INTERNALISASI METODE BAYANI DALAM PENDIDIKAN MADRASAH DINIYAH AL-MUBAROK

0

Dewasa ini, kemajuan teknologi dan informasi tidak hanya membawa dampak positif. Munculnya dampak negatif turut serta mempengaruhi stabilitas kehidupan masyarakat, terutama generasi muda. Lemahnya religiusitas menjadi permasalahan yang tampak dalam masyarakat. Penggunaan narkoba, pelecehan seksual, pergaulan bebas, dan perkelahian massa yang sering muncul dalam berita massa merupakan bukti nyata rendahnya religiusitas dan merosotnya moral generasi muda. Dalam lingkungan yang paling sederhana, yaitu pada lingkungan masyarakat kita dapat mengamati kemerosotan akhlak yang ditunjukkan seperti tidak menerapkan adab kesopanan kepada orang yang lebih tua, berbicara kotor, anak yang membangkang dari aturan orang tua dan guru, dan lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut memicu timbulnya kecemasan masyarakat, terutama para orang tua. Dari sini, maka timbul pertanyaan mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk memperbaiki moral generasi muda? Serta bagaimana peran pendidikan untuk mengajarkan moral kepada anak?

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menjadi sekolah pertama bagi setiap individu. Pondasi pendidikan moral, penanaman akidah, pemahaman mengenai tanggung jawab, serta bekal dasar lainnya seharusnya sudah ditanamkan dan dibentuk dalam pendidikan keluarga, dengan orang tua sebagai gurunya. Ketika orang tua telah berhasil menanamkan pelajaran-pelajaran dasar bagi anak, maka di luar lingkungan keluarga, anak bertanggung jawab untuk mengasah dan mengembangkan ilmu dasar yang ia peroleh dari keluarga. Namun, dari sini muncul permasalahan lain, yaitu ketidakcakapan atau kurangnya pengetahuan orang tua sehingga tidak dapat memberikan bekal pengetahuan dasar kepada anak. Untuk itu, orang tua berusaha mencarikan sekolah kedua bagi anak sebagai tempat untuk mengasah dan mengembangkan ilmu. Tak jarang dijumpai para orang tua yang rela mengeluarkan banyak biaya supaya dapat menyekolahkan anaknya di tempat yang menurutnya baik. Hal ini dapat dimaklumi, karena kebutuhan ilmu dan upaya mencari kebenaran dalam hidup merupakan fitrah manusia.

Pada dasarnya, manusia merupakan homoeducandus, yaitu makhluk yang dapat dididik dan mendidik, serta dapat dipengaruhi dan mempengaruhi. Proses belajar ini dapat dilakukan melalui pendidikan, yaitu upaya mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki sekaligus sebagai usaha internalisasi nilai-nilai yang ada dalam lingkungan. Guru merupakan sumber pengetahuan yang hidup bagi anak. Oleh karea itu, seorang guru harus mampu memahami kebutuhan ilmu dari siswanya, sekaligus memberikan gambaran ideal bagi penerapan pengetahuan. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro telah membuat tiga semboyan pendidikan yang menjadi pedoman bagi guru untuk mengajar siswa, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, yang artinya “Di depan menjadi panutan, di tengah membangun niat, di belakang memberikan semangat”. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang guru, melalui pendidikan harus dapat mengarahkan siswa menuju pada kemerdekaan secara lahir dan batin.

Meninjau ulang permasalahan-permasalahan generasi muda akibat lemahnya religiusitas, maka pendidikan bukan hanya yang mengajarkan tentang pengetahuan. Namun, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak kepada anak. Menurut Adimassana, implikasi dari sistem pendidikan sekolah yang dikelola oleh pemerintah (baca: Depdiknas) kurang menunmbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek rohani) yang menjadi motor penggerak perkembangan peserta didik ke arah hidup yang lebih manusiawi.  Seluruh jenis pendidikan pada setiap jenjang, kecuali pendidikan keagamaan, lebih mementingkan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif seperti kecerdasan emosional (Emotional Quotien: EQ) dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value system) sangat diabaikan. Sedangkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual (Intellectual Quotien: IQ) hanya berkontribusi 20% terhadap keberhasilan, sedangkan 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ).

