PEMBUATAN CAPLOKAN (TOPENG REOG) DI DESA WATUOMPAK

0

Indonesia kaya akan budaya, salah satunya yaitu Reog Ponorogo. Reog awalnya berupa “Reyog” lalu dengan perkembangan waktu dan nama maka “Reyog” berubah menjadi “Reog” yang disahkan oleh Markum Singodimejo seorang bupati Ponorogo. Nama Reog diubah karena atas kepentingan pariwisata dan penggunaan Bahasa Indonesia yang baku pada tahun 1994-2004. Nama “Reog” dicetuskan oleh Markum Singodimejo yang memiliki slogan resmi kabupaten Ponorogo yang memiliki arti Resik (bersih), Endah (indah/bagus), Omber, dan Girang Gumirang.

Reog merupakan pertunjukan kesenian masyarakat Jawa yang di dalam kesenian tersebut memiliki beberapa unsur seperti tarian, drama, dan musik. Pertunjukaan kesenian Reog Ponorogo disajikan dalam bentuk sendratari. Apa itu sendratari? Sendratari merupakan suatu tarian yang dramatik yang tidak ada dialog dan diharapkan gerakan gerakan yang ditampilkan sudah cukup untuk menjelaskan isi dan tema yang ditampilkan dalam tarian Reog Ponorogo tersebut.

Unsur unsur pementasan tokoh dalam kesenian Reog Ponorogo yaitu Warok, Jathilan, Pujangga, Anom, Klana Sewandono, dan Pembarong. Warok berasal dari bahasa Arab yitu Wara’a, yang artinya orang yang melakukan hal-hal mistis. Dalam pertunjukan kesenian Reog Ponorogo, sosok Warok muda ditampilkan sebagai seorang Punggawa Raja Klanasewandono yang tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan. Sementara Warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas Warok muda.

Unsur selanjutnya yaitu jathilan. Jathilan dilambangkan sebaai pasukan kerajakan Majapahit yang lemah di bawah Bhre Kertabumi. Tarian ini dibawakan oleh 6 orang hingga 8 orang gadis yang sedang menunggangi kuda. Pada kesenian Reog Ponorogo tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh laki laki yang berpakaian wanita, yang biasanya disebut sebagai Gemblak. Dalam dunia perwarokan, Gemblak menggantikan posisi wanita bagi Warok.

Reog Ponorogo memiliki ciri khas di daerah asalnya yang sangat menarik untuk dipelajari. Reog Ponorogo memiliki karakteristik yang dalam bentuk sendratari jathil, warok, gemblakan, barongan, dan caplokan. Reog mengalami pergeseran makna atau arti dan fungsi, yang awalnya merupakan ritual budaya menjadi industri pertunjukan. Sehingga kelompok yang bertahan merupakan kelompok yang sering mendapatkan kesempatan untuk pentas reog. Penyebaran kesenian ini dalam perkembangannya dipengaruhi oleh akses menuju lokasi pusat pertumbuhan kota. Hal tersebut saling berkaitan dengan intensitas pertunjukan reog di kota. Penyebaran Reog Ponorogo di luar daerah Ponorogo seperti Salatiga, Yogyakarta, Bandung, Deli, Serdang. Bahkan sampai luar negeri pula seperti Malaysia, Amerika, Rusia, Jerman hingga Belanda. Kebijakan yang disarankan itu dilakukannya pembinaan yang lebih intensif lagi, seperti pembuatan museum Reog dan memasukan kesenian reog ke dalam kurikulum pendidikan sekolah. Perkembangan Reog Ponorogo telah dikelola menjadi sebuah potensi atau aset untuk kegiatan pariwisata budaya daerah. Serta pertumbuhan perekonomian seperti pembuatan caplokan, pecut dan lain-lain. Pergeseran makna dan tradisi telah terjadi dalam kesenian Reog Ponorogo. Dahulu kebudayaan yang digelar sebagai ritual tradisional dengan kesakralan bergeser menjadi kesenian pertunjukan yang digelar atas kepentingan pariwisata.

