KARESTERISTIK, BUDAYA, DAN KESENIAN MASYARAKAT PROBOLINGGO

0

Masyarakat Probolinggo adalah masyarakat yang berjiwa-jiwa merantau dan desakan ekonomilah yang mengakibatkan orang Probolinggo terdapat di berbagai kabupaten di wilayah Jawa Timur. Tidak terlalu banyak warga desa sekitar Probolinggo yang memiliki jiwa merantau. Desa mentor, Desa Banjar Sari, Desa Lemah Kembar, Desa Sumendi dan Desa Probolinggo khususnya adalah  contoh masyarakat lainnya yang mempunyai jiwa merantau. Pada umumnya, alasan desakan ekonomi dan faktor kelangkaan sumber daya alam, yang mendorong orang-orang dari berbagai suku bangsa ini harus tinggal di rantau.

Demikian pula, dorongan orang Probolinggo meninggalkan kampung halamannya  karena  keinginan untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonominya, mengingat sumber daya alamnya sangat minim. Di perantauan orang Probolinggo lebih banyak bekerja di sektor swasta dan jasa. Dibandingakan suku bangsa lainnya, masih sedikit orang Probolinggo yang berhasil menduduki pimpinan di level regional (kabupaten/kota). Kurang berhasilnya orang Probolinggo menjadi pimpinan di level regional lebih disebabkan terbatasnya aset yang dimiliki daerah (sumber daya ekonomi yang kurang  dan jaringan infrastrukturnya yang masih terbatas) dan kesempatan yang terbatas untuk mengakses kekuasaan,

Sesungguhnya orang Probolinggo termasuk kategori suku bangsa Madura juga, meskipun agak  berbeda dengan suku bangsa Jawa lainnya. Logat daerah  menjadi ciri khas orang Probolinggo yang mudah dikenali oleh suku bangsa lainnya. Orang Probolinggo yang kebanyakan berbahasa Madura juga tidak mengenal penggunaan tingkatan bahasa sebagaimana yang dipakai oleh suku bangsa Jawa asli,  khususnya Yogyakarta dan Surakarta. Aspek penggunaan bahasa inilah yang digunakan secara mudah oleh para ahli antropologi sebagai indikator untuk menentukan karakteristik (khas dan unik) suatu suku bangsa tertentu.

Meskipun jiwa merantau orang Probolinggo sangat tinggi kekerabatannya dan selalu bersilaturahim dengan keluarga bersama keluarga terutama di acara-acara tertentu seperti pernikahan, silaturahim hari raya (josonjo: bahasa Madura), acara khitanan, ketika ada keluarga yang meninggal, dan lain lain.

Masyarakat Probolinggo yang sebenarnya dapat dikatakan identik dengan Islam, tetapi citra ‘masyarakat santri’ menjadi bagian dari identitas masyarakat Probolinggo. Berhaji misalnya, merupakan impian setiap orang Probolinggo, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Seolah-olah ‘kesempurnaan hidup’ telah dapat dilampaui jika bisa mengunjungi tanah suci (Mekkah) untuk melaksanakan ibadah haji.

Keidentikan ‘masyarakat santri’ juga ditunjukkan dalam segi bangunan fisik. Hampir setiap rumah di Desa Probolinggo, di ujung barat halaman, pasti dibangun langgar atau musholla sebagai tempat keluarga melakukan sholat. Penempatan bangunan ibadah yang berada di ujung barat halaman ini dimaksudkan sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat bagi orang Islam ketika melakukan sholat. Ini juga bentuk kesamaan masyarakat Probolinggo dengan masyarakat Madura.

Salah satu tradisi yang amat penting bagi masyarakat Probolinggo adalah andhap (kesopanan) yang harus dijunjung tinggi. Karena bagi orang Probolinggo kesopanan adalah nilai-nilai dalam kehidupan. Tradisi ini juga sama dengan tradisi Madura yang mana kesopanan memang harus ditonjolkan di Probolinggo. Pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan dalam bahasa Madura  (ta’tao batona langger atau ta’tao padhuna langger dalam bahasa Indonesia tidak pernah mengenyam sekolah atau pendidikan agama). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mangaji atau belum pernah mondok di pesantren, sehingga tidak tahu tata krama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan.

Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Probolinggo terbentuk melalui keturunan-keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis keturunan ayah maupun garis ibu pada umumnya. Ikatan kekerabatan antar sesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung ‘mendominasi’. Penyebutan untuk masing-masing individu dari suatu ikatan keluarga berbeda antara satu generasi dengan generasi yang ada di atasnya.

Dalam sistem kekerabatan masyarakat desa Probolinggo juga sama dengan tradisi Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat) dan taretan jhau (kerabat jauh) Di luar tiga kategori ini disebut oreng lowar (orang luar atau ‘bukan saudara’). Dalam kenyataan, meskipun seseoranag sudah dianggap sebagai oreng lowar, bisa jadi hubungan persaudaraan lebih akrab dari keluarga inti, dekat atau jauh, misalnya karena ada ikatan perkawinan.

