Filantropi Islam sebagai Terapi Pandemi

0

Beberapa hari lalu, saya diundang pada acara World Zakat Forum Intentional Conference dengan tema “Post Covid-19 Economic Recovery: the Role of World Zakat Forum”, beberapa negara yang ikut serta diantaranya Ghana, India, Pakistan, Sudan, Indonesia, Maroko dan banyak lagi negara berpenduduk muslim. Yang menarik, adalah hasil akhir dari diskusi tersebut yaitu filantropi Islam lagi-lagi mampu hadir sebagai obor konsep fiskal terdepan bagi resesi kesuntukan aktivitas ekonomi kita.
Yang menarik lagi, aset negara bisa berupa tanah yang tidak diproduksi dapat dikelola dengan sistem akad syariah melalui pola filantropi. Ini namanya double rule, yaitu memanfaatkan komponen filantropi Islam secara total. Seolah ramalan dari Umar bin Abdul Aziz mendekati kenyataan, bahwa tidak ada yang seefektif zakat sebagai pendapatan negara, sekalipun negara tersebut diterpa krisis yang begitu akut. Ini membuktikan benar hipotesisnya, bahwa dalam masalah apapun, Islam itu selalu memiliki jurus jitu, tinggal bagaimana bangsa ini berpikir untuk menerapkannya.
Seluruh negeri memiliki problem yang sama, barangkali ini pertama kali terjadi. Kita dihadapkan pada persoalan hidup yang runyam, menggunakan konsep Barat saat ini adalah buah simalakama yang kronis. Bagaimana tidak, semisal masyarakat disokong modal dana dengan sistem reintenir atau margin yang tinggi, tentu semua orang akan mengecam. Bisa jadi, ini arus balik dari strategi ekonomi Barat dan menjadi titik balik bagi filantropi Islam. Di tengah kondisi ekonomi yang karut marut, intervensi serius dari negara berupa beribu-ribu bantuan tidak berpengaruh signifikan. Membuat pemerintah kita, bahkan dirasai semua negara, kalang kabut mengempesi dan merajut ulang rencana yang telah bulat dibuat tahun lalu.

Filantropi sebagai Terapi

Hari ini, siapa yang tidak melirik ke pengelolaan zakat, mungkin semua negara mulai tertarik. Bagaimana tidak, zakat itu model pindah ruang perekonomian paling mudah dan tidak berbelit-belit. Prosesnya berkisar diantara tabarru’ dan non-bunga. Prinsipnya, adalah pengalihan kekayaan dari muzakki (si kaya) kepada mustahik (si miskin), sehingga posisi keduanya menjadi seimbang, atau setidaknya tidak terpisah jurang yang dalam. Model peralihan ini, diamini oleh akar pucuk ekonomi dunia yaitu meningkatkan permintaan (demand) yang menghasilkan permintaan (supply). Kedua jalur inilah, yang tampil sebagai solusi untuk menyeimbangkan kemelut ekonomi kita.
Dulu, saat ketimpangan ekonomi melanda negara-negara Islam, Umar bin Abdul Aziz membuat terobosan penting, yakni memporandakan keuangan global sedemikian rupa agar seluruh rakyat dapat menikmatinya. Umar menghemat seluruh pendapatan negara dengan cara mengempesi kebijakan “gaji selangit” untuk seluruh para pejabat, menggenjot si kaya untuk rajin berzakat, dan pada akhirnya seluruh pendapatan negara total mengalir kepada rakyat yang sakit, difabel, dhu’afa, terlilit hutang dan sebagainya. Sehingga, jurang pemisah si miskin dan si kaya hampir dikatakan seimbang. Tak pelak, kebijakan tersebut ditentang habis oleh kaum feodal yang notabene dari kalangan Bani Umayyah dan kerabat-kerabatnya.
Begitulah karakter zakat sebagai konsep ideal filantropi Islam termasyhur, selalu membuat gerah kaum feodal dan rakyat dapat berbahagia. Penghimpunan dana zakat, disebar dan diporandakan ke berbagai sektor usaha mikro masyarakat kecil. Kaum kaya ditekan untuk menghamburkan kekayaannya untuk berzakat, kemudian dialirkan pada kebutuhan pengembangan usaha masyarakat miskin. Model ini sederhana tapi mampu menyegarkan ketimpangan ekonomi dari bawah tanah. Sebagaimana firman Allah, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103).
Dua argumen logis kenapa zakat mampu menyeimbangkan perkonomian di masa dan pasca pandemi nantinya, pertama zakat tidak memberatkan keuangan negara yang lagi lesu, tetapi memanfaatkan masyarakat yang memiliki nilai ekonomi lebih untuk dikembangkan. Negara tidak perlu menggelontorkan anggaran yang ada, tetapi hanya mengelola zakat dengan tepat. Tentu, hal demikian menghentikan laju pengeluaran negara. Sirkulasi aktivitas keuangan berlangsung antar masyarakat melalui model pengelolaan zakat. Kedua, zakat tidak menuntut pengembalian atau timbal balik. Tidak seperti investasi, yang mengharapkan dapat berkembang dan kembali modal. Setelah muzakki menyalurkan zakat, saat itu mereka ikhlas dan tulus tanpa pengembalian lagi. Sehingga negara tidak terbebani. Sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal RA, Rasulullah bersabda, “Dan sedekah itu dapat menghapuskan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api” (HR. Tirmidzi dan Ahmad). Kata “dosa” tersebut dapat dimaknai dengan “krisis ekonomi”. Selain itu juga disebutkan, “Membayar zakat akan mensucikan harta dan jiwa pelakunya, menumbuh-kembangkan hartanya dan menjadi sebab terbukanya pintu-pintu rezeki”. Wallahu a’lam bisshawab …. (EN)

Biografi Penulis

Basar Dikuraisyin

Basar Dikuraisyin seorang dosen dari UIN Sunan Ampel Surabaya. Dapat menghubungi penulis ke basardikuraisyin@uinsby.ac.id

About author

No comments