Kesenian Reog Ponorogo merupakan salah satu kesenian asli di Indonesia dan sempat menjadi perbincangan dunia, karena terdapat isu bahwa Reog diklaim oleh Negara Malaysia. Malaysia mengeklaim Reog Ponorogo merupakan salah satu budaya asli Malaysia. Hal tersebut menimbulkan protes atau penentangan warga Ponorogo dan Indonesia karena budaya asli Indonesia diklaim oleh negara lain. Pengalaman yang telah terjadi seperti pengeklaiman kesenian Indonesia oleh negara tersebut diharapkan bahwa masyarakat Indonesia dapat menghargai kesenian, kebudayaan asli Indonesia agar tetap dilestarikan oleh anak cucu kita selanjutnya agar tetap bisa dinikmati terus menerus. Dan anak cucu kita nanti harus melestarikannya dan mempertahankan keaslian kebudayaan dan kesenian Indonesia dari pengaruh yang negatif.

Dengan banyaknya persebaran Reog Ponorogo tersebut hingga berbagai daerah bahkan luar negeri telah banyak memunculkan usaha-usaha rumahan yang membuat kerajinan caplokan, pecut, dan lain lain sebagai perintilan dari reog tersebut. Seperti di desa saya, di Dusun Watuompak, Desa Mojoagung, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, banyak usaha rumahan yang membuat caplokan dan pecut untuk dimainkan oleh anak-anak.

Hal tersebut membantu perekonomian desa Watuompak. Dari pembuatan kayu hingga dibuat caplokan. Menguntungkan beberapa sektor diantaranya tukang kayu dan pemotongan kayu, lalu benang-benang yang digunakan untuk membuat pecut dan lain lain. Jadi, banyak ekonomi yang terbantu dengan adanya pengrajin caplokan dan pecut tersebut. Tidak hanya dari pengrajin saja, tetapi penjualnya juga. Caplokan dan pecut dikirim ke berbagai daerah di luar Nganjuk.

Awal mula banyaknya pengrajin caplokan dan pecut di Desa Watuompak yaitu ada seorang bapak yang bernama Pak Di yang merupakan seorang yang bekerja menjual mainan untuk anak kecil. Suatu hari Pak Di ini meminta tolong kepada Pak Ran untuk dibuatkan topeng untuk dijual. Topeng yang dibuat sederhana dibentuk menggunakan semen yang dicetak berbentuk topeng lalu dipanaskan, kemudian spon ditempelkan di semen tersebut agar dapat terbentuk topeng. Topeng pada saat itu masih sangat sederhana dibanding topeng (caplokan) saat ini. Topeng tersebut hanya berbentuk 2D dan hanya diberi tali atau karet. Pak Ran waktu itu ketika membuat topeng tidak mau rahasianya diketahui orang lain. Rahasianya yaitu cetakan topeng yang terbuat dari besi dan dipanaskan untuk mencetak topeng tadi. Karena pada waktu itu untuk pembuatan topeng belum banyak seperti sekarang.

Dengan perkembangan waktu, pembuatan topeng berevolusi dari yang hanya berbentuk 2D menjadi 3D dan semakin banyak pembuatan perintilan untuk mainan reog. Dari yang ukuran untuk anak-anak hingga ukuran untuk orang dewasa. Pernah ada pembuatan barongan pesanan salah satu televisi swasta. Hal tersebut juga dapat meningkatkan promosi untuk meningkatkan perekonomian di Desa Watuompak. Kemudian, dengan semakin banyaknya minat terhadap caplokan semakin banyak pula pengrajin yang membuat caplokan tersebut di desa ini. Dengan berjalannya waktu, tidak hanya caplokan, tetapi juga pengrajin pecut di Desa Watuompak ini. Pembuatan caplokan dan pecut di Desa Watuompak tidak hanya selesai di satu rumah, tetapi ada pembagian-pembagian dalam pengerjaannya. Seperti satu rumah bagian base kayu untuk dasar pembuatan caplokan, lalu pembuatan pembentuk topeng, pewarnaan topeng, lalu kain yang digunakan sebagai finishing caplokan tersebut.  Sama  halnya  dengan  pecut,  memiliki bagian masing-masing. Seperti bagian gagang, benang-benang, dan lain-lain.

Adanya usaha pembuatan caplokan atau topeng di Nganjuk ini, sedikit banyak telah membantu perekonomian para pengrajin. Dimana mereka setiap harinya menggantungkan kehidupannya pada usaha ini. Selain itu, dengan adanya usaha pembuatan caplokan, telah semakin memperkuat hubungan antar warga, dimana dalam pembuatan caplokan membutuhkan kerja sama antar pengrajin di daerah tersebut dikarenakan ada pembagian-pembagian tugas saat pengerjaan caplokan. (EN)

Biografi Penulis

*) Ulya Virda Wahanani

Mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail: virdanani22@gmail.com

About author

No comments