Menalar Tuhan dengan Akal: dalam Serpihan Kisah Ibrahim

0

Pada tahun 90an, gerakan integrasi keilmuan mulai bermunculan di perguruan tinggi Islam Swasta maupun Negeri. Kemunculanya ini dikarenakan bahwasanya kampus adalah pusat studi ilmu yang di dalamnya terdapat berbagai macam ilmu dan disiplin keilmuan. Diawali dengan pemikiran Mukti Ali, beliau menawarkan ide gagasanya berupa “studi agama”. Sedangkan Amin Abdullah menawarkan bahwasaanya setiap perguruan tinggi Islam yang ada hendaklah mempunyai World view dalam mempelajari Islam dengan memperhatikan histori, integrasi dan interkonesitas dengan disiplin keilmuan lainya, termasuk pemikiran barat yang mengedepankan rasionalitas akal. Hal ini tentunya sedikit bertentangan dengan tradisi keilmuan yang berada di timur dalam mengkaji agama yang lebih banyak di dominasi oleh kaum sufi dan tasawuf.

Sebelum memulai tulisan ini, penulis akan mengawali dengan sebuah pertanyaan Big Question terkait dengan Tuhan dan ritual keagamaan; “apakah benar, konsep Tuhan yang kita yakini oleh masyarakat beragama hanyalah sebagai imajinasi? Apakah Tuhan yang kita sembah adalah hasil dari imajinasi akal manusia? Jika memang begitu, menyembah Tuhan sama halnya menyembah imajinasi kita sendiri. Maka saran penulis dalam hal ini, pilihlah konsep Tuhan yang menurut anda benar supaya anda tidak terjebak dalam imajinasi untuk menyembahnya.

Karl Max menyebut, Tuhan atau agama adalah candu. Sedangkan Sigmund Freud mengatakan bahwasanya agama adalah sejenis penyakit gangguan jiwa, dan Ricard Dawkins mengatakan bahwa Tuhan adalah delusi. Begitulah para kaum positivism menamakanya, bahwasaanya fenomena yang dianut oleh orang-orang beragama dianggap bertentangan dengan akal rasionalitas, meyalahi hokum kausalitas yang ada. Bagi mereka yang mempunyai rasionalitas akal yang tinggi, Tuhan dan Agama adalah sebuah penyimpangan sosial kehidupan yang real. Misalnya dalam analisa psikologi, ini dianggap sebagai ilusi atau delusi. Delusi ini dikatakan sebagai salah satu jenis penyakit gangguan jiwa yang sangat serius, adanya inkoneksitas antara imajinasi, akal pikiran dan realitas. Sehingga mereka sering melakukan hal hal yang tidak masuk akal, mempercayainya bahkan sampai membela dengan pengorbanan nyawa sekalipun, misalnya konsep jihad.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwasanya imajinasi mempunyai peran yang sangat besar bagi manusia. Bahkan ada istilah “imajinasitas bisa menumbuhkan kreativitas”. Biasanya orang tua yang memiliki anak penuh dengan imajinasitas yang tinggi, orang tua tersebut akan merasa bangga karena bisa menumbuhkan kreativitas pada anak. Namun hal ini akan menjadi momok bagi orang yang beragama, ketika imajinasitas disandingkan dengan Tuhan dan kepercayaan. Minimal kita akan bertanya, apakah Tuhan itu adalah hasil dari imajinasitas manusia? Jika iya, berarti kita menyembah imajinasitas kita dan merealisasikanya dalam bentuk kreativitas yang berupa ritual keagamaan (penyembahan).

Imajinasitas manusia tidak bisa terlepas dari yang namanya otak. Secara umum, otak manusia dibagi menjadi dua; otak kanan dan otak kiri. Otak kanan rata rata berisikan perasaan, tidak sistematis, tidak rasional, dan sering terbawa perasaan. Berbeda dengan otak sebelah kiri yang cenderung lebih rasional, analitis, sistematis dan mengedapankan logika daripada perasaan. Imajinasitas manusia tercipta dari otak bagian kanan, sedangkan logika diproduksi oleh otak bagian kiri. Masing-masing fungsi otak ini sesunggunya sudah terdapat dalam beberapa kitab suci, diantaranya adalah injil, diantaranya adalah 2 korintus 10;5,  Galatia 3:1 dan Ibrani 8:10. Dijelaskan bahwasanya, jangan sampai otak kanan manusia yang penuh dengan daya imajinasitas dikotori oleh pikiran-pikiran negative, jadikankalah imajinasitas yang ada di otak kanan sebagai wadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Tuhan bukan dengan logika akan tetapi dengan perasaan dan keimanan.

