Studi Kasus Mengenai Masjid Chengho Pandaan Pasuruan: Budaya, Bentuk, dan Ciri Khas Masjid Chengho Pandaan Pasuruan

0

Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak suku bangsa dan bermacam etnis di dalamnya. Sejak zaman dahulu banyak orang luar negeri yang sedang merantau ke Indonesia dengan berbagai maksud dan tujuan. Tiongkok merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah peradaban dan kebudayaan tertua di dunia. Kontak pertama yang dilakukan orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia yaitu ketika orang-orang Tionghoa merantau ke seluruh Asia Tenggara. Orang-orang Tionghoa yang telah merantau masuk ke Asia Tenggara pada masa di mana negara-negara di Asia Tenggara masih dipimpin oleh para raja dari kerajaan yang ada di negara tersebut.

Para perantau Tionghoa tersebut telah menempati kota-kota yang dekat dengan pantai dan kebanyakan hidup sebagai pedagang. Pada abad ke-14 telah terdapat perkampungan orang-orang Tionghoa Islam di muara sungai Brantas kiri (kali Porong) yang beraktivitas sebagai pedagang hasil bumi. Ketika orang Barat datang ke Asia Tenggara dan mendirikan daerah koloni dan menguasainya, pemerintahan kolonial berusaha meningkatkan perdagangan,sehingga membuat pintu bagi perantau Tionghoa di masa itu datang secara besar-besaran.

Bangsa Indonesia selain memiliki banyak suku dan etnis juga terdiri atas berbagai macam agama dan kebudayaan di dalamnya. Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam sebagai pedoman hidupnya. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara Islam terbesar di dunia.

Ajaran Islam juga dapat diterima dengan baik oleh penduduk Indonesia, dengan demikian dakwah tentang ajaran Islam pun makin meluas baik di kalangan masyarakat biasa maupun di kalangan bangsawan. Dalam kurun waktu 28 tahun Laksamana Cheng Ho telah berkunjung ke seluruh wilayah Indonesia selama 7 kali untuk misi persahabatan yaitu pada tahun 1405 ± 1433 .

Kedatangan armada Cheng Ho ke daerah yang disinggahi telah memberikan dampak yang besar yaitu kemajuan dalam berbagai bidang, seperti bercocok tanam, alat bajak dari besi, beternak, perdagangan, seni ukir, seni bangunan/arsitektur, dan seni budaya lainnya. Laksamana Cheng Ho juga menyebarkan agama Islam yang telah diterima dari Arab,. Hal tersebut menyebabkan percampuran budaya antara dua kebudayaan yang unik yaitu antara budaya Tionghoa dan Jawa.

Di Jawa Timur sendiri merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki penduduk etnis Tionghoa yang banyak. Bukti sejarah telah banyak menyebutkan bahwa ketika Surabaya dan sekitarnya masih berada dalam wilayah kerajaan (keraton) Jawa Timur, etnis Tionghoa telah banyak yang bermukim dan berbaur dengan masyarakat yang ada dan hidup sebagai pedagang besar dan bermukim di wilayah sebelah utara keraton.

Budaya merupakan pola terpadu dari pengetahuan, kepercayaan dan tingkah laku manusia yang tergantung pada kemampuannya untuk mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Menurut Susilmadi dan Sofwani (2011:3), budaya dapat diartikan sebagai seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku, dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat.

Manusia mempunyai empat kedudukan dalam kebudayaan, yaitu manusia sebagai penganut kebudayaan, manusia sebagai pembawa kebudayaan, manusia sebagai manipulator kebudayaan dan manusia berbagai pencipta kebudayaan. Unsur-unsur tersebut digunakan oleh manusia untuk beradaptasi pada perubahan sosial yang terjadi. Akulturasi budaya juga dapat terjadi karena adanya komunikasi antar budaya.

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:33), akulturasi merupakan proses percampuran dua atau lebih kebudayaan yang saling bertemu dan saling mempengaruhi atau proses masuknya kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, yang sebagian menyerap secara selektif dan sebagian menolak pengaruh itu.

Pada dasarnya kebudayaan Indonesia terbentuk dari beberapa kebudayaan besar negara lain seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan Arab, dan kebudayaan India. Interaksi orang-orang Tionghoa dan Arab dengan masyarakat pribumi turut mempengaruhi budaya antar ketiganya dan melahirkan kebudayaan baru yang menambah khazanah kebudayaan Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa akulturasi kebudayaan ini membawa pembaruan di segala bidang. Hasil-hasil kebudayaan baru sebagai proses akulturasi dua kebudayaan adalah sebagai berikut.

  1. Arsitektur

Pengaruh arsitektur Tionghoa dan Arab dapat dilihat dari bentuk bangunan masjid Cheng Hoo di Surabaya, Pandaan, Semarang, dan juga di Palembang. Masjid-masjid tersebut merupakan masjid yang memiliki perpaduan gaya arsitektur Tiongkok, Arab dan Indonesia. Bangunan masjidnya menyerupai bangunan rumah ibadah Konghucu yaitu kelenteng, tetapi juga tidak meninggalkan gaya Arab (Islam) dan Indonesia di dalamnya.

