Islam dan Budaya Jawa: Tradisi ‘Tedhak Siten’ dalam Kacamata Islam

0

Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakkan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Koentjaraningrat misalnya, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya. Ia juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, salah satunya adalah sistem religi. Maka dari itu banyak yang menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Islam adalah sebuah hukum (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Allah SWT, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dikurangi sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistik.

Islam haruslah diterima secara utuh, dalam arti seluruh hukum-hukumnya dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan. Secara umum, konsep Islam mempunyai dua pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedang hubungan kedua membentuk sosial (muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Konsep tersebut dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan pembentukan hukum Islam secara umum, yaitu menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Jadi, Islam mempunyai dua aspek, yakni segi agama dan segi kebudayaan. Dengan demikian, ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dalam pandangan ilmiah, antara keduanya dapat dibedakan, tetapi dalam pandangan Islam sendiri tak mungkin dipisahkan. Antara yang kedua dan yang pertama membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan integrasinya, sehingga sering sukar mendudukkan suatu perkara, apakah agama atau kebudayaan. Misalnya nikah, talak, rujuk, dan waris. Dipandang dari kacamata kebudayaan, perkara-perkara itu masuk kebudayaan. Tetapi ketentuan-ketentuannya berasal dari Tuhan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menaati perintah dan larangan-Nya. Namun, hubungan manusia dengan manusia, ia masuk kategori kebudayaan. Agama dan kebudayaan dapat saling memepengaruhi sebab keduanya adalah nilai dan simbol. Agama adalah simbol ketaatan kepada Tuhan. Demikian pula kebudayaan, agar manusia dapat hidup di lingkungannya. Jadi, kebudayaan agama adalah simbol yang mewakili nilai agama.

Seperti di negara Indonesia yang mempunyai beragam banyak budaya, suku, adat istiadat, dan agama. Jadi tak heran setiap suku dan agama mempunyai tradisi kebudayaan dan adat istiadat yang melekat. Salah satunya suku adat Jawa yang mempunyai tradisi mudun lemah, Sebagian suku Jawa di Sidoarjo ini, masih memegang teguh tradisi leluhurnya. Salah satu tradisi yang masih dirawat dengan baik adalah Mudun Lemah (Tedhak Siten) atau peringatan tujuh bulan kelahiran sang bayi. Memasuki usia 7-8 bulan, orang Jawa biasanya menggelar tradisi Mudun Lemah (Selametan). Tadisi asli Jawa ini, ternyata sudah dilaksanakan turun temurun sejak zaman dulu. Namun, di daerah Sidoarjo tradisi Mudun Lemah yang dilakukan tidak sedetil seperti apa yang pernah dilakukan leluhurnya. Akan tetapi tetap memakai pakem Jawa seperti adanya bubur merah, tetel (sebangsa ketan), jajan pasar, gedang (pisang) rojo, gedang (pisang) susu, kembang setaman, dan permainan anak.

Meskipun tradisi mudun lemah ini tidak ada anjurannya di dalam agama Islam, tetapi masyarakat Sidoarjo terutama di desa penulis, Desa Kedondong tetap mengikutkan segi agama dalam tradisi ini, terlebih lagi di desa Kedondong mayoritas penduduknya beragama Islam. Selametan ini merupakan unsur Jawa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Ketika Islam datang unsur pra-Islam yang berupa kepercayaan animisme, dinamisme, dan pengaruh Hindu-Budha sudah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, sehingga sulit untuk menghilangkannya. Selametan itu sendiri dilaksanakan dengan maksud memperoleh keselamatan, sesuatu yang dilaksanakan dapat tercapai dengan selamat dan mencapai sukses. Maka, upacara selametan merupakan ajaran dan peringatan untuk menghindari pemborosan (supaya selamat), dan tidak menimbulkan keburukan.

Nilai-nilai Islam dan Jawa kiranya bertemu dalam slametan yang memuat nilai-nilai tertentu. Kenyataan bahwa upacara selametan telah disentuh dengan ajaran Islam, seperti masuknya unsur dzikir, penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari-hari besar Islam, mengakibatkan efek selametan terkandung mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan. Tradisi ini juga mempunya kelebihan dan kekurangannya seperti, Kekurangan dalam tradisi tedhak siten adalah dengan adanya simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antar Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkretisme tersebut juga terlihat dengan pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan. Sebagai masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan. Tedhak Siten dapat saja dilakukan, yang penting masyarakat tidak mengimani simbol-simbol yang terkait di dalam tradisi tedhak siten (mudun lemah).