Tentang budaya di Desa Probolinggo juga banyak seperti Karapan Sapi sebenarnya bermula dari keseharian petani membajak sawahnya. Kemudian dikembangkan menjadi perlombaan yang diadakan pada setiap musim tanam padi tiba. Karapan Sapi ini dilaksanakan di area persawahan. Setiap sapi yang memenangkan perlombaan Karapan Sapi, dapat dipastikan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Sehingga sapi yang mengikuti perlombaan ini dipastikan memiliki kualitas yang cukup baik. Tidak heran jika perlombaan ini sampai mengeluarkan biaya yang cukup besar. Tradisi ini juga ada di Madura inilah bentuk melekatnya budaya nenek moyang suku Madura yang berada di probolinggo khususnya di Desa Probolinggo.

Berikut ada lagi kesenian Jaran Bodhag dalam terminologi bahasa Jawa ‘jaran’ berarti kuda dan ‘bodhak’ (bahasa Jawa dialek Jawa Timur, khususnya wilayah Timur) berarti wadah, bentuk lain. Walaupun belum diketahui angka tahun yang pasti sejak kapan kesenian Jaran Bodhag ini mulai diciptakan dan dikenal oleh masyarakat Kabupaten Probolinggo khususnya desa Probolinggo, dari beberapa sumber diketahui bahwa Jaran Bodhag diciptakan oleh orang-orang Kabupaten Probolinggo pada zaman awal kemerdekaan.

Pada saat ini Jaran Bodhak masih populer di kalangan masyarakat Kabupaten Probolinggo khususnya di Desa Probolinggo. Dan kesenian ini biasanya digunakan untuk mengiringi acara hajatan, pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Bentuk penyajian kesenian ini adalah arak-arakan di jalan maupun di halaman rumah. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di masyarakat Probolinggo yang sampai sekarang masih aktif untuk mengadakan kegiatan pembinaan dan pementasan. Penyajian kesenian ini diiringi dengan musik tradisional yang terdiri dari kenong, gong, ke, dan sronen. Keberadaan kesenian Jaran Bodhag ini merata di seluruh Kecamatan dan Kabupaten Probolinggo.

Ada juga tradisi yang tetap terjaga di Probolinggo yakni tradisi Sya’banan. Tradisi ini berasal dari masyarakat yang bertujuan untuk menyambut hadirnya bulan puasa. Biasanya pada tanggal 15 bulan Sya’ban (15 hari sebelum bulan puasa tiba) masyarakat hadir dengan membawa makanan dan bersuka cita sambil duduk-duduk di tepian pantai menikmati panorama laut yang tertimpa sinar bulan purnama. Tradisi seperti ini sudah dilakukan oleh masyarakat setiap tahun. Sehubungan dengan tradisi itu diadakan lomba balap perahu (Petik Laut).

Setiap tahunnya para nelayan yang tergabung di dalam Paguyuban Nelayan selalu mengadakan kegiatan ritual yang telah ditetapkan menjadi agenda tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Probolinggo yaitu kegiatan Petik Laut ini. Kegiatan ini melambangkan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umat. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk tetap melestarikan budaya gotong-royong dan kebersamaan yang telah diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur sehingga menjadi tradisi di daerah sepanjang pesisiran pantai Kabupaten Probolinggo.

Di Probolinggo juga ada kesenian yang ekstrim yaitu ojung. Kesenian ini digelar sebagai salah satu upaya ritual untuk meminta kepada Tuhan agar diturunkan hujan. Sebuah panggung sederhana disiapkan menjadi arena bagi seni adu pukul ini. Alunan musik tradisional menandai dimulainya pertandingan. Dua pemain secara bergiliran adu ketangkasan dengan cara saling memukul menggunakan rotan.

Para pemain diwajibkan bertelanjang dada. Sebagai pembuka, mereka melakukan tarian mengikuti irama gamelan. Seni pertunjukan itu pun biasanya menyedot antusias penonton di sekitar arena.

Sementara di atas panggung, terdapat empat orang yang bertugas sebagai pengatur jalannya pertandingan. Mereka disebut sebagai kemelandang atau wasit dalam permainan ojung. Seorang di antaranya bertindak sebagai kemelandang utama atau wasit utama. Dua lainnya bertugas untuk mencari calon pemain. Sementara itu, seorang lainnya berperan menggendong sebuah bokor berisi beras kuning untuk ditaburkan saat pertandingan. Kedua pemain dibekali dengan sebatang rotan. Kemudian, dua pemain tersebut saling dihadapkan untuk diadu.

Tujuan digelarnya ojung juga merupakan bentuk kesenian yang bisa menjaga kerukunan antarwarga. Sebab, dalam setiap pertandingan, warga dari penjuru daerah di Probolinggo ikut turun untuk menjadi pemain. Bisa dikatakan ojung adalah alat untuk mempersatukan. Dari yang sebelumnya tidak saling mengenal, setelah bertanding menjadi kenal.

Probolinggo merupakan sebuah wilayah yang kaya, kaya akan budaya daerah. Dimana masyarakat Probolinggo terlihat masih konsisten untuk melestarikan kebudayaan yang ada. Ini merupakan sebuah komitmen yang cukup baik, mengingat pada zaman sekarang, rasa-rasanya mempertahankan kebudayaan merupakan moment yang cukup langka bisa kita saksikan. (EN)

Biografi Penulis

*) Ahmad Muflihus Syauqi

Ahmad muflihus syauqi seorang mahasiswa aktif program studi komunikasi dan penyiaran islam  semester satu IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menguhubungi di e-mail pribadinya sauqyprobolinggo@gmail.com

About author

No comments