Bahkan, menurut Ari Ginanjar Agustian, IQ dan EQ saja belum cukup untuk membuat seseorang benar-benar sukses, ada nilai-nilai yang harus diperhatikan keberadaannya, yaitu kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient: SQ). Dalam Islam, kita mengenal konsep pendidikan agama yang merupakan proses, upaya, serta cara transformasi ajaran-ajaran Islam agar dapat menjadi rujukan dan pandangan hidup bagi manusia. Internalisasi ajaran-ajaran Islam dalam pendidikan dapat diwujudkan salah satunya melalui sekolah keagamaan. Pendidikan agama tidak hanya didapatkan dalam sekolah formal saja, tetapi bisa diperoleh dari lembaga nonformal atau infornal. Karena, tidak jarang orang merasa kurang dengan pendidikan keagamaan di sekolah formal, sehingga lembaga pendidikan nonformal menjadi alternatif dalam memberikan pendidikan kepada anak.

Madrasah Diniyah, hadir sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam nonformal yang berupaya untuk menanamkan pemahaman ajaran-ajaran Islam dan membangun moral anak. Madrasah Diniyah tidak hanya mengajarakan agar anak berperilaku selaras dengan Islam, tetapi juga mengajarkan anak untuk berperilaku selaras dengan alam, karena Islam merupakan agama fitrah yang sesuai dengan hukum alam. Madrasah Diniyah memiliki pengaruh yang signifikan atas peningkatan kualitas agama anak dan peranan dalam membentuk religiusitas, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Di era sekarang, Madrasah Diniyah telah mengikuti perkembangan pendidikan Islam dengan melakukan manajemen kurikulum, perencanaan program, pembangunan gedung, dan perkembangan lainnya.

Madrasah Diniyah Al-Mubarok adalah lembaga pendidikan Islam nonformal yang berada di Dusun Manukan Desa Jabon Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri. Madrasah ini berdiri di samping Masjid Al-Mubarok Manukan. Dalam perkembangannya, madrasah ini telah berhasil menarik perhatian masyarakat dalam menyelenggarakan proses pendidikan yang berbasis keagamaan. Kurikulum yang digunakan telah disesuaikan dengan kurikulum pondok pesantren yang berbasis Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Pelajaran-pelajaran yang diajarkan mencakup enam tema besar, yaitu Bahasa Arab, Akhlak, Tauhid, Tarekh atau Sejarah, Tajwid, dan Fiqih. Sistem pendidikan yang diselenggarakan memiliki tiga jenjang pendidikan, yaitu Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) untuk anak-anak yang berusia 3-6 tahun; Madrasah Diniyah untuk anak-anak yang berusia 7-12 tahun atau setara dengan tingkat Sekolah Dasar; dan Madrasah Tsanawiyah untuk usia 12-15 tahun atau setara dengan tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Dalam proses belajar dan mengajar, para guru menggunakan kitab-kitab para ulama sebagai pedoman dasar. Kitab-kitab yang digunakan ini disesuaikan dengan tingkatan pada jenjang pendidikan. Dalam pembelajaran, guru mengajarkan cara menulis pegon kepada para murid, karena kitab-kitab yang digunakan diajarkan dengan cara memaknai tulisan-tulisan arab dengan huruf pegon. Dalam metode berpikir Islam, terdapat salah satu jenis epistemologi yaitu epistemologi bayani. Bayani berarti pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’, dan ijtihad. Nalar berpikir bayani menempatkan teks atau wahyu sebagai kebenaran mutlak. Adapun akal merupakan sumber pengetahuan sekunder yang tugasnya untuk menjelaskan teks yang ada. Ilmu bayani pada masa kodifikasi telah menghegemoni wacana keilmuan Arab Islam yang di dalamnya telah melahirkan banyak karya fiqih yang dihasilkan oleh imam madzhab empat. Secara historis, epistemologi bayani sangat dominan dengan ilmu-ilmu fiqih, al-Qur’an, kalam, dan teori non filsafat.

Tujuan dari pendekatan bayani adalah untuk memahami dan menganalisa teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam lafadz, serta melakukan istinbath hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur’an. Epistemologi bayani menjadi fase dasar dan pemula dalam pendidikan, sehingga pendidik dalam epistemologi bayani merupakan orang dewasa yang secara dominan menjadi pusat ilmu, atau kita bisa menyebutnya dengan teacher centered. Peserta didik merupakan anak-anak yang masih kosong dari ilmu pengetahuan sehingga membutuhkan bimbingan paling dasar yang perlu dilakukan secara efektif dan intensif. Kurikulum yang digunakan pada nalar bayani merupakan kurikulum dasar yang berisi penanaman dasar-dasar akidah dan nilai-nilai kebenaran. Tujuan pendidikan melalui perspektif bayani adalah menanamkan sikap disiplin, sikap jujur, serta cara berpikir tingkat dasar. Adapun, metode yang digunakan adalah hafalan dan latihan secara intensif.