  1. Bahasa

Bahasa merupakan kebutuhan utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi sehari-hari. Setiap negara memiliki bahasanya masing-masing. Orang-orang Tionghoa dan orang-orang Arab (Islam) yang berimigrasi ke Indonesia juga meninggalkan kebudayaan yang berupa bahasa. Bahasa dari negara-negara ini dipilah, kemudian diserap untuk menambah daftar kosa kata yang ada di Indonesia.

  1. Bentuk Bangunan

Bentuk bangunan masjid Cheng Hoo ini tidak seperti bangunan masjid pada umumnya yang memiliki kubah besar, namun masjid ini lebih mirip kuil dari sebuah perguruan Kungfu di Cina. Yang Mempunyai atap bertingkat-tingkat bak Pagoda. Mendengar kata Cheng Hoo, bayangan Takaiters mungkin menuju ke Laksamana Cheng Hoo. Tokoh pejuang muslim asal China yang legendaris. Nama Cheng Hoo digunakan untuk menghormati laksamana yang pernah melakukan ekspedisi ke Indonesia awal abad ke-15 itu, Masjid Cheng Hoo di Kabupaten Pasuruan berdiri di wilayah Kelurahan Petungasri, Kecamatan Pandaan. Masjid ini dibangun pada tahun 2004  atas ide Bupati Jusbakir Aldjufri (alm).

Yang menarik, Bupati sama sekali tidak menganggarkan pembangunan masjid ini dari APBD Pemkab Pasuruan. Dana pembangunan dicari secara swadaya masyarakat. Ia menggandeng tokoh masyarakat setempat, H Hasan (alm), pengusaha properti Batu Mas Pandaan. Kebetulan H Hasan sebagai takmir masjid. Rumahnya pun berada sekitar 50 meter dari lokasi Masjid. H Hasan sendiri adalah mertua dari mantan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko.

Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh tokoh pluralisme, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Peresmiannya dilakukan Bupati Jusbakir pada tahun 2008 atau beberapa bulan sebelum masa kekuasaanya berakhir. Arsitek masjid ini berasal dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Masjid yang mempunyai nama lengkap masjid Muhammad Cheng Hoo ini memiliki arsitek yang kental dengan gaya khas Tionghoa. Warna merah, hijau dan keemasan. Warna merah mendominasi masjid ini. Mulai dari tiang, tembok dan berbagai ornamen seperti lampion yang menjadi ciri khas Tionghoa.

Sementara, warna hijau digunakan untuk genteng. Warna keemasan dikhususkan untuk warna tulisan dan ukiran yang ada di masjid ini. Tulisan masjid Cheng Hoo pun dilengkapi dengan tulisan huruf China yang ditempelkan di depan pintu masjid. Ukiran yang berwarna emas mempunyai bentuk garis-garis yang simetris. Persis dengan ukiran yang ada di kuil perguruan kungfu atau kerajaan Cina. Tulisan Kaligrafi menyatu dengan ukiran simetris yang menghiasi interior bagian dalam masjid serta menghiasi sekeliling atap yang bergaya joglo.

Jika  berada di lantai 2 masjid ini, kita akan merasakan kesegaran. Hawa khas Tretes Pasuruan terasa menusuk tulang. Saat membuka jendela masjid,  akan melihat panorama gunung Penanggungan dan Arjuno serta panorama puncak Tretes Prigen. View nya sangat indah dan menawan.  saat ini masjid Cheng Hoo Pasuruan sudah masuk dalam destinasi wisata.

Ukir-ukiran serta konstruksi kayu sebagai bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa, dapat dilihat sebagai ciri khas pada bangunannya. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap atau pertemuan antara kolom dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah, sehingga tidak perlu ditutupi.

Arsitektur bangunannya juga berkaitan dengan anggapan orang Tionghoa tentang etika, estetika, tata nilai, lingkungan alam, dan mendasarkan penampilan bangunannya pada tradisi dan budaya yang kental, serta memperhatikan keserasiannya dengan alam sekitar. Dalam arsitektur tradisionalnya, pada umumnya orang Tionghoa menggunakan ornamen yang diletakkan baik di pintu, di dinding, di jendela, bahkan di halaman yang semuanya didasarkan pada mitos yang ada diTiongkok.

Simbolisasi dalam bangunan Tionghoa ini diselaraskan pada alam dan tata nilai kehidupan yang muncul dalam bentuk simbol yang berkaitan dalam isi kehidupan maupun alam itu sendiri yang dapat dilihat dalam bentuk ornamen yang ditampilkan Bentuknya pun bermacam-macam yaitu motif flora, fauna, geometris, fenomena alam, serta legenda-legenda yang terkenal. Gaya oriental Tiongkok ditandai dengan penggunaan warna yang mencolok, biasanya digunakan warna merah, hijau, biru, kuning, emas, dan coklat tua yang muncul dalam desain interiornya maupun eksteriornya, misal ukiran naga emas, singa, dan lain sebagainya. (DEW)

Biografi Penulis

*) Devi Valensia AF

Mahasiswi program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Selain sibuk di dunia perkuliahan, penulis juga mengikuti organisasi IPPNU Durensewu Pandaan Pasuruan. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail pribadinya devivalensia42@gmail.com

About author

No comments

Potret Idealisme Danar

‘Aku rajin edarkan kebahagiaan pada orang lain, tapi aku lupa tuk berikan secuil kebahagiaan pada Emakku. Maafkan aku, Mak.’ “Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan ...