ORASI ILMIAH HARI RAYA IDULFITRI; Ditengah Gemebyar Pandemi Tidak Meremehkan Besar dan Kecilnya Suatu Amal Ibadah

0

Sebagian besar manusia dalam memandang suatu amal perbuatan biasanya sering menonjolkan besar kecilnya jumlah atau kuantitas suatu materi yang dikeluarkan. Dalam pandangan agama atau pandangan Allah swt. Bahwa besar kecilnya materi yang dikeluarkan oleh seseorang yang beramal bukanlah satu-satunya ukuran diterimanya amal ibadah mereka. Selain besar kecilnya materi yang dapat menentukan diterimanya amal ibadah tersebut, ada faktor yang dominan dan hal tersebut sering dilupakan oleh mereka yang beramal, mengapa demikian? Untuk itulah dalam suatu amal perbuatan hendaknya manusia lebih berhati-hati dan cermat dalam melakukan amal perbuatan yang mereka lakukan sehingga amal yang dikerjakan tidak ditolak oleh Allah swt.

Dalam suatu riwayat, sebagaimana yang diterangkan dalam tafsir Ruhul Bayan yang ditulis oleh Al Imam Isma’il Haqqi al-Barusawi, bahwasannya ada orang yang bernama Putera Abu Mansur bermimpi meninggal dunia, kemudian ditanya oleh Allah swt: “Wahai Putera Abu Mansur, kamu saya beri usia 70 tahun untuk apa saja dan amal apa yang sudah kamu kerjakan?”

Kemudian Putera Abu Mansur menelusuri kisah hidupnya serta amal perbuatan yang pernah dilakukannya, dan kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang: “saya sudah melaksanakan ibadah haji 30 kali wahai Ya Allah!” Lalu Allah swt. Berfirman (menyeru) kepada Putera Abu Mansur: “Wahai Putera Abu Mansur, ibadah haji yang kamu laksanakan sebanyak 30 kali itu tidaklah aku terima!”.

Selanjutnya Putera Abu Mansur berpikir kembali serta mengingat-ingat tentang amal yang pernah dilakukan ketika hidup di dunia, seraya ia menjawab, “saya sudah sedekah kepada fakir miskin sebanyak 30.000 dirham!” Allah berfirman, “tidak aku terima sedekah kamu sebanyak 30.000 dirham tersebut, selanjutnya masihkah tersisa amal perbuatan lain yang kamu tunjukkan kepadaku wahai Putera Abu Mansur?”.

Putera Abu Mansur kemudian terdiam sesaat dan masih mengingat-ingat amal perbuatan yang pernah dilakukaannya ketika hidup di dunia, selanjutnya menyebutkan amal perbuatan yang pernah dilakukannya, “Wahai Ya Allah swt. Kami sudah melaksanakan ibadah puasa sebanyak 60 kali ramadhan pada siang harinya, dan melaksanakan qiyamullail atau shalat tahajut di malam harinya”. Kemudian Allah swt berfirman kembali, “masih tidak aku terima amal ibadah kamu sebanyak 60 kali di bulan ramadhan, demikian pula shalat tahajut kamu juga tidak aku terima wahai Putera Abu Mansur.”

            Kemudian Putera Abu Mansur, masih terus mengingat kembali tentang amal perbuatan yang pernah ia lakukan, selanjutnya menyebutkan amal perbuatannya, “wahai Ya Allah, saya pernah mengikuti perang membela agama Islam sebanyak 40 kali peperangan.”

Allah berfirman kembali, “wahai Putera Abu Mansur, masih tidak aku terima amal ibadah kamu perang membela agama Islam sebanyak 40 kali tersebut, semua amal ibadah kamu tidak ada yang aku terima dari amal yang sudah kamu tunjukkan kepadaku dari semua amal-amal ibadahmu, masihkah tersisa amal perbuatan apa yang kira-kira dapat menolongmu wahai Putera Abu Mansur!”

Pada akhirnya Putera Abu Mansur berputus asa karena merasa dari semua amal ibadah yang ditunjukkan kepada Allah swt. Tidak ada satupun dari amal-amal ibadah tersebut yang dapat menolongnya dan diterima oleh Allah swt., kemudia ia berseru kepada Allah swt. “Wahai Ya Allah, maka binasalah diri ini, dan kami pasrah wahai Ya Allah, akan dikemanakan diri ini!”

Maka Allah berfirman, “wahai Putera Abu Mansur janganlah kamu berputus asa, ingatlah bukanlah golongan orang yang beriman bagi mereka yang berputus asa. Tidakkah kamu mengingat kembali apa yang pernah kamu lakukan ketika di dunia wahai Putera Abu Mansur! Tentu, kamu masih mengingatnya bukan? Bahwa pada suatu hari kamu pernah menyingkirkan duri di tengah jalan di suatu kampung yang mungkin kamu lupakan, dengan menyingkirkan duri tersebut orang lain menjadi selamat dan tidak menginjaknya, dari amal yang kamu lakukan itulah aku menjadi sayang padamu wahai Putera Abu Mansur!”

Mendengarkan firman Allah swt. Tersebut, sedikit banyak terobati hati Putera Abu Mansur, dan ia berharap mendapatkan ampunan Allah swt. Demikian pula ia juga merasa cemas, apakah amal yang dilakukan tersebut dapat menolongnya?

