Menjadi Mahasiswa, Menjadi Kapitalis …?

0

Ada kalanya, sebagian dari kita bingung dan bertanya-tanya, “Apa sih sebenarnya ‘tujuan’ dari berkuliah itu? Mengapa sekarang kita berada pada status mahasiswa dengan jurusan ini? Sebenarnya apa yang benar-benar kita harapkan dari ilmu ini?” Faktanya, setiap tahun ada puluham ribu mahasiswa—termasuk kita—berbondong-bondong memasuki gerbang perguruan tinggi dengan harapan-harapan yang pastinya akan menyinggung pertanyaan-pertanyaan di atas.

Sejak SMA, banyak di antara teman kita yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri. Motivasi mereka pun beragam: ada yang memang berminat mendalami bidang tertentu, ada yang ingin memenuhi harapan orang tua, dan ada pula yang berkuliah karena menganggap itu sebagai jalan pintas menuju kesuksesan di masa depan. Namun sayangnya, banyak siswa SMA yang mengambil keputusan melanjutkan kuliah tanpa benar-benar memahami potensi dan minat diri sendiri, termasuk dalam memilih jurusan.

Tidak bisa disalahkan! Kultur kapitalis kita memang menghendaki ketidakmandirian siswa dalam memilih status keilmuan yang ia pelajari. Apalagi kita sudah masuk di era MEA yang perlahan mereduksi dimensi kemanusiaan orang Indonesia. Segala macam program pemerintah, bahkan tentang Pendidikan, hari ini harus sesuai dengan kehendak pasar bebas. Maka jangan berharap banyak pada kultur pendidikan yang diselenggarakan pemerintah jikalau kita ingin memahami hakikat sebuah ilmu. Faktanya, kultur pendidikan kita hari ini menggunakan logika pasar, tidak berupaya benar mencetak ilmuwan, tapi disetting untuk mencetak tenaga kerja.

Sistem pendidikan yang dikelola dengan logika pasar, akan membuat kita sebagai objek pendidikan diperlakukan layaknya customers, sehingga menjadi wajar kalau kuliah itu … bayarnya mahal, SKS-nya padat, tidak ada materi tentang filsafat yang rigit, adanya pembatasan pemakaian ruang kampus, dikotomi Intra-Ektra organisasi, dan sebagainya. Hal yang sama akhirnya menjadikan sebuah kewajaran pula ketika kita berteriak dengan toa di depan rektorat tentang betapa mahalnya biaya UKT, DO, atau hal-hal yang mengganggu kenyamanan kita dalam belajar. Biasanya orang-orang yang tidak mau teriak-teriak ini adalah orang yang sudah kaya, jadi merasa tidak terbebani dengan biaya sekolahan dan administrasi lainnya, atau memang paradigmanya sudah dipengaruhi logika kapitalis.

Meminjam istilah Noam Chomsky, ada semacam “Manufacturing Concent” yang sedang diupayakan oleh korporasi-korporasi melalui lembaga-lembaga pemerintah. Ada sebuah paradigma yang disuntikkan kepada generasi-generasi muda untuk kepentingan manufaktur. Generasi muda dijadikan bimbang dengan “status sosial”, dijadikan takut dengan “masa depan”, dijadikan gelisah dengan “pencitraan diri”, sehingga ia tidak menyadari memiliki kuasa untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Maka jangan heran kalau kita bertanya, “Mbak, Mas, mengapa ambil jurusan ini?”, mereka menjawab, “karena tidak ada pilihan lain, Mas.” atau mendapat jawaban, “Halah, Mas, yang penting bisa sekolah itu sudah baik, supaya besok sukses dapat kerjaan enak, kantoran,” dan lain sebagainya.

Institusi Pendidikan yang harusnya menjadi sarana pendidikan, mencetak orang-orang terdidik, kini mulai kehilangan visinya. Orientasinya bukan lagi mencetak orang terdidik yang tanggap dan peduli akan realita sosial, tapi mencetak orang biasa dengan mental ekonomis-individualis (pekerja). Justru secara samar, institusi pendidikan beralih menjadi musuh orang-orang terdidik; mencetak bibit-bibit kapitalis baru, mencetak penindas-penindas baru dengan slogan “SUKSES” yang ditawarkan institusi.

Jadi, apabila kita yang sudah terlanjur berkuliah dan salah memilih jurusan, okelah gak papa, tapi mohon set up ulang-lah paradigma berpikir kita tentang realitas. Cara pandang kita mendefinisikan kebahagiaan sangat mempengaruhi kita dalam menjalani kehidupan, termasuk berkuliah. Bagi institusi pendidikan yang menghasilkan orang-orang terdidik; ia memiliki filosofi kebahagiaan yang sangat luas, tidak hanya sebatas pada materi saja, tapi ia berusaha menciptakan manusia-manusia yang berpikir sebagaimana adanya dan bertindak sebagaimana mestinya (manusia pejuang, sadar sosial). Namun bagi institusi pendidikan yang hanya sekedar mencetak orang kaya; filosofi kebahagiaannya sangat sempit, hanya terbatas pada materi saja. Pendidikan yang semacam ini akan berusaha menciptakan manusia-manusia individualis, apatis, hedonis, oportunistik, di mana manusia-manusia seperti ini sangat mengganggu sekali dalam ekosistem berkehidupan kita.

Sekian catatan kecil ini.

 

Penulis: Mufid Adiansyah

About author

No comments