Madrasah Diniyah Al-Mubarok, pada prakteknya telah menunjukkan adanya pengaplikasian nilai-nilai berpikir bayani. Dalam proses belajar setiap harinya, siswa diberikan satu pelajaran yang dapat digunakan untuk hafalan. Pada setiap minggunya, hafalan siswa harus bertambah, hingga pada akhir semester siswa telah berhasil menghafalkan isi dari pelajaran tersebut. Untuk mewujudkan hal tersebut, pihak madrasah membuat sistem lalaran, yaitu kegiatan menghafalkan pelajaran dalam jumlah tertentu sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai. Kegiatan ini bertujuan untuk melatih siswa agar memiliki daya ingat yang kuat. Kemudian, pada akhir semester sebelum diadakan imtihan atau ujian, setiap siswa diharuskan menyetorkan hafalannya kepada guru. Tuntasnya hafalan menjadi syarat siswa untuk dapat mengikuti ujian.

Usai pelaksanaan ujian, diadakan kegiatan ‘Muchafadhoh Keliling’. Muchafadhoh keliling merupakan pawai santri mengelilingi desa dengan berjalan kaki sambil melantunkan nazhoman yang ia hafal. Pesertanya terdiri dari santri kelas TPQ dan tingkat Madrasah Diniyah. Pada kegiatan ini, santri dikelompokkan berdasarkan jenjang kelas, kemudian berlomba dengan konsep yang kreatif, inovatif, serta tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan. Setelah siswa mengelilingi desa, mereka diberhentikan pada satu titik lokasi untuk bersama-sama memeriahkan acara dengan tampilan-tampilan, seperti tampilan grub sholawat, pembacaan pidato dan puisi, lantunan qiroah, dan tampilan-tampilan lainnya. Tujuan dari muchafadhoh keliling adalah untuk meninjau ulang hafalan santri, sebagai bentuk penyegaran setelah ujian, serta salah satu metode dakwah kepada masyarakat, agar masyarakat tertarik untuk mendaftarkan putra putrinya bersekolah di madrasah.

Program lain dari pengembangan kurikulum madrasah adalah kegiatan ‘Musyawarah Kubro’. Basis dari kegiatan ini adalah berdiskusi mengenai isu-isu aktual seputar keagamaan. Peserta dari kegiatan ini adalah santri madrasah mulai dari kelas 4 Madrasah Ibtida’iyah, tingkat tsanawiyah, dan alumni yang baru lulus dua tahun dari madrasah tersebut. Para guru diposisikan sebagai pendamping pada setiap kelas. Adapun peserta musyawarah, dibagi menjadi satu kelas sebagai narasumber yang bertugas menyajikan materi sesuai tema, satu orang sebagai moderator yang bertugas memimpin jalannya proses musyawarah, serta kepala sekolah sebagai Rais atau penengah materi. Setelah narasumber memaparkan materinya, para peserta diperbolehkan bertanya atau menyanggah materi dari narasumber. Semua materi dan jawaban harus didasarkan pada sumber-sumber nash atau kitab-kitab para ulama. Sehingga, semua jawaban dan argumen memiliki landasan yang kuat.

 Dengan demikian, Madrasah Diniyah Al-Mubarok menerapkan nalar berpikir bayani yang menggunakan nash, ijma’, dan ijtihad ulama sebagai sumber pengetahuan yang utama. Hal ini tampak melalui berbagai program kurikulum dan konsep yang diterapkan pada madrasah. Nalar bayani terbukti efektif diterapkan dalam proses pendidikan dasar, pendidikan untuk mengajarkan kepada anak-anak mengenai ajaran-ajaran Islam. Yang mana, guru diposisikan sebagai sentral ilmu pengetahuan bagi siswa. (EN)

Profil Penulis

*Nuril Alvin Khoirur Rabaika

Seorang mahasiswi dari program studi Psikologi Islam semester enam di IAIN Kediri. Selain sibuk dengan dunia perkuliahan, penulis juga menjadi “Relawan Nusantara Rumah Zakat Kediri”. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis, dapat menghubungi e-mail pribadinya nurilalvin77@gmail.com

About author

No comments