Masyarakat Jawa adalah sebuah kelompok sosial yang selama ini dinilai telah mempraktikkan budaya patriarki yang kuat. Seorang bapak dikonstruksi memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dalam keluarga dan anak laki-laki juga lebih diutamakan dalam keluarga. Keturunan anak laki-laki juga memiliki tempat yang khusus dibanding keturunan anak perempuan. Hal ini diperkuat oleh ajaran Islam yang menjadikan wanita cenderung dimarginalkan, baik dalam ruang domestik maupun di ruang publik.
Namun dalam praktiknya, anak perempuan di Jawa bisa melakukan apa saja yang diinginkan, baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik, maupun budaya. Ekspresi anak perempuan di Jawa menunjukkan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri. Batasan-batasan normatif yang diperuntukkan untuk mereka, juga sama terhadap anak laki- laki. Dalam struktur permainan tradisionil misalnya, di sini menjelaskan bahwa semua jenis permainan bisa dimainkan oleh semua gender. Permainan di darat, di air, demikian pula permainan di udara tidak ada yang membatasi ruang gender.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa anak laki-laki dapat berkolaborasi dengan anak-anak perempuan; bermain masak-masakan, manten-mantenan, berjualan, dan keterampilan membuat alat bermain. Begitu pula sebaliknya, permainan yang didominasi laki- laki seperti perang-perangan, bermain bola, mobil-mobilan, bermain petasan, juga disukai oleh anak perempuan.
Kesetaraan gender juga dicerminkan melalui pemberian nama terhadap anak-anak yang tidak pernah mengikut sertakan nama keluarga ayah atau ibunya. Masyarakat Jawa tidak mengenal budaya nama keluarga untuk dicantumkan di belakang namanya. Kelompok bangsawan laki-laki atau perempuan akan mendapatkan nama gelar yang sama. Raja dan permaisuri akan mendapatkan penghormatan yang sama sebagai Sinuwun/ Sinuhun. Demikian pula di beberapa kelompok suku di Nusantara, perempuan mendapatkan posisi yang sama dengan laki-laki sampai sekarang. Karena dalam sejarahnya, struktur masyarakat tradisionil di Indonesia didasari pola kekerabatan bilateral, peran dan posisi perempuan lebih dihargai dan dihormati. Hal ini tidak akan bisa ditemui di wilayah negara lain, di mana anak- anak sejak kecil sudah menyandang nama belakang ayahnya sebagai identitas diri. Perempuan di luar tidak mendapatkan apa yang diterima oleh perempuan di Indonesia, khususnya Jawa.
Relasi gender pada masyarakat Muslim di Jawa masih lebih baik dibandingkan dengan tempat lain, mialnya Arab dan Afrika, terutamayang berkaitan dengan pengakuan hak-hak dan status perempuan. Di Indonesia melalui Undang-Undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 memberikan hak-hak istri secara adil, baik dalam perkawinan, perceraian, maupun poligami. Lebih jauh dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1983 tentang perkawinan dan perceraian ASN, posisi istri atau perempuan oleh negara ditempatkan pada posisi yang terhormat, dilindungi, dan dihormati hak-haknya.
Saat ini perempuan Muslim di Jawa lebih bebas terlibat dan beraktualisasi di ruang publik, bebas menjalankan bisnis, keluar rumah tanpa didampingi muhrimnya, dan mengemudikan kendaraan. Kemudian berkaitan dengan hak waris, perempuan juga memperoleh hak untuk mendapatkan bagian, rumah, tanah, ternak, perhiasan, dan harta lainnya secara adil. Perempuan juga memiliki kebebasan untuk mengatur harta mereka sendiri, bahkan setelah menikah. Perempuan memiliki akses untuk mengembangkan harta miliknya tanpa ada pembatasan. Perempuan di Jawa juga diberi hak untuk mengambil keputusan, karena kepemimpinan perempuan telah diakui dan dijamin secara politik.
Sayangnya, tidak semua perempuan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kebebasan-kebebasan yang telah dipaparkan di atas. Hal ini karena kebebasan dan akses mereka tergantung dengan kelas sosial, etnis, dan daerah di mana perempuan tinggal. Perempuan keturunan bangsawan memperoleh akses ekonomi yang luas, berbeda dengan perempuan dari kalangan biasa. Di ruang public seperti pasar tradisionil, perempuan lebih mendominasi dan menguasai jaringan ekonomi permodalan. Di sini perempuan terlihat lebih tangguh, kuat, dan mandiri dari pada laki-laki. Perempuan dalam jaringan ini lebih dipercaya oleh lembaga keuangan mikro untuk mendapat kredit modal. Hal ini karena secara moral perempuan dinilai lebih memiliki integritas, mudah dipercaya, dan bertanggung jawab. Pada ruang pasar tradisionil ini laki-laki jumlahnya kecil dan sebagian dari mereka statusnya sebagai pembantu istri untuk berjualan.
