RUMAHKU TAK BISA MENJELMA SEPERTI PESANTRENKU

1

Tahun 2020 masyarakat dunia digemparkan dengan kehadiran virus corona. Sebuah virus yang berasal dari kota Wuhan, China. Kota Wuhan dinilai sebagai kota pertama yang terjangkit yaitu pada akhir tahun 2019. Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan virus yang baru dikenal dan memiliki sifat penularan yang sangat cepat, antara lain melalui droplets atau percikan cairan yang berasal dari bersin ataupun batuk, sentuhan kulit, dan udara. Menyebarnya wabah virus dalam skala besar dan bersifat global (pandemic) ini mengharuskan beberapa negara melakukan lockcity, lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), stay at home untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Pandemi ini telah mengubah segala aktivitas keseharian. Beragam pengalaman baru muncul di tengah pandemi. Manusia  menjadi semakin kreatif, inovatif, dan adaptif atas keputusan dunia untuk memaksimalkan fungsi rumah. Bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, mengaji dari rumah, meski pada awalnya belum familier, tapi pandemi yang tak kunjung hilang ini berhasil menciptakan kebiasaan baru dalam masyarakat yang pastinya ada sisi negatif dan positif.

Bagaimana dengan pesantren? Mampukah pesantren mengkondisikan puluhan, ratusan bahkan ribuan santrinya untuk nyantri di rumah?

Pesantren bukan sekadar building school, bukan pula sekadar lembaga penguatan kognitif tetapi banyak nilai luhur yang didapatkan dari pola pendidikan pesantren. Pertama, nilai kemandirian terbentuk dalam pola pendidikan pesantren yang jauh dari orangtua dan saudara. Kedua, nilai kesederhanaan selalu ditanamkan dalam pesantren. Terbiasa dalam kesederhanaan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan keserakahan dunia. Ketiga, nilai kedisiplinan terbentuk karena padatnya materi pelajaran dan kegiatan yang harus diikuti sesuai jadwal. Budaya antri dalam pesantren juga bagian dari nilai kedisiplinan. Keempat, nilai kebersamaan-persaudaraan. Nilai kebersamaan sangat terasa dalam pesantren, makan bersama, belajar bersama, shalat harus bersama (berjamaah). Kebersamaan inipun mampu membuahkan rasa persaudaraan. Kelima, nilai sopan santun terbentuk melalui keteladanan-keteladanan yang diperoleh di lingkungan pesantren. Sopan dalam bersikap, santun dalam berucap, menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Kelima hal tersebut merupakan nilai-nilai khas yang harus ada dalam setiap pesantren.

Akan tetapi, semenjak adanya pandemi Covid-19 semua kegiatan pesantren dipindahkan ke rumah masing-masing, “rumahku harus menjelma seperti pesantrenku”. Keadaan ini memaksa adanya transformasi peran dalam sebuah rumah. Seorang ayah dengan segala potensinya harus bisa berperan sebagai Kiai. Sang ibu dengan segala kesibukannya harus bisa berperan sebagai Nyai –minimal di depan anaknya yang sedang nyantri– saudara-saudara yang di rumah adalah teman-teman sesama santri. Transformasi peran secara tiba-tiba jelas memunculkan masalah lain dalam sebuah rumah tangga. Konflik-konflik kecil pun mulai bermunculan. Pola pembelajaran pesantren tidak bisa selesai terjawab hanya melalui pembelajaran daring (dalam jaringan) atau istilah lain Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kegiatan-kegiatan online hanya sebatas transformasi pengetahuan. Sedangkan segudang nilai-nilai luhur dalam pesantren sulit terwujud dalam rumah. Ketidakmampuan mengondisikan “Rumahku Pesantrenku” telah memunculkan beragam keluhan yang tak berujung, keluhan orangtua atas kemalasan anaknya, keluhan anak atas perlakuan orangtua yang tiba-tiba berubah dan muncul keluhan-keluhan lainnya. Tidak kondusifnya rumah yang tiba-tiba menjadi ‘pesantren’ menjadikan sebagian orangtua mengambi langkah untuk tetap memesantrenkan anaknya di masa pandemi. Demi kebaikan masa depan anaknya, sebagian orangtua berusaha mencarikan pesantren kecil yang masih tetap beraktivitas di masa pandemi. Karena jumlah santri yang sedikit memungkinkan mereka bisa diisolasi diri dalam sebuah bangunan, sehingga aktivitas dan nilai-nilai kepesantrenan tetap terjaga.

