UMKM MERINTIH DI TENGAH HIMPITAN PANDEMI COVID-19, PERBANKAN SYARIAH BISA APA???

0

Akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan bertamunya virus baru yang membuat kekacauan di dunia. Hampir seluruh aspek kehidupan di setiap negara carut marut karena mengalami penurunan yang signifikan mulai dari kesehatan, perekonomian, pendidikan hingga aspek kehidupan sehari-hari. Virus baru tersebut dikenal dengan sebutan virus corona ataupun Covid-19. Virus ini pertama kali ditemukan di negara adidaya China.

Covid-19 adalah virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) bahwa coronaviruses (CoV) merupakan virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Virus ini menyebabkan flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Sindrom Pernapasan  Timur Tengah (MERS-CoV) dan Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS-CoV).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan mengenai  perkembangan kasus Covid-19. Kasus ini ditemukan di Wuhan yang berawal pada tanggal 30 Desember 2019 saat Wuhan Municipal Health Committee mengeluarkan pernyataan “Urgent notice on the treatment of pneumonia of unknow cause”. Penyebaran virus corona ini begitu cepat hingga membuat kewalahan di setiap negara. Hingga saat ini telah tercatat 193 negara yang mengkonfirmasi terkena Covid-19.

Perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia pertama kali terdeteksi pada tanggal 2 Maret 2020. Ada dua orang terkonfirmasi positif akibat tertular dari seorang warga negara Jepang. Sejak saat itu pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut diantaranya anjuran memakai masker, sering mencuci tangan pakai sabun, penerapan social distancing, hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menutup tempat wisata dengan maksud memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Penutupan tempat wisata bagaikan simalakama. Di satu sisi untuk mencegah penyebaran Covid-19, di satu sisi membuat perekonomian warga yang menggantungkan hidupnya pada sektor wisata mandeg. Seperti halnya di kampung halaman penulis, tepatnya di desa Bulupasar, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri. Masyarakat setempat mayoritas merupakan pelaku UMKM yang menjajakan dagangannya di Simpang Lima Gumul (SLG). Akan tetapi di masa pandemi Covid-19 ini SLG ditutup, di mana hal ini mengakibatkan pelaku UMKM tidak ada tempat lagi untuk menjajakan dagangannya.  Perekonomian wargapun kian sulit dan membuat UMKM merintih.

Menengok pada krisis moneter pada tahun 1998, tatkala perusahaan skala besar banyak yang tumbang, sebaliknya sektor UMKM tampil sebagai penyelamat dan mampu menopang perekonomian nasional. Ketangguhan UMKM kala itu mampu membawa perekonomian nasional selamat dari krisis dan perlahan tapi pasti perekonomian bangkit dan pulih kembali. UMKM saat itu mampu menggerakkan ekonomi akar rumput dan menjaga daya beli masyarakat. Namun kini kondisinya jauh berbeda  saat pandemi Covid-19 19 melanda bangsa Indonesia. UMKM lumpuh, tak lagi tangguh, tak lagi mampu menopang perekonomian nasional.

Tidak adanya pendapatan tentu saja mempengaruhi kelangsungan usaha maupun kehidupan sehari-hari pelaku UMKM. Belum lagi yang berhubungan dengan aspek finansial sebagai sumber modal yang terimbas, misalnya pada aspek pengembalian kredit atau pinjaman.

Dalam menjalankan roda usahanya banyak pelaku UMKM yang memanfaatkan fasilitas pembiayaan oleh pihak bank melalui fasilitas kredit. Kredit diberikan dalam rangka menunjang operasional dunia usaha demi mencapai produktifitas usaha. Fasilitas kredit tentunya dimanfaatkan oleh pebisnis sebagai suntikan modal dan insentif untuk membantu pebisnis meningkatkan kapasitas produksinya hingga membantu memperluas jaringan usaha. Pada praktiknya, dalam memanfaatkan fasilitas kredit, antara bank dengan pelaku usaha membuat perjanjian kredit sebagai dasar kesepakatan kedua belah pihak. Pihak bank selaku kreditur berkewajiban menyalurkan kredit sesuai nilai dan mekanisme yang disepakati sedangkan pebisnis selaku debitur berkewajiban mengembalikan nilai kredit beserta bagi hasil sesuai jadwal pembayaran yang telah disepakati.

