MESKI NEW NORMAL, BER-ISLAM KITA JANGAN LOYO

0

Sudah berjalan seminggu, semenjak IAIN Kediri menorehkan tinta “new normal” sesuai dengan Surat Edaran rektor. Seluruh pegawai kembali ngantor dengan sistem “one day berjangka” (1 hari WFH, 1 hari WFO). Disegani atau tidak, kebijakan ini mencipta tatanan sosial baru yang tidak biasa, sapa-menyapa tampak kaku, tidak ada lagi senyum mengambang ataupun salam-salaman meskipun baru saja merayakan hari raya idul fitri. Betapa tidak, semua prilaku tak lagi bebas, kerangka hubungan kemanusiaan mereka dikerangkeng oleh aturan dan protokol. Ada beberapa peraasaan canggung, tidak nyaman, kurang bebas dan beragam perasaan lain yang muncul dalam rentang waktu seminggu ini.

Tatanan sosial baru ini, membutuhkan konsistensi yang tinggi sebelum menjadikannya sebagai kebiasaan.  Dibutuhkan kesadaran kolektif yang holistik sebagai lagkah taktis behavior di kampus tercinta. Namanya juga mendadak dan baru, bukan tanpa masalah saat menerapkan. Problemnya adalah bagaimana kesanggupan kita dalam menjaga kedisiplinan untuk tetap bisa berpikir positif atas norma yang sebelumnya telah ada norma lama yang berlawanan dengan kebaruan yang sedang kita bangun ini.

Ada yang membedakan kebaruan ini dengan “baru” yang secara intrinsic. Kebaruan ini diharapkan menjadi harapan setiap jiwa untuk memenuhi kebutuhan hedonismnya sebagai mahluk social. Kebaruan yang kini tengah kita terapkan dalam suasana social adalah normal yang pada umumnya berlawanan dengan nilai hedonis, membuat kesenangan pada jiwa dan ketenteraman rasa dalam diri kita, akan tetapi secara nilai saintific harus dilakukan, meski belum tentu mendatangkan kepuasan dan memenuhi rasa hedonis.

Para ilmuwan social sepakat bahwa kebaruan dalam hidup merupakan keniscayaan, bahkan lebih dari itu sesuatu yang baru itu biasanya justeru diharap bisa muncul dalam tatanan kehidupan privat seseorang ataupun bagi kolektifitas kebanyakan masyarakat sekalipun. Akan tetapi kenormalan baru yang diterapkan sekarang ini berbading terbalik dengan tata nilai baru dalam pemahaman ilmuwan social tersebut, karena kebaruan yang kini tengah kita hadapi adalah kebaruan yang sama sekali bukan sesuatu kebaruan yang diharapkan oleh rasa dan keinginan sebagai pemenuhan harapan dari sifat umumnya, akan tetapi kebaruan ini harus  dijalankan lantaran atas dasar normal sains yang tidak mesti sejalan dengan harapan dan kenyamanan.

Dalam tuntunan syari’at Islam, pengertian new normal dalam bentuk ajaran yang setiap tahun senantiasa datang, Bulan Ramadan adalah kebiasaan yang harus dilakukan sebulan penuh dimana seseorang pada umumnya tidak membiasakan puasa, akan tetapi Bulan Ramadan datang setiap ummat Islam harus melakukan kebiasaan baru berupa puasa dengan melakukan sesuatu yang mungkin dianggap baru, lantaran sebelumnya tidak menjadi kebiasaan pada kehidupan social kesehariannya, lebih dari itu ketika Bulan Ramadan dicanangkan sejak jauh hari, ada ajaran yang berupa harapan terhadap hasil  puasa  bila dilaksanakan dengan tatanan yang telah ditentukan syari’at, maka seseorang dijanjikan akan suatu kehidupan baru pasca romadhon dengan imbalan yang di sebut ‘Idul Fitri.

Pada perayaan Idul Fitri ini orang diberi harapan baru tentang capaian yang akan direngkuh bila mau membiasakan kebiasaan baru berupa Puasa. Dan atas dasar adanya harapan inilah pelaksanaan puasa meski harus sebulan penuh akan dengan ringan dapat dijalankan dengan penuh kerelaan dan pengorbanan dalam menghadapi kebaruan dalam membiasaan makan, minum dan kebiasaan-kebiasaan lainnya mengendalikan hawa nafsunya. Kesemuanya ini terasa ringan bagi seseorang dalam melakukannya dengan baik karena pada endingnya ada harapan untuk mendapatkan kenormalan baru yang berupa Fitrah. Dan fitrah ini pulalah yang dimengerti sebagai harapan untuk memberikan pengampunan atas beberapa beban dosa yang telah dijalaninya.

Kata kunci dari kemudahan untuk melakukan kenormalan baru dalam sebuah tatanan kehidupan social sebagaimana yang dicontohkan di atas,  -yakni orang siap menghadapi adanya kepemilikan kebendaan yang baru dalam hidupnya akan menimbulkan kesenangan karena munculnya harapan kebendaan yang baru itu akan memberikan kebaikan dalam kehidupannya, demikian halnya dengan kebaruan tatanan kehidupan dalam berpuasa pada akhirnya akan memberikan kebaruan dalam munculnya Idul Fitri,– adalah memunculkan harapn pada kehidupan yang akan datang.

Maka bila kembali pada sebuah konsep new normal live yang dipresepsikan sebagai protocol berkehidupan social untuk memutus mata rantai penyebaran Virus corona, ini akan menjadi berhasil dalam tatanan penerapannya,  bila kita mampu menemukan idiom harapan pada masa depan dari pelaksanaan konsep normal baru ini. Apa bentuk dan idiom itu ?. Ini bisa secara individual kita munculkan dalam angan dan presepsi kita secara personal, ataupun secara kolektif dalam berkehidupan social. Akan tetapi sebagai mana yang telah diregulasikan oleh pemerintah New Normal Live ini di maksudkan agar kehidupan kita tetap dalam situasi Sehat dan ‘afiyat. Bila sehat dan ‘afiat ini bisa kita idiomkan sebagai hasil dari kesusahan kita dalam mewujudkan Normal baru ini. Maka bisa yakini, program pelaksanaan New Normal ini akan bisa diterapkan dengan Baik.

Bukan kah kita sebagai ummat Islam telah diajarkan setiap tahun dengan hadirnya Bulan Ramadan dan Idul Fitri itu juga merupakan kenormalan Baru dalam berkehidupan social kita?. Untuk bila konsepsi ini bisa kita internalisasikan dalam cara pandang dan cara perpikir kita, Normar Baru dalam berkehidupan social kita, akan semakin ringan untuk terapkan. Semoga. Salam… (@D)

Dr. H. Ahmad Subakir, M.Ag.*

Dr. H. Ahmad Subakir, M.Ag.*

*Dr. H. Ahmad Subakir, M.Ag. adalah Dosen dan juga Warek 1 IAIN Kediri

highlight

About author

No comments