Kondisi ini pun direspons oleh pelaksana tugas (plt) Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Imam Syafe’i bahwa bila santri harus belajar dari rumah dalam waktu yang lama, akan menghilangkan kekhasan pesantren. Wapres, sebagaimana diberitakan Kompas.com mengumumkan bahwa pesantren, terutama yang berzona hijau atau kuning sudah diperbolehkan memulai pembelajaran dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan keamanan bersama.

Izin resmi pemerintah atas dibukanya kembali pesantren ini bertepatan dengan akan diberlakukannya new normal. Sebuah kondisi yang diciptakan seperti keadaan normal sebelum wabah covid-19 tetapi dengan persyaratan tertentu atau protocol kesehatan agar wabah tidak kembali merebah.

New Normal ala Pesantren

Pesantren bukan sekedar building school, pesantren merupakan pusat kajian keislaman, pesantren juga sebagai agen doa, agen karakter yang tahan banting. Di tengah musibah Covid-19, pesantren justru memiliki tugas utama sebagai benteng lahir dan batin agar musibah segera berakhir dan keyakinan atas kemahabesaran Sang Pencipta semakin meningkat. Penerapan new normal dalam pesantren tidak bisa disamakan seluruh prosedurnya dengan Lembaga selain pesantren. Ada beberapa tawaran yang bisa dilakukan pesantren dalam new normal.

Karantina ala Pesantren

Sebagaimana anjuran dalam protokol kesehatan, pesantren harus menyediakan gedung  tertentu untuk mengkarantinakan santri-santri yang kembali ke pesantren. Dengan jadwal tertentu santri menjalani karantina terlebih dahulu sebelum diizinkan bergabung bersama-sama menjalani aktivitas.

Sebagai agen doa, pesantren bisa menggunakan kesempatan karantina ini dengan beragam munajat antara lain khotmil Quran, pembacaan shalawat, dzikir, dan beberapa ibadah sunnah lainnya. Doa bersama untuk keselamatan dan keamanan bangsa khususnya keluarga besar pesantren. Karantina juga bisa difungsikan sebagai charger para santri setelah sekian lama meninggalkan kegiatan-kegiatan pesantren. Karena sangat memungkinkan di antara mereka tidak siap menjalani kembali kehidupan pesantren setelah sekian lama bersama keluarga.

Karantina ala pesantren akan lebih bermakna dibanding karantina masyarakat umum. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan suasana karantina di pesantren diibaratkan suasana uzlah bagi para sufi, sehingga hasilnya bukan sekadar sehat fisik tapi sehat rohani dan meningkatnya spiritual.

Cuci Tangan ala Pesantren

Salah satu protokol kesehatan adalah sering cuci tangan dengan sabun kemudian menggunakan hand sanitizer. Aktivitas baru ini menuai komentar terutama efek samping penggunaan bahan alkohol tersebut antara lain iritasi, kulit lebih sensitif terhadap sinar matahari, tubuh lebih rentan terhadap infeksi, dan lain-lain sebagaimana diberitakan dalam beberapa media yang mengutip pendapat para dokter.