Namun, pandemi telah sangat  mempengaruhi kinerja di dunia usaha. Di mana mengakibatkan terganggunya proses pengembalian kredit yang dipinjamkan bank kepada pebisnis. Banyak pelaku usaha kesulitan melakukan pembayaran kredit ke bank akibat dari menurunnya tingkat pendapatan mereka, bahkan tidak sedikit yang mengalami defisit.

Lalu, bagaimana strategi perbankan syariah dalam menghadapi permasalahan ini?

Penyebaran Covid-19 telah membawa tantangan dan risiko baru. Wabah ini juga mengganggu aktivitas ekonomi di banyak negara dan telah mendorong pergerakan signifikan di pasar keuangan. Hal tersebut juga dirasakan oleh perbankan di Indonesia. Perbankan akan mengalami kendala penurunan disebabkan penyebaran covid 19 yang sudah mewabah di berbagai daerah. Beberapa kota besar khususnya, telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengurangi penyebaran virus ini. Imbasnya, banyak sekali kantor, toko, dan pabrik yang harus memberlakukan pekerjaan dari rumah (work from home) atau bahkan betul-betul berhenti beroperasi sementara waktu. Sehingga menyebabkan perlambatan pertumbuhan kredit dan berujung pada menurunnya tingkat profitabilitas industri perbankan.

Akibat pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai relaksasi kredit selama satu tahun untuk mengantisipasi  melemahnya ekonomi. Guna mendukung kebijakan baru pemerintah, OJK menerbitkan peraturan untuk memberikan relaksasi terhadap nasabah perbankan, termasuk perbankan syariah di dalamnya yaitu kemudahan proses restructuring dan rescheduling untuk nasabah yang terkena dampak penyebaran Covid-19, khususnya nasabah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ataupun non-UMKM yang memiliki pembiayaan di bawah 10 miliar yang berlaku 1  tahun ke depan tergantung kebijakan dari masing-masing bank syariah. Khususnya nasabah yang berkaitan langsung dengan sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan dan pertambangan.

Pada sisi penyaluran kredit, bank syariah ataupun bank konvensional akan sama-sama mengalami perlambatan. Ini terjadi karena permintaan dari pelaku usaha maupun perusahaan sangat rendah. Bank syariah dalam operasionalnya mengharamkan bunga (riba) dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Besarnya ratio bagi hasil ini ditentukan di awal akad dan akan dijalankan hingga akad selesai berbeda dengan bank konvensional di mana suku bunga di bank konvensional bisa berubah sesuai dengan suku bunga Bank Indonesia.

Sistem bagi hasil inilah yang menjadi keunggulan di bank syariah terhadap bank konvensional karena dengan adanya sistem bagi hasil kondisi keuangan bank syariah akan lebih elastis karena tidak tergantung pada bunga. Besaran laba bank syariah bergantung pada keuntungan yang didapat dari pihak bank, di mana akan meningkat seiring peningkatan keuntungan bank syariah tersebut. Jadi, dalam kondisi bagus bank syariah memperoleh keuntungan yang besar sebab usaha nasabah pun bagus, nasabah penyimpan dana juga akan mendapatkan keuntungan yang besar karena menggunakan sistem bagi hasil. Namun dalam kondisi kurang bagus seperti di tengah pandemi Covid-19 saat ini, ketika keuntungan usaha nasabah mengalami penurunan maka besaran kewajiban bank syariah dalam memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana juga mengalami penurunan.

Perbankan syariah harus mulai merevisi kembali strategi- strategi yang mereka jalankan dan merencanakan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari apabila virus ini memakan waktu yang berkepanjangan. Perbankan syariah juga diharapkan mampu memberikan solusi-solusi terbaik, sehingga nasabah yang terkena dampak terhadap virus ini bisa merasakan kehadiran bank yang sesuai syariahbsebagai solusi dalam menangani krisis perekonomian. Salam… (EN)

Destya Naya Febrianingrum*

Destya Naya Febrianingrum*

*Destya Naya Febrianingrum, Mahassiwa aktif Perbankan Syari’ah IAIN-Kediri

About author

No comments