Prospek Mutu Sekolah Gratis

0

Pendidikan menjadi salah satu aspek yang memiliki urgensi amat besar sebagai parameter mutu setiap bangsa, guna mewujudkan semua itu tentu bukan perkara mudah. Salah satu faktornya adalah kesehatan, dengan semakin mudahnya akses kesehatan bagi penduduk sekaligus tumbuhnya kesadaran dalam menerapkan pola hidup sehat. Maka, semakin banyak lahir generasi berprospek baik serta memiliki mutu. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena kesehatan dan pendidikan memiliki konektivitas dalam rangka pembangunan manusia.

Pembangunan manusia tak lepas dari akses terhadap pendidikan bahkan menjadi aspek mutlak bagi setiap individu. Dengan adanya pendidikan, maka manusia akan terlepas dari belenggu kejumudan dan kebodohan. Pendidikan juga dapat disebut sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas seseorang. Di dalam konteks ini berupa kapasitas intelegensi atau kecerdasan sekaligus pengalaman belajar yang tidak didapatkan sebelumnya bagi yang tidak mengenyam pendidikan. Tentu, semua masyarakat pernah merasakan bangku sekolah meskipun dengan tingkat ketuntasan dan latar belakang yang beragam atau bahkan didapati seseorang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Namun, itu mungkin hanya sebagian kecil saja.

Sekolah menjadi institusi yang mengajarkan beragam hal teoritis dan juga praktik sekaligus menjadi bagian dalam proses membangun manusia dengan beragam disiplin ilmu.  Sekolah juga mempersiapkan individu yang berkepribadian luhur serta siap berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga sekolah tidak kehilangan fungsinya sebagai wadah pengembangan kapasitas akal dan juga keterampilan hidup.  Mungkin tak hanya itu saja, tetapi nilai moral serta penguatan terhadap karakter juga bagian dari pendidikan di sekolah .

Menurut data Badan Pusat Statistik, terkait dengan prosentase sekolah tersebar pada setiap jenjang mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah kejuruan dengan perincian berikut:  terdapat 148.673 SD pada tahun  2018/2019 mengalami kenaikan pada 2019/2020 dengan kisaran 0,51 persen mencapai 149.43. Sedangkan, untuk SMP jumlah sekolah mencapai 40.559 pada tahun 2019/2020 dengan tingkat pertumbuhan sekolah mencapai 2,33%, pada jenjang SMA jumlah sekolah pada periode yang sama mencapai 13.939 dengan tingkat pertumbuhan 1,80% dan untuk SMK mencapai 14.301 sekolah dengan tingkat pertumbuhan 1,69%.

Dari prosentase di atas, dengan jumlah sebaran sekolah secara nasional hingga ribuan sekolah, tetapi tidak semua dapat merasakan bangku sekolah karena ketidakmampuan untuk membayar administrasi justru memilih meninggalkan pendidikan. Hingga pada akhirnya lebih memilih bekerja dengan maksud membantu ekonomi keluarga.

Pendidikan menjadi hak atas setiap warga negara yang mana ini menjadi amanat konstitusi di negara ini seperti tertuang dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal tersebut menjadi bukti bahwa negara memastikan warganya untuk dapat mengeyam pendidika. Tak hanya itu, pemerintah melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk swasta dalam penyelenggaraaan pendidikan. Oleh karena itu, sarana dan prasarana menjadi salah satu aspek fundamental yang harus dipenuhi yang menjadi penunjang keberlangsungan proses belajar mengajar. Tanpa adanya sekolah yang layak, maka proses belajar akan mengalami kendala yang berdampak pada kualitas sumber daya manusianya.

Sekolah gratis biasanya berlaku bagi sekolah negeri, tetapi realitanya banyak sekolah negeri yang justru tidak gratis atau berbayar. Sekolah negeri mayoritas dinikmati siswa dengan ekonomi mapan terkadang menutup peluang bagi siswa dengan ekonomi bawah masuk ke sekolah negeri karena bisa mengikuti bimbingan belajar kelas satu. Hal itu dilakukan sebagai upaya demi memuluskan langkah ke sekolah favorit. Lantas, siswa dengan kelas ekonomi ke bawah sulit untuk bisa masuk bimbingan belajar ternama dan justru disiasati dengan belajar secara otodidak maupun mengikuti bimbingan belajar berbiaya lebih murah yang tidak terlalu menjamin hasilnya akan dapat masuk sekolah negeri. Semua itu kembali pada kemauan diri sendiri dalam belajar dan berusaha mencapai tujuan.

