melihat potensi-potensi yang ada dalam dirinya sehingga bisa mencapai kebahagiaan yang sejati, bukan semu. Mulai membiasakan diri untuk berinteraksi dan bersatu dengan alam adalah hal yang penting untuk dilakukan guna terus merawat kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bahkan di Jepang, bersatu dengan alam adalah sebuah terapi yang digunakan untuk menyembuhkan diri, merefresh pikiran, dan kesehatan mental. Terapi ini dinamakan shinrin-yoku atau forest therapy.

Tuhan begitu baik pada makhluk ciptaan-Nya. Tuhan menciptakan alam semesta yang begitu indah, megah, dan penuh manfaat. Oleh karena itu, back to nature (kembali ke alam) adalah salah satu jalan untuk menjaga keharmonisan manusia dengan alam. Selain itu, ini juga dijadikan sebagai wujud kebersyukuran manusia atas karunia Sang Pencipta.

Pandemi covid-19 bukan untuk diratapi, melainkan dijadikan sebagai pengingat bahwa manusia tidak hidup sendiri. Ada alam yang selalu mendampingi. Ada Tuhan yang telah menciptakan keindahan alam semesta ini. Jadi, berterimakasihlah pada-Nya dengan merawat jiwa ini, jiwa yang rindu untuk bercengkrama dengan alam semesta. (DEW)

Biografi Penulis

*) Endang Sulistyowati

Endang Sulistyowati, penulis adalah mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam IAIN Kediri, yang juga sebagai editor muda di media online resmi milik lembaga dan salah satu penulis dalam buku antologi yang berjudul ‘Anti Toxic Mind’. Instagram: @endangswp_ (email: endangsw567@gmail.com)

About author

No comments