SEJARAH BUDAYA WAYANG TOPENG DI DESA JATIDUWUR

0

Jombang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Jombang dikenal sebagai Kota Santri karena banyaknya pendidikan  Islam (Pondok Pesantren). Bahkan ada pameo yang mengatakan bahwa Jombang sebagai pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir semua pendiri pondok pesantren di Jawa pernah berguru di Jombang.

Jombang memiliki kesenian daerah yang lahir dan berkembang, seperti Ludruk, Besutan, Remo Dolet, Jaran Dor, Wayang Kulit Cek Dong, Kentrung, Sandur Manduro, dan Wayang Topeng di Jatiduwur. Wayang topeng Jatiduwur merupakan kesenian yang berada di Desa Jatiduwur Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur. Wayang Topeng Jatiduwur satu-satunya kesenian yang ada di Jombang. Wayang Topeng merupakan seni pertunjukkan tradisional rakyat yang berbentuk teater total yang telah lama hidup di Jatiduwur. Seni pertunjukkan tersebut merupakan sebuah bentuk dan gaya pertunjukan wayang topeng dengan cerita panji berbentuk drama tari tradisional berdialog verbal dan dijalankan serta diatur oleh seorang dalang. Semua penari menggunakan topeng beserta perlengkapannya sesuai dengan karakter tokoh yang dibawakan.

Melacak asal-usul pertunjukan seni pertunjukan Wayang Topeng di Desa Jatiduwur tidaklah mudah, karena hingga tulisan ini dibuat belum ada satupun data tentang Wayang Topeng di Desa Jatiduwur. Jika dikaji berdasarkan lakon atau tema cerita yang dibawakan cerita Panji, maka dapat diduga bahwa kesenian Wayang Topeng di Desa Jatiduwur merupakan warisan Majapahit. Wayang Topeng tersebut konon diciptakan oleh Ki Purwo, warga sekaligus dalang pertama di Jatiduwur. Singkat ceritanya. Purwo sebagai tokoh yang berperan dalam kelahiran wayang Topeng Jatiduwur diceritakan pada masa mudanya senang berpetualang atau berkelana mencari ilmu.

Dalam pengembaraannya Purwo bertemu seorang gadis Desa Jatiduwur, selanjutnya mereka berjodoh (menikah) dan akhirnya mereka bertempat tinggal menetap di Desa Jatiduwur sampai akhir hayat. Sebelum bertempat tinggal menetap di Desa Jatiduwur, Purwo memiliki dua buah topeng warisan dari leluhur (orang tuanya) yakni topeng yang menggambarkan tokoh Klono dan Panji. Warisan topeng Klono dan Panji tersebut oleh Purwo dianggap sebagai pusaka, maka kemanapun Purwo pergi, pusaka tersebut selalu dibawa.

Beberapa tahun yang lalu, setelah Purwo tinggal di Desa jatiduwur, Purwo berkeinginan untuk memperbanyak koleksi topengnya, maka ia mencoba untuk membuat sendiri. Topeng yang dibuatnya terdapat berbagai bentuk karakter diantaranya tokoh putri, bapang, pendeta, prajurit, dan sebagainya. Dalam proses pembuatan topeng dengan berbagai karakter sebagaimana yang diinginkan, Purwo melakukan dengan berbagai laku ritual dengan harapan dan keyakinan agar mendapatkan hasil yang bagus dan memiliki kekuatan estetis.

Adapun proses pembuatan topeng yang dilakukan diantaranya memilih bertempat tinggal di bawah pohon beringin yang ada di Desa Jatiduwur dan waktunya juga dipilih pada setiap hari Jum’at legi. Selain melalui pemilihan waktu dalam proses pembuatan topeng tersebut, Purwo juga melakukan puasa dan bersemedi (melakukan komtemplasi) sehari semalam, agar mendapatkan pencerahan terutama untuk mendapatkan gambaran mengenai wujud karakter tokoh yang diinginkan.

