Pandangan Rasionalisme Terhadap Tradisi Brokohan Bayi

0

Desa Pelas adalah desa yang berada di pojok selatan Kabupaten Kediri. Desa ini adalah desa yang unik karena merupakan perbatasan antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung yang dibatasi oleh persawahan. Mata pencaharian penduduk di desa ini adalah bertani dan juga berdagang. Desa ini merupakan desa pelosok yang namanya saja sudah terasa asing. Menurut cerita sesepuh desa, desa ini diberi nama Desa Pelas karena dahulu banyak pohon ampelas yang tumbuh, tetapi sekarang pohon ini sudah jarang ditemukan. Desa ini mempunyai tiga dusun, yaitu Dusun Jenggolo, Pesantren, dan Depok yang mana dibatasi oleh sebuah tugu monumen yang sudah berdiri sejak lama. Banyak tradisi adat jawa yang masih eksis di Desa Pelas sampai sekarang, salah satunya adalah tradisi Brokohan Bayi.

Brokohan berasal dari bahasa Arab yang barkah. Wujud brokohan pada zaman dahulu menggunakan “besek” yang berisi: 3 telur ayam mentah (jumlah ditentukan menurut neptune hari dan pasaran lahirnya bayi), gula jawa, dhawet, nasi beserta lauk pauk, pecel ayam, jangan menir, bunga setaman (mawar, melati, kenanga), kelapa, dan beras. Cara yang lain diwujudkan dengan bahan mentah berupa bumbu dapur: bawang merah, bawang putih, cabai merah , cabai rawit, garam, dll. Ada juga disertakan teh, gula jawa/gula merah, tempe, dan separo kelapa. Brokohan kemudian dibagikan pada tetangga terdekat, yang bahan atau perlengkapannya sekarang ini sesuai dengan kemampuan ekonomi dengan keluarga masing-masing.

Brokohan memiliki makna pengungkapan rasa syukur dan rasa suka cita atas proses kelahiran yang berjalan lancar dan selamat. Ditinjau dari maknanya, brokohan  juga bisa berarti mengharapkan berkah dari Yang Maha Pencipta. Sementara, tujuannya adalah untuk keselamatan dan  perlindungan bagi sang bayi. Selain itu, harapan bagi sang bayi agar kelak menjadi anak yang memiliki perilaku yang baik. Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau  plasenta si bayi. Setelah itu dilanjutkan dengan membagikan sesajen brokohan kepada sanak saudara dan para tetangga.

Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau plasenta si bayi. Setelah itu dilanjutkan dengan membagikan makanan, seperti tumpeng brokohan kepada sanak saudara dan para tetangga.

Ari-ari atau plasenta sendiri di dalam masyarakat Jawa sering disebut pula dengan batur bayi (teman bayi). Oleh karena itu, plasenta harus dirawat dan dijaga sebaik mungkin setelah bayi dilahirkan yaitu dengan dipendam, diberi lampu, dan dipagari, tidak serta merta dibuang begitu saja karena kita harus ingat bahwa batur bayi-lah yang menemani bayi saat di kandungan. Sebagaimana kita ketahui bahwa plasenta memiliki fungsi yang sangat penting pada saat bayi dalam kandungan. Selain mengirimkan gizi dan oksigen dari darah ibu, ia juga bertugas membawa kembali karbondioksida dan sisa-sisa pembuangan janin ke darah ibu. Plasenta juga membentuk pertahanan terhadap penyakit tertentu

Makna sajen brokohan merupakan manifestasi dari siklus manusia ketika masih di dalam rahim Sang Ilahi. Sebelum embrio terbentuk, embrio tersebut berasal dari pertemuan benih laki-laki yang berupa sel sperma (dalam bahasa Jawa Kuno disebut sukra) dengan benih perempuan yang berupa sel telur (dalam bahasa Jawa Kuno disebut swanita). Kelapa tidak utuh merupakan simbol sel sperma yang dihasilkan oleh laki-laki, sedangkan gula Jawa tidak utuh sebagai simbol dari sel telur yang dihasilkan oleh perempuan. Ketika kedua sel sperma dan sel telur bertemu, muncullah bibit kehidupan atau embrio. Dalam hal ini disimbolkan dengan cendhol/dhawet dalam periuk kecil. Menurut orang Jawa dahulu, embrio-embrio ini (rohnya) masih berada di alam awang-uwung atau di langit biru. Maka disimbolkan dengan telur bebek yang kulitnya berwarna biru langit. Siklus manusia yang masih berada di rahim Sang Ilahi belum bebas adanya, maka sepasang ayam dewasa dalam kurungan sebagai simbol.

Selanjutnya akan membahas tentang apa itu aliran Rasionalisme. Rasionalisme merupakan aliran yang menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata karena akal.

Penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukannya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul dan tetap atau tidak berubah.

Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak. Aliran rasionalisme merupakan aliran yang sangat kritis, dimana mempertanyakan semua yang tidak masuk akal di dunia ini dan segera mencari tahu apa sebabnya atau segera mengklarifikasi dengan menggunakan alasan yang lebih rasional agar lebih jelas. Mulai dari kebudayaan, keseharian, ilmu terapan, hingga agama, para filosofi terutama di bidang rasionalisme mempersoalkan semuanya dengan berpikir rasional.