Banyak siswa berlomba untuk mendaftarkan diri ke sekolah negeri dengan tingkat persaingan yang begitu ketat. Hal itu dilakukan karena sekolah negeri lebih murah secara biaya atau bahkan gratis, membuat banyak siswa yang berasal dari keluarga kaya juga berebut kursi untuk bisa bersekolah yang diinginkan. Namun, semua itu ditentukan  oleh nilai akhir dan tes, maka siapa yang berada di bawah standar akan tergeser. Bahkan, keluar dari persaingan hingga akhirnya gagal lolos dan mengharuskan melanjutkan sekolah di sekolah swasta. Sekolah negeri yang diklaim sekolah gratis menjadi persaingan antar siswa kaya karena lebih banyak diisi oleh siswa kaya dan menjadi kebanggaan disebabkan sekolah negeri lebih bergengsi ketimbang swasta.

Namun, siswa dari keluarga miskin bukan berarti tanpa  harapan, mereka tetap bisa bersekolah melalui bantuan yang diberikan khusus oleh pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar untuk mengakomodasi pendidikan siswa miskin sehingga tidak menjadi beban dalam urusan pendidikan dan juga tetap bisa melanjutkan jenjang pendidikan hingga pendidikan tinggi. Siswa yang berasal dari keluarga miskin tetap bisa bersaing untuk masuk sekolah negeri dengan catatan memiliki kapasitas dan lolos tes seleksi yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, prosentase antara  sekolah negeri dan swasta pada tahun 2019/2020 terbilang beragam. Jenjang SD  perbandingannya pada angka 88,25 persen untuk SD negeri dan 11,75 persen SD swasta. Sedangkan, untuk jenjang berikutnya, SMP negeri mendominasi di angka 58,17 persen  dan SMP swasta berada di angka 41,83 persen.  Pada jenjang SMA prosentase sekolah negeri mencapai 50,66 persen. Sedangkan, untuk sekolah swasta diangka 49,34 persen terakhir untuk jenjang SMK sekolah negeri masih tertinggal jauh dari sekolah swasta untuk sekolah swasta dengan besaran 74,67 persen sedangkan 25,33 persen untuk sekolah negeri.

Dengan bersekolah di institusi negeri tak menjamin mutu siswanya ditambah lagi adanya pemberlakuan zonasi yang bertujuan untuk pemerataan dan efisiensi. Namun, didominasi oleh siswa yang dekat jarak antara rumah ke sekolah sehingga  tidak melihat bagaimana kapasitas dan kemampuannya. Sehingga kemungkinkan sekolah negeri diisi siswa yang tidak memiliki kapasitas sesuai standar atau bahkan di atas standar, memunculkan stigma di tengah siswa bahwa ia pasti diterima di sekolah tersebut bukan karena mutunya, akan tetapi lebih kepada dekatnya jarak antara rumah dan sekolah yang menjadi prioritas dalam penerimaan jalur zonasi yang membuatnya tidak berkeinginan untuk belajar. Tentunya, semua itu memiliki potensi tidak mampu bersaing dengan temannya hingga tersisih dengan sendirinya berkat konsekuensi dari tindakannya sendiri.

Tidak masuk ke sekolah negeri membuat banyak siswa yang akhirnya pupus harapan untuk masuk sekolah yang konon gratis ini dan harus bermigrasi ke sekolah swasta karena adanya zonasi tertutup peluangnya, padahal memiliki mutu yang bagus atau bahkan di atas standar. Ini menjadi angin segar bagi sekolah swasta karena mendapatkan siswa yang memiliki mutu dan membuatnya memiliki konfidensi untuk bersaing dengan sekolah negeri. Namun, di lain sisi menjadi sebuah kegundahan bersekolah dengan biaya tinggi biasanya identik dengan sekolah swasta tak terkecuali siswa yang berasal dari keluarga ekonomi rendah hingga harus mencari bantuan sekaligus pinjaman untuk membayar juga memenuhi kebutuhan sekolah.

Pendidikan sejatinya bukan milik siswa kaya saja, akan tetapi semua warga negara berhak untuk belajar dan diajar tanpa melihat latar belakangnya. Sekolah yang menjadi tempat menerima ilmu dan menempa kapasitas diri bahkan  tidak selayaknya menjadi eksklusif hingga menjadi milik siswa yang mapan saja melainkan milik semua. Hakikatnya, sekolah negeri diperuntukkan bagi semua siswa yang memang layak masuk ke sekolah yang diklaim gratis. Jangan sampai menghilangkan harapan seseorang hanya karena ambisi semata  berujung pada ketidakminatan untuk sekolah serta bermuara pada potensi putus sekolah. (DEW)

Biografi Penulis

*) Muhammad Iqbal Fuadhi

Salah satu mahasiswa program studi Pendidikan Bahaa Arab semester 6 IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat follow akun instagramnya @Iqbalfuadhi dan facebook iqbalfuadhi atau menghubungi e-mail pribadinya @fuadhiiqbal@gmail.com

About author

No comments