ARCA TOTOK KEROT: PENINGGALAN SEJARAH KERAJAAN KEDIRI DAN BUKTI KESAKTIAN SRI AJI JOYOBOYO

0

Setiap daerah pasti memiliki keunikan atau daya tarik sendiri, termasuk desa tempat penulis tinggal. Ya, penulis tinggal di desa Bulupasar, kecamatan Pagu, Kediri. Keunikan ataupun potensi yang menonjol di lingkungan desa penulis adalah terdapat sebuah arca raksasa yang dikenal dengan sebutan Arca Totok Kerot. Apakah kalian pernah mendengar atau mengenal nama Arca Totok Kerot? Mungkin bagi kalian yang belum pernah mendengar, namanya saja sudah terkesan mengerikan dan membuat kalian merinding.

Ya, Arca Totok Kerot merupakan sebuah patung Dwarapala (penjaga gapura) peninggalan dari masa Kerajaan Kediri. Raja yang terkenal dari kerajaan Kediri adalah Sri Aji Joyoboyo. Sosoknya sukses dikenal oleh masyarakat karena kesaktiannya yang hebat melalui ramalan yang disebut dengan Jangka Joyoboyo. Salah satu bukti dari kesaktian tersebut adalah Arca Totok Kerot, Arca Totok Kerot yang tepatnya berada di desa Bulupasar, Pagu, Kediri. Lokasi ini letaknya berdekatan dengan Kantor Kepala Desa Bulupasar yang hanya beberapa meter saja. Kemudian, sisi utaranya berdekatan dengan kawasan Simpang Lima Gumul atau biasa disebut dengan SLG yang berjarak sekitar dua kilometer. Selain itu, Arca Totok Kerot bersebelahan langsung dengan sebuah taman baru yang bernama ‘Taman Totok Kerot’.

Pintu Masuk Area Totok Kerot

Wujud Arca Totok Kerot berupa buto atau raksasa perempuan dengan rambut terurai menjuntai ke belakang. Posisi duduk yang seperti bersimpuh, tetapi satu kakinya tegak, matanya melotot, terdapat hiasan candrakapala di kepalanya berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit. Hiasan tersebut merupakan lambang dari Kerajaan Kediri, serta kalung juga dengan ikon tengkorak. Dan uniknya lagi, satu lengan sebelah kirinya putus. Kemungkinan besar, putusnya lengan tersebut akibat dari pengangkatan arca yang semula berada di dalam tanah. Bagian lengan tangan kirinya masih menjadi misteri hingga sekarang. Belum diketahui pasti bagaimana bentuk asli dari lengan tangan kiri yang telah putus tersebut. Di samping itu, yang menarik untuk diperhatikan adalah gambaran rambut halus yang berada di beberapa bagian tubuh arca seperti dada, siku, dan ketiak. Kemungkinan gambaran ini memberikan kesan maskulinitas pada Arca Totok Kerot.

Lahirnya Totok Kerot sangat berkaitan dengan kesaktian sang Raja Kediri. Pada suatu hari, ada sebuah tempat yaitu Dahanapura yang merupakan ibu kota Kediri ketika itu. Tempat ini sangat tentram, aman, dan damai. Sehingga, tempat ini menjadi impian bagi para pedagang. Dahanapura juga mempunyai tanah yang subur bagi petani serta adanya kenyamanan bagi masyarakatnya.  Hal tersebut menjadikan Dahanapura sebagai tempat kedamaian juga bagi Raja Sri Aji Joyoboyo yang memimpin Kerajaan Kediri secara bijaksana. Dengan sikap sang raja, Kerajaan Kediri selalu dalam keadaan gemah ripah loh jinawi serta masyarakatnya hidup berdampingan secara rukun, aman, tentram, dan damai.