Oleh karena proses pembuatan yang harus disertai dengan berbagai laku ritual, maka untuk menghasilkan topeng dengang jumlah banyak, dalam proses pembuatannya memakan waktu selama bertahun-tahun. Pada akhirnya Purwo berhasil mewujudkan topeng buatannya sejumlah 31 buah, sehingga secara keseluruhan jumlah topeng yang dimilikinya ada 33 buah topeng. Setelah berhasil mewujudkan karya topeng berjumlah 31 buah yang terdiri dari berbagai karakter, selanjutnya Purwo melengkapinya dengan perlengkapan/properti dan busana sesuai dengan karakter tokoh. Selain itu juga dilengkapi dengan seperangkat gamelan. Menurut penuturan masyarakat Jatiduwur, bahwa perlengkapan gamelan yang dimiliki oleh Purwo dibelinya dari Desa Karang Belah Kecamatan Sumobito Jombang.

Setelah berhasil mempersiapkan berbagai perangkat pertunjukan wayang topeng tersebut, selanjutnya Purwo mulai merekrut anggota yang bersedia diajak gabung untuk mewujudkan gagasannya dalam membentuk kelompok kesenian wayang topeng. Sebagai langkah awal, Purwo mengajak beberapa keluarga yang tinggal di Desa Jatiduwur untuk dilatih menari sambail memainkan topeng, serta sebagai penabuh gamelan. Purwo sendiri yang melatih, sekaligus bertindak sebagai dalang. Akhirnya Purwo Bersama kerabatnya berhasil mewujudkan pertunjukkan wayang topeng di Desa Jatiduwur yang diselenggarakan dalam rangka ritual bersih desa tersebut.

Masyarakat mengetahui bahwa dalam mewujudkan karya topeng-topengnya, Purwo melakukannya dengan proses laku ritual. Oleh karena itu, maka topeng-topeng yang digunakan sebagai media pertunjukan wayang topeng bersih desa juga dianggap sakral. Hal itu bisa terjadi mengingat bahwa ritual bersih desa juga dianggap oleh masyarakat sebagai acara komunal masyarakat dan dianggap sakral. Oleh kesakralannya masyarakat meyakini bahwa kesenian wayang topeng di Desa Jatiduwur memiliki kekuatan ghaib, atau keramat, dapat menyembuhkan wabah penyakit bagi masyarakat di Desa Jatiduwur.

Dalam pertumbuhan selanjutnya, pertunjukan wayang topeng di Desa Jatiduwur sangat diminati masyarakat. Dan kehadiran pertunjukan wayang topeng memiliki konstribusi besar bagi masyarakat Desa Jatiduwur. Masyarakat memfungsikan pertunjukan wayang topeng Jatiduwur sebagai sarana ritual yaitu, penyembuahan penyakit, sebagai sarana pemenuhan nadzar, dan ritual lainnya. Dalam rangka perkembangan selanjutnya , esksitensi seni pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur tidak saja berfungsi sebagai seni pertunjukan ritual, tetapi berkembang sebagai seni hiburan popular.

Masyarakat menghadirkan pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur dalam berbagai hajatan sosial seperrti, pernikahan, khitanan, nadzaran, syukuran ataupun dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. EksiStensi Wayang Topeng Jatiduwur mulai menurun pada dekade akhir abad 20. Untuk sekarang ini tinggal sedikit yang mengerti betul akan bagaimana wayang topeng Jatiduwur berjalan. Dan perlu upaya lebih lanjut agar bisa berkembang layaknya kesenian lainnya untuk bersaing, bukan hanya semata-mata mencari keuntungan saja, namun dengan lebih terbuka. (EN)

Biografi Penulis

*) Siti Hartantri Imroatul Hasanah

Siti Hartantri Imroatul Hasanah merupakan mahasiswi aktif prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Selain aktif dalam perkuliahannya, mahasiswi ini juga aktif mengikuti organisasi PR IPNU/IPPNU Jatiduwur. Untuk mengenal lebih lanjut mengenai penulis, Anda dapat menghubungi Siti melalui email pribadinya sitihartantriimroatulhasanah@gmail.com

About author

No comments