Bukan hanya di injil saja, akan tetapi imajinasitas juga disinggung oleh Al Qur’an seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Syarifudin dalam “sastra Qur’ani dan tantangan sastra Islam di Indonesia”. Bahwasanya al qur’an penuh dengan kisah-kisah imajinasi yang banyak menguras daya fantasi bagi pembacanya yang akan membawa manusia kealam yang belum pernah dijumpai selama di dunia. Al qur’an dalam menyampaikan ajaranya telah memanfaatkan kisah sebagai medianya. Sehingga untuk memahami kisah fiksi yang ada di dalam al qur’an itu sendiri diperlukan daya imajinasitas yang luar biasa dari manusia itu sendiri. Sehingga dengan daya imajinasitas kita, kita bisa membayangkan kisah-kisah tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memahami kehidupan seperti yang dikisahkan, mulai dari pembentukan karakter, sifat, moral dan etika dalam berprilaku dalam kehidupan yang sesungguhnya. Untuk lebih lengkapnya, bisa dibaca tulisanya Sayyid Qutub terkait dengan ilustrasi dan imajinasitas Al qur’an dalam menginspirasi orang orang arab pada waktu itu.

Jika ditarik kesimpulan diatas, bahwasanya untuk mengenal Tuhan diperlukan daya imajinasitas yang tinggi dari manusia untuk mencari sesuatu yang mutlak dan esa (Tunggal), seperti halnya kisah nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya dengan akal rasionalitasnya, siapakah yang menciptakan saya? Apakah Tuhan patung ini yang diciptakan oleh ayah saya? Akan tetapi jika patung ini adalah Tuhan yang menciptakan saya, lantas kenapa patung ini diciptakan oleh ayah saya? Kenapa Tuhan (Patung) bisa dengan mudah dihancurkan oleh manusia — Tuhan yang menciptakan saya atau saya yang menciptakan Tuhan —- Dari sinilah rasionalitas nabi Ibrahim muncul untuk mencari Tuhan yang sesungguhnya. (Q. S al-an’am 75)

Penalaran tentang keberadaan Allah secara akal rasionalitas sebetulnya sudah sering dibahas oleh para cendikiawan muslim terdahulu, dimulai dari Al-farabi, ibn Sina sampai Ibnu Rusd. Berbagai metode penafsiran terhadap teks suci Al Qur’an pun dilakukan, termasuk melibatkan akal dan ilmu pengetahuan yang ada. Sebetulnya jika kita manarik kasus ini kedalam logika dunia filsafat, Aristoteles sebagai bapak logika juga meyakini bahwasanya ada satu kekuatan yang sangat besar yang menjadi penyebab kuasalitas hukum alam ini, meskipun dia tidak pernah menyebutnya kekuatan besar itu adalah Tuhan. Kekuatan besar inilah yang menjadi penyebab awal dari suatu rangkaian evolusi yang terjadi selama ini. Untuk mengetahuinya diperlukan penalaran rasionalitas logika yang cukup tinggi untuk mencapainya.

Sedangkan menurut Ibnu sina, rasionalitas manusia sebetulnya tidak terbatas. Pengetahuan yang irasional sebetulnya adalah puncak dari rasionalitas itu sendiri, maka dari itu ibnu sina mengatakan bahwasanya diperlukanlah imajinasitas yang cukup tinggi untuk membuka tabir misteri yang ada di seluruh alam semesta ini sebagai tanda bahwasanya ilmu pengetahuan manusia mengalami perkembangan. Jadi kesimpulanya, Allah yang kita sembah bukanlah Tuhan dari hasil imajinasitas manusia semata. Akan tetapi hasil dari pemikiran manusia yang berusaha untuk mencari inti dari kausalitas hukum alam ini (first cause). Salam… (@D)

Indra Latif Syaepu*

Indra Latif Syaepu*

*Indra Latif Syaepu*, M. Hum. Dosen Fak. Usluhuddin dan Dakwah IAIN-Kediri Fb @Indra Latif Syaepu. Hp: 085755556424

About author

No comments