Dari kisah tersebut tentu dapat diambil beberapa hikmah, antara lain yaitu mengapa amal yang dilakukan Putera Abu Mansur yang menurut pandangan banyak orang termasuk amal dengan kuantitas yang besar dan secara kasat mata terhitung banyak jumlah materi yang dikeluarkan, kenapa tidak diterima oleh Allah swt., sedangkan amal yang kelihatannya secara materi terhitung ringan dan kecil justeru diterima oleh Allah swt. Tentu dari kisah tersebut terdapat dua kemungkinan, dari kemungkinan yang pertama adalah bahwa amal perbuatan yang dilakukan Putera Abu Mansur yang secara materi terlihat besar dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan syari’at Islam, sehingga ditolak oleh Allah swt.

Kemudian kemungkinan yang kedua adalah, bahwa amal-amal ibadah yang dilakukan oleh Putera Abu Mansur yang secara kuantitas atau materi terlihat besar dan banyak dalam melakukan amal ibadah tersebut niatnya tidak ikhlas karena Allah swt. Sehingga amal ibadah yang dilakukan tersebut ditolak Allah swt. Boleh jadi ia melakukan haji berkali-kali supaya ia ingin dipanggil pak haji, kemudian ia melakukan sedekah 30.000 dirham supaya ingin dianggap orang yang dermawan, selanjutnya berpuasa 60 kali di bulan ramadhan supaya ingin dipuji manusia lain sebagai orang yang paling terpuji dan sebagainya, demikian pula berperang membela agama Allah sebanyak 40 kali peperangan ingin dipuji orang lain agar dianggap sebagai orang yang pemberani dan sebagainya. Demikianlah ibadah yang dilakukan tidak sesuai dengan syari’at Islam tentu akan ditolak oleh Allah swt. Begitu juga amal ibadah yang niatnya tidak ikhlas, niatnya bukan karena Allah swt, maka semua amal-amal ibadah tersebut jelas akan ditolak oleh Allah swt. Firman Allah swt, “wama umiru illa liya’budullaha mukhlisina lahuddin” (padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus).

Hikmah yang kedua adalah bahwa kasih sayang Allah ternyata diberikan kepada orang yang memiliki rasa kasih sayang. Sebagaimana yang dialami oleh Putera Abu Mansur tersebut yaitu beramal ibadah dengan menyingkirkan duri di tengah jalan dengan harapan agar orang lain selamat dan tidak celaka. Maka atas dasar itulah Allah swt menyayangi Putera Abu Mansur. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “La yadkhululjannata illa rahimun, Qalu ya Rasulullahi kullana rahimun, Qala laisa rahmatu ahadikum nafsahu khossotan walakin hatta yarhamannnasa ummatan wala yarhamuhum illallahu ta’ala” (Tidak akan masuk surga kecuali orang yang mempunyai rasa kasih sayang. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih sayang, Beliau bersabda, “ (yang dimaksud) adalah bukan kasih sayang salah seorang di antara kamu terhadap dirinya sendiri, tetapi rasa kasih sayang kepada semua manusia dan tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada mereka kecuali karena Allah swt.”)

Berkaca dari hadits Rasulullah SAW. setidaknya dapat diterjemahkan, bahwa sikap kasih sayang hendaknya ditujukan kepada siapa saja, bukan karena ras, suku, golongan maupun kepentingan pribadi atau kelompok. Akan tetapi rasa kasih sayang hendaknya diarahkan kepada semua makhluk (tidak membeda-bedakan), termasuk kepada tumbuhan dan binatang dan lingkungan sekitar kita agar lingkungan menjadi bersih. Apalagi di tengah pandemic musibah Covid 19 atau virus Corona yang melanda semua negeri-negeri di belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai manusia termasuk muslim, setidaknya rasa kasih sayang dipupuk dan ditumbuhkan kepada saudara-saudara kita semua, tidak mengecualikan kepada yang beragama Islam saja misalnya, atau hanya mementingkan kelompok yang sesuai dengan imannya saja. Akan tetapi semua manusia perlu diberikan rasa kasih sayang dan welas asih, apalagi yang terkena musibah Corona marilah dibantu, baik materi, ekonomi, psikologi maupun bantuan spiritual yakni semangat untuk sembuh dan sehat kembali, agar penderitaan dan kesedihan yang mereka alami dapat terobati.

Hikmah ketiga adalah, bahwa manusia tidak boleh meremehkan (memandang rendah/kecil) suatu amal ibadah apa pun bentuknya. Walaupun toh amal ibadah tersebut hanya menyingkirkan sebuah duri di tengah jalan seperti yang dilakukan oleh Putera Abu Mansur. Sekecil apapun bentuk amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang kelak akan dibalas oleh Allah swt. Allah berfirman “famaiyyakmal mitsqala darrrotin khoiroiyaroh, wamaiyyyakmal mistsqala darrotin sarroiyaroh”.

Hikmah keempat adalah, hendaknya kita introspeksi diri terhadap diri sendiri, bahwa kita diberi umur panjang sekian tahun, sampai hari ini, kita masih diberikan sehat wal afiat tentunya harus ada nilai tambah yang kita berikan kepada diri sendiri maupun orang lain. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, amalan apa yang sudah kita kerjakan, sudah berapa kali khatam Al-Qur’an, mengkaji dan mengamalkannnya secara sempurna? Sudah berapa banyak orang yang kita tolong, sudahkah bermanfaat bagi yang lain, dan sebagainya. Salam… (@D)

Dr. Akhiyat, M.Ag.*

Dr. Akhiyat, M.Ag.*

*Dr. Akhiyat, M.Ag. Adalah Tim Seleksi Karya Ilmiah Jawatimur, Da’i, sekaligus Dosen IAIN Jember

About author

No comments