Di wilayah domestik, perempuan Jawa diberi kebebasan untuk membuat keputusan keluarga, mengatur tatanan rumah tangganya, dan mendidik anak-anak. Seorang istri diberi kekuasaan mengatur dan membelanjakan uang nafkahnya. Perempuan juga diberi kebebasan mengelola hasil pertaniannya. Perempuan juga diberi kesempatan untuk membentuk organisasi di lingkungan untuk memperkuat dan menambah pengetahuannya. Bahkan perempuan diberi kesempatan untuk menjadi pengelola lingkungannya. Di beberapa tempat, keberhasilan pengelolaan dan penghijauan lingkungan yang sehat dicapai oleh perempuan. Dalam perspektif anak- anak , Ibu lebih dibutuhkan ketika mereka ada di rumah. Apalagi di musim pandemi Covid-19 ini yang memunculkan kebijakan “Sekolah Daring”. Di sini peran dan fungsi Ibu sangat vital sebagai pengganti peran guru untuk mengajar anak- anak di rumah.
Berbicara mengenai perempuan, KH Husein Muhammad dalam bukunya yang berjudul Islam Agama Ramah Perempuan, beliau menegaskan, “Islam sangat menghormati perempuan”. Hal ini karena perempuan memiliki kelebihan kodrati biologis. Sementara kelebihan kecerdasan dan ketrampilan (capabilitas) yang ada pada laki-laki dapat dikerjakan oleh perempuan. Dalam buku Qiraah Mubadalah yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir menegaskan bahwa pemahaman teks al-Qur’an yang sangat maskulin merupakan penyimpangan dari maksud Allah SWT. Dengan perspektif Qiraah Mubadalah, sikap saling memahami peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan dapat menghasilkan pemahaman narasi Islam yang menempatkan laki-laki dan perempuan setara sebagai manusia. Bahwa suami dan istri itu bisa saling menyempurnakan dan saling mengehebatkan untuk membentuk kelurga yang sakinah. Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang bisa menjaga hati perempuan dan membahagiakannya. Oleh karena itu, Allah SWT menitahkan bahwa laki-laki yang baik jodohnya perempuan yang baik, yang sering disebut dengan sekufu.
Alimatul Qibtiyah (angota Komnas Perempuan) dalam bukunya yang berjudul Feminisme Muslim di Indonesia menjelaskan bahwa perempuan Muslim di Indonesia telah memiliki hak-hak yang selama ini diperjuangkan oleh Feminis. Hal ini dikarenakan secara historis, Indonesia telah memiliki nilai tatanan sosial yang emansipatoris. Ini tercermin dalam budaya Jawa yang menempatkan hubungan laki-laki dan perempuan untuk selalu saling melengkapi. Istilah Garwo artinya Sigaraning Nyowo untuk menyebut suami atau istri, yang bermakna “separuh jiwa”. Bahwa suami dan istri itu merupakan satu jiwa dan menyatu. Jika yang satu pergi, yang lain akan kehilangan separuh jiwanya.
Realitas yang sering muncul adalah perempuan tersubordinasi oleh sistem tatanan sosial yang sudah membaku. Padahal tatanan itu merupakan hasil konstruksi masyarakat yang didukung oleh cara-cara tertentu yang menguntungkan salah satu pihak. Selama ini ruang publikk didominasi oleh laki-laki untuk melanggengkan kekuatan modal, agar perempuan pekerja dapat dibayar dengan murah. Hal ini karena perempuan ditempatkan pada posisi bukan sebagai pencari nafkah. Saat ini, sebagian besar perempuan telah menerobos batas cultural yang membelenggunya yng dikenal dengan sebutan 3 M (masak, macak, dan manak). Pemahamann tersebut telah menempatkan perempuan pada ruang marginal, berada pada lingkungan domestik; dapur, sumur dan kasur. Pencapaian perempuan saat ini telah banyak yang melebihi ekspektasi laki-laki karena secara struktural perempuan memiliki kesadaran kemanusiaannya, bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua jenis gender yang tidak berbeda dalam potensi, kemampuan, dan kesempatan.
Jadi, masyarakat Jawa merupakan salah satu cerminan mengenai adanya kesetaraan gender. Di mana dalam budaya Jawa, perempuan dan laki-laki ditempatkan dalam hubungan yang saling melengkapi. Hal ini diwujudkan dari adanya pemahaman terhadap istilah Garwo. Di sini juga ditegaskan bahwa perempuan dan laki-laki juga memiliki potensi, kemampuan, dan kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupannya. Terimakasih, semoga tulisan ini membawa manfaat. Salam … (EN)
*Dr. Hj. Sardjuningsih, M.Ag. Dosen dan Ketua PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) IAIN Kediri.
No comments