Tedhak siten juga merupakan perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT Sehingga dengan adanya tradisi tedhak siten ini masyarakat melakukan salah satu perwujudan rasa syukurnya serta bersedekah kepada orang-orang dan mempunyai jiwa sosial. Dan kelebihan tradisi tedhak siten adalah dalam hal kenduri atau selametan bukan hanya acara makan-makan. Tradisi ini juga dibarengi dengan acara selametan yang di pimpin oleh seorang sesepuh desa atau tokoh masyarakat yang memimpin doa, agar keluarga dan sang buah hati selalu mendapat keselamatan dan diberkati dunia akhirat, serta prosesi tradisi mudun lemah ini diterima dan bermanfaat bagi keluarga dan mereka yang menghadirinya. Kenduri juga menjadi ajang memperat tali silaturahmi; sanak keluarga, kerabat, dan lingkungan tetangga. Sebagian masyarakat muslim berpendapat bahwa mudun lemah dapat dilakukan dan tidak menganggu nilai keimanan dalam Islam selain sebagai pengungkapan perwujudan rasa syukur, acara tedhak siten ini juga bertujuan memohon keselamatan dan sejahtera dalam menampaki jalan kehidupannya.

Tradisi mudun lemah (tedhak siten) adalah tradisi Jawa yang dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama Islam, atau dengan kata lain Islam dengan kebudayaan. Islam sebagai agama sejatinya bukanlah sebagai sesuatu yang sebatas ajaran dogmatis dalam segala aspeknya. Islam sebagai agama teologis juga merupakan agama yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini menjadi indikasi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam. Islam sendiri bersifat normatif atau dalam artian agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan akidah dan muamalah, Islam normatif lebih merupakan sebagai agama yang tidak dapat menerima paradigma ilmu pengetahuan yang paradigmanya yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sedangkan Islam historis adalah Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu.

Jadi, tradisi mudun lemah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kedondong Kabupaten Sidoarjo ini mencakup dua aspek yaitu Islam normatif dan Islam historis, karena tradisi mudun lemah ini mempunya historis (sejarah), jadi tradisi ini ada sejak zaman dahulu sebelum agama Islam datang di tanah Jawa. Lalu sampai Islam datang di tanah Jawa, dan sampai sekarang tradisi ini masih ada. Sebagian masyarakat muslim berpendapat bahwa tedhak siten dapat dilakukan dan tidak menganggu nilai keimanan dalam Islam selain sebagai pengungkapan perwujudan rasa syukur, acara tedhak siten ini juga bertujuan memohon keselamatan dan kesejahteraan dalam menapaki jalan kehidupannya.

Dari pemaparan di atas tentang tradisi mudun lemah (tedhak siten) mempunyai hubungan antara agama dan kebudayaan. Tradisi mudun lemah sendiri berasal dari agama Hindu-Budha lalu setelah masuknya Islam di tanah Jawa tradisi ini tetap dijalankan oleh masyarakat termasuk masyarakat yang beragama Islam. Jika dalam studi Islam, Islam adalah adalah (Islamic studies) atau disiplin ilmu maka pendekatan islam harus menggunakan pendekatan yang sistematis yang terukur menurut syarat-syarat ilmiah dan komprehensif atau tidak memandang dari satu sisi saja. Karena pada dasarnya agama dan tradisi atau kebudayaan saling berkaitan, agama ada sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan dalam menjalani hidupnya. Sedangkan kebudayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa, dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan.

Dari semua penjelasan dan pemaparan di atas, pada intinya umat muslim harus tetap menaati semua aturan-aturan yang sudah ada pada agama Islam, kita sebagai umat muslim harus pandai mengkaji Islam dengan baik dan benar. Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua hal dan dua kemungkinan. Pertama, Islam mewarnai, mengolah, dan memperbarui budaya dan yang kedua justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung entitas keduanya yaitu entitas kebudayaan dan entitas keislamannya. Ada kalanya kebudayaan tidak bisa dihubungkan dengan agama Islam jika kebudayaan itu bisa membuat kita (umat Islam) melanggar hukum-hukum Islam. Meskipun agama dan kebudayaan saling berketerkaitan, tapi keduanya tetap ada batasannya. Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat dari mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada. Maka dari itu agama juga harus melakukan proses  perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus bisa menyesuaikan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur budaya yang ada, sehingga agama dapat menjadi bagian tidak terpisahkan dari berbagai unsur-unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. (EN)

Biografi Penulis

*) Amida Erliana

Salah satu mahasiswi program studi Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Kediri. Selain menjadi mahasiswi, penulis juga mengikuti organisasi yaitu Forsida (Forum Arek Sidoarjo). Untuk mengenal lebih dekat dengan penulis, dapat menghubungi e-mail pribadinya  amidaerliana123@gmail.com

About author

No comments