Sebelum ada Pandemi Covid-19, salah satu anjuran Nabi SAW adalah menjaga kesucian dengan cara berwudhu secara berulang-ulang. Sebagaimana dipahami bahwa dalam ritual wudhu tidak hanya syaraf telapak tangan yang diperhatikan tetapi juga syaraf-syaraf wajah, kepala, telinga sampai kaki. Dalam keyakinan muslim selama wudhu belum rusak (batal), seseorang akan terjaga dari hal-hal buruk baik terlihat ataupun tidak terlihat.

Wabah corona pun memunculkan nilai positif berupa kemauan dan kesanggupan untuk berwudhu berulang kali (tidak sekadar cuci tangan) sebagaimana kebiasaan Nabi.

Green Pesantren

Ajaran Rasulullah SAW adalah الطهور شطر الإيمان (suci bagian dari iman) yang kemudian disederhanakan menjadi النظافة من الايمان (kebersihan sebagian iman) telah menggema bertahun-tahun di dunia pesantren. Suci dan bersih selayaknya bisa menjadi wajah utama dalam pesantren yang notabenenya  menjadi pusat kajian Islam. Namun kenyataannya image masyarakat terhadap pesantren masih berlawanan dengan hadis tersebut. “Pesantren kotor” penilaian ini kemudian dinilai sangat wajar karena banyak penghuni. Santri gatal-gatal dianggap biasa bahkan joke yang dibangun bila santri tidak gatal-gatal tidak sah. Munculnya beberapa pesantren yang meningkatkan kebersihan masih terbilang minoritas dibanding total pesantren Indonesia.

Wabah Covid-19 telah melahirkan kesadaran baru akan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kesadaran kolektif masyarakat dunia atas pentingnya kebersihan diri dan lingkungan. Kesadaran atas pentingnya air mengalir yang sebelumnya juga telah dibahas berjilid-jilid dalam literatur pesantren tentang thaharah (bersuci). Momen Covid-19 adalah momen emas kebangkitan pesantren secara serentak menuju Green Pesantren.

Kesadaran baru ini memerlukan training, arahan, petunjuk-petunjuk teknis, dan yang tak perlu ditinggalkan adalah adanya reward and punishment bagi yang memperhatikan dan yang tidak menghiraukan. Gerakan Green Pesantren dengan sendirinya akan menghilangkan image-image buruk terkait kebersihan diri dan lingkungan di pesantren.

Social Distancing Ala Pesantren

Protokol kesehatan berikutnya adalah keharusan menjaga jarak antar individu. Anjuran ini dinilai sulit oleh sebagian pengasuh bila harus diterapkan di dunia pesantren. Mengingat padatnya santri. Oleh karenanya perlu tawaran lain agar tetap mampu menampung kembali para santri dan tetap menjaga kesehatan. Karena pada hakikatnya pesantren tidak dapat diidentikkan dengan kehidupan masyarakat umum. Dalam hal ini pesantren dapat disamakan dengan rumah. Artinya, setelah santri-santri menjalani isolasi diri ala pesantren dan terbukti tidak memiliki penyakit menular, mereka diidentikkan dengan saudara sehingga bisa hidup dalam satu pesantren, satu kamar layaknya satu keluarga yang hidup dalam satu rumah, satu kamar. Tawaran ini bisa dipertimbangkan sehingga pembelajaran dalam pesantren segera berjalan normal terutama pesantren-pesantren yang kegiatannya terfokus hanya dalam satu bangunan tanpa harus keluar-masuk yang memungkinkan terinfeksi virus dari luar.

Demikian tulisan ini penulis sampaikan sebagai obat kegelisahan dan kesedihan melihat pesantren dengan para ulamanya yang harus dipisahkan dari santrinya dalam ratusan hari, dan doa-doa mustajab yang justru  bisa menjadi benteng doa untuk Indonesia dan dunia. Wallahu A’lam! (EN)

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA*

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA*

*Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA adalah Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan Sunan Pandanaran Yoyakarta. Saat ini menjalani amanah sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus ngabdi di Padepokan Ngasah Roso “Ayatirrahman” Parung Bogor.

About author

1 comment

Post a new comment