APAKAH ORANG YANG BERMANFAAT ITU HARUS MEMILIKI PRIVILEGE YANG TINGGI?

0

Seperti kata pepatah yang sering kali kita dengar “Al-‘Ilmu bila amalin kasysyajari bila tsamarin” yang artinya ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Menjadi orang bermanfaat yang mau mengamalkan ilmunya itu ternyata tidak mudah. Karena memang tidak semua orang yang berilmu, berduit, dan berjabatan tinggi itu mau mengamalkan ilmunya dengan baik dan benar.

Di luar sana memang banyak orang yang beruntung dengan privilese (privilege) tinggi yang mereka miliki. Memiliki harta berlimpah, memiliki gelar tinggi, memiliki ketenaran, memiliki jabatan yang tinggi, memiliki kekuasan, dan memiliki keistimewaan lainnya yang kerap kali disanjung-sanjungkan, bahkan diidamkan oleh semua orang. Padahal privilege tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa hidup seseorang itu bisa bermanfaat. Jadi sebenarnya orang-orang ini lebih mengejar privilege atau hidup yang bermanfaat? Bukankah hidup yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain ini juga termasuk privilege yang tidak ternilai? Namun, sering kali dipandang sebelah mata, karena mempunyai privilege yang tinggi sepertinya lebih menggiurkan dan diincar oleh semua orang.

Di sini penulis akan menceritakan sekilas perjalanan guru TPQ di Dusun Jombok, Desa Sembungin, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban yang barangkali bisa menjadi self-reflection. Pak Supriyanto,  sosok laki-laki yang akrab dipanggil Pak Pri itu adalah salah satu penggerak TPQ di sana. Dengan modal ilmu dan tekad yang dimiliki, bersama istrinya, Bu Lilik, mereka sama-sama merintis TPQ Ar-Rohman. Berkat usaha dan perjuangan sepasang suami istri ini, akhirnya TPQ di sana berhasil dirintis dan dihidupkan.

Selain mengajar TPQ, Pak Pri yang berprofesi sebagai seorang petani juga bekerja sampingan sebagai penjual pentol keliling. Jadi, Pak Pri berangkat berjualan pentol sejak pagi, kemudian pulang sekitar jam dua siang. Setelah pulang berjualan, selepas sholat Ashar Pak Pri langsung menuju ke tempat TPQ Ar-Rohman untuk mengajar anak-anak yang tingkat besar. Begitupun istrinya yang juga mengajar di jam sore. Adapun untuk tingkat anak-anak yang masih kecil, diajar oleh guru yang juga merupakan warga setempat, untuk kelas anak-anak dilaksanakan di jam dua siang. Betapa mulia bukan perbuatan Pak Pri dan istrinya ini.

Yo wes ngeniki, ojo kaget nek agamane seng gowo bakul pentol.” (Ya bigini, jangan kaget kalau agamanya yang bawa tukang jualan pentol). Tutur Pak Pri ketika ditemui oleh rombongan KKN-DR IAIN Kediri di kediamannya. Memang benar, siapa sangka jika pelopor TPQ di sana adalah seorang penjual pentol. Karena menjadi orang yang bermanfaat tidak harus berasal dari kalangan orang yang ber-privilege tinggi. Tapi siapapun orangnya, berasal dari kalangan manakah dia, jika dia mau mengamalkan ilmunya, serta memiliki rasa empati yang tinggi terhadap sekitar, maka hidupnya bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Mungkin tidak ada yang tau seberapa kerasnya perjuangan sepasang suami istri ini dalam memajukan TPQ Ar-Rohman di sana. Sepertinya semua kerja keras itu perlahan-lahan terbayar, ketika apa yang mereka lakukan ini membawa dampak perubahan yang besar. Meskipun bayaran tersebut bukan berupa materi yang melimpah. Ibaratnya bisa melihat anak-anak dan warga sekitar mengenal agama itu rasanya sudah tergantikan.

Hal lainnya yang bisa diteladani dari sosok Pak Pri yaitu dia menganggap mengajar/mengamalkan apa yang dimiliki adalah bagian dari ibadah. Dia tidak mau jika semasa hidupnya ini hanya dihabiskan untuk bekerja saja, setidaknya dalam sehari dia bisa mengamalkan ilmunya. Karena dengan mengamalkan ilmu, ilmu itu tidak akan berkurang justru malah bertambah.

Jika melihat sosok Pak Pri, rasanya kita bisa bercermin, bahwa untuk menjadi orang yang bermanfaat ternyata tidaklah harus menjadi orang yang memiliki gelar tinggi, berpangkat,  berduit, atau yang lainnya. Ternyata menjadi orang yang bermanfaat adalah orang yang mau mengamalkan ilmunya. Tidak peduli ilmu itu banyak atau sedikit, yang terpenting ilmu itu bisa membawa kebaikan untuk dirinya sendiri, terlebih juga bisa membawa kebaikan untuk orang lain.

Rasanya orang-orang seperti Pak Pri ini patut mendapat apresiasi dan menjadi panutan di negeri kita. Namun sayangnya orang-orang seperti ini jarang tersorot. Negeri kita mungkin terlalu sibuk menyorot orang-orang pintar yang bergelar tinggi, bejabatan tinggi, dan pastinya berduit. Akan tetapi secara intelektual dan moral masih sangat kurang.

Padahal kerap kali kita jumpai orang-orang kelas atas seperti itu ilmunya tidak bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri, malah menjadi bumerang ke jalan kenestapaannya. Mungkin penulis tidak perlu menyebutkan contohnya satu persatu, kalian korek-korek saja sendiri orang orang hebat di negeri ini yang seperti ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Karena terlampau pintarnya, mereka sampai hati memanfaatkan kebodohan rakyat biasa seperti kita ini. Lalu, pantaskah hidupnya ini disebut bermanfaat?

Orang-orang yang mungkin belum diberi kesempatan untuk mempunyai privilege yang tinggi tetap berkesempatan untuk menjadi orang yang bermanfaat. Dan alangkah baiknya jika orang orang yang mempunyai privilege tinggi ini juga mampu memanfaatkannya dengan benar. Bukan malah dijadikan baku hantam untuk menindas orang-orang yang lemah. Kalau seperti itu, ilmunya akan membawa mala petaka, bukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Orang biasa dan lemah saja hidupnya bisa bermanfaat, kenapa orang yang tinggi dan kuat malah sering menyusahkan rakyat? (EN)

Biografi Penulis

*) Vina Khoirun Nisa’

Vina Khoirun Nisa’ adalah seorang mahasiswi aktif program studi Tadris Bahasa Inggris di IAIN Kediri. Selain aktif kuliah, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi diantaranya LPM Dedikasi, Senat FTIK, dan PMII Rayon Al Kindy. Untuk mengenal penulis silakan hubungi melalui email pribadinya khoirunnisavina27@gmail.com atau instagram @khairannisavina27.

About author

No comments