Dari pemaparan di atas. Pandangan aliran rasionalisme pada tradisi brokohan bayi ini merupakan tradisi yang mungkin tidak bisa dibuktikan rasionalnya, seperti contoh adalah makna dari sesajinya, yakni:

  1. Jenang abang putih sebagai lambang kemanunggalan ayah ibunya
  2. Telur ayam kampung mentah sebanyak jumlah neptu lahir si bayi lambang pasaran lahir
  3. Gula jawa adalah lambang kemanisan hidup dan syukur atas kelahiran bayi
  4. Dhawet cendhol sebagai lambang kesegaran dan kelancaran usaha hidup
  5. Sekul ambengan sebagai lambang kekuatan besar lahir batin.
  6. Kembang setaman mengandung makna kesucian
  7. Kelapa melambangkan ketahanan fisik
  8. Ingkung melambangkan si bayi yang baru lahir
  9. Jajan pasar melambangkan kekayaan
  10. Beras melambangkan kemakmuran dan kecukupan pangan.

Secara rasional, makna dari sesaji itu sendiri sulit untuk dijelaskan kebenarannya. Jika kita berpikir kritis, mengapa benda-benda tersebut bisa dijadikan lambang dan mengapa bukan benda lain yang digunakan. Namun, menurut pandangan masyarakat Jawa, ini sudah masuk akal atau rasional, contohnya gula jawa adalah lambang kemanisan hidup dan syukur atas kelahiran bayi, jika dipikir lagi memang gula rasanya manis dan dapat dilambangkan sebagai kemanisan hidup. Kelapa melambangkan ketahanan fisik, dalam hal ini masyarakat menggunakan kelapa karena kelapa merupakan buah yang bercangkang keras dan dapat disimbolkan sebagai ketahanan fisik. Beras melambangkan kemakmuran dan kecukupan pangan, mengapa menggunakan beras? Masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur menjadikan beras sebagai makanan pokok dan petani sebagai mata pencahariannya. Dan hal inilah yang menjadikan beras sebagai lambang kemakmuran dan kecukupan pangan. Jajanan pasar yang melambangkan kekayaan, jajanan pasar di Jawa sangat banyak macamnya maka dari itu digunakan sebagai wujud kekayaan yang melimpah.

Itulah sebagian contoh bagaimana masyarakat Jawa berpikir bahwa tradisi brokohan bayi merupakan hal yang rasional. Hal ini bukan semata-mata orang Jawa percaya bahwa dengan menggunakan sesaji tersebut di dalam brokohan bayi, maka anak yang lahir akan mendapat apa yang sudah dilambangkan. Sesaji itu sendiri merupakan lambang dari doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dan ungkapan rasa syukur karena telah lahirnya bayi. Bagaimana nasib si bayi ketika dewasa? Nasib manusia sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa dan diri sendiri bukan dari sesaji tersebut. Jika tidak ada perubahan nasib maka kenapa harus ada sesaji di brokohan bayi? Sudah dijelaskan bahwa tradisi ini adalah ungkapan rasa syukur atas lahirnya bayi. Dalam pelaksanaan brokohan sendiri terdapat 2 pendapat:

  1. Golongan tua memiliki persepsi setuju terhadap tradisi brokohan sehingga tetap melaksanakan tradisi brokohan dengan lengkap. Mereka menilai bahwa tradisi brokohan merupakan sebuah upacara yang berkaitan dengan kelangsungan hidup bayi ke depannya sehingga harus dilaksanakan dengan semestinya sesuai yang telah diwariskan oleh nenek moyang sebelumnya.
  2. Golongan muda memiliki persepsi tidak setuju terhadap tradisi brokohan sehingga dalam melaksanakan tradisi brokohan terdapat penyederhanaan baik dalam tahapan maupun perlengkapan yang digunakan. Hal ini dikarenakan kepercayaan dari golongan muda yang mulai memudar terhadap tradisi yang dahulunya dianggap sakral oleh masyarakat pendukungnya.

Dalam menghadapi fenomena tradisi adat Jawa ini baik mengikuti atau tidak kita harus berpatokan dari pemikiran kita sendiri akan masuk atau tidaknya suatu hal dalam akalnya. Dengan kata lain, rasional atau tidak tentang apa yang ada di sekeliling mereka. Dalam hal ini, kita juga harus berpikir rasionalisme dan memandang apa yang terjadi menggunakan akal dan mulai berpikir bahwa apa yang terjadi dapat dipahami dengan baik oleh akal. Dan tidak hanya menelan mentah-mentah takhayul, mitos atau sejenisnya tanpa mencari suatu kepastiannya.

Dan dengan hal ini, tradisi brokohan bayi adalah tradisi yang menurut saya bisa dikatakan rasional dalam hal makna dari sesaji dan tujuan diadakannya tradisi tersebut. Sebagai kaum muda yang juga kental dengan budaya Jawa, penulis memandang tradisi brokohan bayi di Desa Pelas ini merupakan tradisi yang memilki tujuan yang baik dan bukan hanya diturunkan dari nenek moyang, tetapi secara rasional simbol sesajinya dapat diterima oleh akal meskipun bukti tentang tujuan sesaji itu terwujud masih abu-abu. (EN)

Biografi Penulis

Eni Purnawati

Eni Purnawati, seorang mahasiswi program studi Psikologi Islam semester enam IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi enipurnawati27@gmail.com

About author

No comments