Awal mula cerita yang melekat pada Arca Totok Kerot itu sebenarnya terdapat beberapa versi. Pertama, sang Putri Lodaya ini berkeinginan untuk mengadu kesaktian dengan Prabu Sri Aji Joyoboyo. Dari adu kesakian itu, sang Putri mengalami kekalahan dengan melawan sang raja. Akhirnya, ia dikutuk menjadi patung raksasa. Kedua, nama sang Putri adalah Dewi Surengrana. Putri tersebut bercekcok dengan Dewi Sekartaji. Status Dewi Surengrana dan Dewi Sekartaji adalah istri dari Sri Aji Jayabaya.  Dewi Surengrana memiliki sifat, perilaku, dan watak yang buruk selama hidupnya. Sehingga, orang sekitar menyebutnya Totok Kerot. Sebutan itu berasal dari kata ‘methotok’ atau bersungut-sungut dan kerot’ atau membunyikan giginya. Setelah meninggal, Dewi Surengrana diwujudkan sebagai Arca Totok Kerot.

Versi berikutnya, bahwa terdapat seorang putri cantik yang bernama Putri Lodaya. Ia bermaksud untuk melamar sang Raja Joyoboyo. Akan tetapi, keinginannya tidak terpenuhi, karena adanya penolakan dari sang raja. Akhirnya, sang putri sangat marah. Ia mengutus pasukannya untuk memerangi Kediri dan mengobrak abrik keratonnya. Hal tersebut rupanya menjadikan sang putri gegabah, sebab angkatan perang Kediri kuat dan tersohor sehingga bukan tandingan dari bala tentaranya. Akhirnya, Putri Lodaya mengalami kekalahan. Ketika menjadi tawanan raja dan dihadapkan di depannya, sang putri marah bahkan memaki-maki Raja Joyoboyo. Akibatnya, Raja Joyoboyo murka dan terucaplah suatu kutukan dengan menyebut Putri Lodaya memiliki kelakuan layaknya buto. Seketika berubahlah wujudnya menjadi arca raksasa yang dikenal sebagai Totok Kerot.

Penemuan Arca Totok Kerot menjadikan masyarakat Kediri, khususnya yang berada di sekitar lokasi kejadian beranggapan bahwa Arca Totok Kerot terbenam separuh badan sebab arca tersebut memang besar dan sangat berat. Sehingga, tanah di bawah arca ambruk sebab tidak kuat menopang beratnya. Realitanya, Arca Totok Kerot bukan tenggelam kelebihan berat badan melainkan penggalian yang tidak dilanjutkan. Di sisi lain, masih terdapat cerita bahkan yang lebih menghebohkan yaitu sebuah Arca Totok Kerot pernah dipindahkan dari desa Bulupasar untuk selanjutnya diletakkan di Alun-Alun Kota Kediri. Akan tetapi, dalam waktu semalam, arca tersebut tidak merasa betah akan tempat barunya. Alhasil, Arca Totok Kerot menyusun sebuah rencana besar guna dapat melarikan diri dari tempat barunya. Anehnya lagi, ketika tengah malam tiba, berkumpullah dua ekor gajah dan tujuh ekor sapi di Alun-Alun Kediri. Dalam ceritanya, kesembilan hewan tersebut menarik Arca Totok Kerot untuk pulang kampung atau kembali pada tempat asalnya yaitu di desa Bulupasar. Akibat dari Arca Totok Kerot yang sangat berat, hanya sekitar beberapa meter saja, kesembilan hewan tersebut merasakan lelah dan menyerah sehingga hewan tersebut mati karena kecapekan. Tibalah waktu pagi, terdapat seseorang yang melihat bahwa Arca Totok Kerot telah berpindah tempat lalu terdapat pula hewan-hewan tersebut dengan kondisi tak bernyawa. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mengembalikannya ke kampung halamannya. Cerita ini pun mulai dipercaya sekitar tahun 1980 an. Salam … (EN)

Biografi Penulis

Shinta Belia Prabandari

Shinta Belia Prabandari seorang mahasiswi program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Selain sibuk di dunia perkuliahan, penulis juga aktif dalam Aktif dalam Organisasi Remaja Masjid At-Thoyyibin.  Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat mengubungi e-mail shinbelia28@gmail.com

REFERENSI

Wahyudi, Deny Yudo & Slamet Sujud Purnawan Jati. (2018). Arca Dwarapala Raksasa Gaya Seni Kadiri, Singasari, & Majapahit. Sejarah dan Budaya. 12 (2).

Leny Wahyuni. (2017). Hubungan Harmoni Manusia dengan Alam dalam Sastra Lisan di Kediri (Model Kajian Sastra Pastoral). Skripsi. Universitas Brawijaya.

About author

No comments