Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia telah menampakkan keramahannya. Sejarah mencatat bahwa Islam masuk Indonesia melalui dakwah yang penuh damai sehingga melahirkan Islam Indonesia yang moderat. Islam moderat ini pada gilirannya menjadi ciri khas Islam Indonesia, yang berbeda dengan Islam di belahan dunia lain. Namun, karakter Islam moderat ini mulai mendapat tantangan, semenjak organisasi Islam transnasional masuk ke Indonesia. Di sini terjadi pergumulan antara ideology Indonesianisasi Islam dengan ideology Islamisasi Indonesia. Kajian ini menemukan bahwa pendidikan Islam merupakan sarana yang paling strategis dalam memperkuat Islam moderat yang menjadi karakter utama bagi Islam Indonesia. Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam yang khas Indonesia secara pasti mengajarkan kepada peserta didiknya mengenai Islam Indonesia yang moderat. Pada saat yang sama, lembaga pendidikan Islam transnasional pun berupaya melakukan Islamisasi Indonesia kepada peserta didiknya. Pergumulan ini meniscayakan pentingnya memperkuat peran lembaga pendidikan Islam dalam melakukan Indonesianisasi Islam, sehingga Islam moderat dapat dipertahankan di bumi Nusantara.
Pengertian dari ‘Islam moderat’ bukanlah tanpa konsep dan landasan. Justru, istilah itu muncul dengan dasar atau landasan teologis dan ontologis (sesuatu yang bersifatkonkret). Istilah Islam moderatialahbagiandariajaran Islam yang universal. Istilah Islam moderat memiliki padanan dengan istilah Arab ummatanwasathanatau al-din al-wasath. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadisaksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadisaksi (syahid) jugaatas kalian.” (Q. S. Al-Baqarah:143). Umatanwasathan dalam ayat tersebut berarti “golongan atau agama tengah”.
Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalahcorakpemahaman Islam yang menolakcara-carakekerasan yang dilakukanolehkalangan lain yang menganut model Islam radikal.
Selanjutnya, marilah kita menelisik terlebih dahulu perihal bagaimana Isam dapat membumi di Nusantara. Semua orang tahu bahwa Islam disebarkan dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia. Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud, Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio cultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi “The Religion of Java” jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi local serta memodifikasinya kedalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara. Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternative baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkapoleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya local dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.
Demikian pula dikatakan, bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan kedalam doktrin dan budaya Islam. Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam di bumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekskan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “Islam Moderat”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normative dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual, sehingga tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normative berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya sesungguhnya dalam artian masih berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadist sebagai tuntunan hidup.
Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu kesudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar shalih li kullizamanwamakan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).(DEW)
Biografi Penulis
M. Riza Aminuddin Alwy, seorang mahasiswa aktif semester lima jurusan Psikologi Islam IAIN Kediri. Dapat menghubungi penulis di akun Instagramnya @rizaaly atau e-mail pribadinya rizaaminuddin5@gmail.com
Sangat menarik bahasanyya, sebagai saran alangkah lebih baiknya ditulis dengan kata baku sehingga kata serapan dari bahasa asing bisa diubah menjadi padanan bahasa Indonesia yang sesuai. Tetap semangat
Bagus kak….. Semoga bisa mengedukasi masyarakat luas dan mencegah radikalisme yang kebablasan