PENSI (PENGGERAK TOLERANSI): EDUKASI SOLUTIF KASUS FANATISME AGAMIS DAN DISTINGSI PANCASILAIS BERBASIS MEDIA SOSIAL SEBAGAI IMPLEMENTASI KONSEP WASHATIYAH

0

Seperti yang diketahui bahwa Indonesia sebagai negara memiliki penduduk muslim terbesar di dunia menjadi sorotan penting dunia dalam hal moderasi beragama. Moderasi adalah inti dari agama Islam. Islam moderat adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks keberagaman dalam segala aspek baik agama, adat istiadat, suku, dan bangsa itu sendiri. Heterogenitas atau kemajemukan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Ini merupakan sunatullah yang dapat dilihat. Allah menciptakan alam ini di atas heterogenitas kesatuan manusia kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam menghadapi masyarakat majemuk ternyata hal yang paling ampuh mengatur agar tidak terjadi adanya radikalisme adalah pendidikan Islam yang moderat. Islam moderat (washatiyah) termasuk juga berasal dari dua kata yaitu Islam dan washatiyah. Islam sendiri diketahui sebagai agama yang penuh dengan keberkahan dibawa Nabi Muhammad Saw. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia sampai sekarang ini. Pada dataran praktisnya atau jalan praktisnya, wujud moderat dapat diklasifikasian dalam empat wilayah yakni moderat dalam akidah, ibadah, permasalahan perangai dan budi pekerti, permasalahan tasyri’ (pembentukan syari’ah). Lantas, bagaimana cara deradikalisasi dan mencegah terorisme? Sekarang ditambah lagi dengan bagaimana cara meneguhkan Islam washatiyah dan Pancasila di tengah mewabahnya virus khilafah dan pandemi covid-19.

Untuk menjawab persoalan yang menyangkut hal kemajemukan, baru-baru ini kasus yang krusial untuk diperbincangkan ialah distingsi pancasilais yang merupakan anggapan bahwa Pancasila harus berkembang tidak (boleh) lagi hanya menjadi sekedar ideologi politik negara. Paradigma ini muncul atas dasar rasa spiritualitas Pancasila dari basis Keilahian masing-masing pemeluk agama. Kedua, utopisme intoleransi melahirkan radikalisasi yang selanjutnya menimbulkan reaksi. (Alamsyah, 2018, 134). Ketiga, hadirnya gerakan egosentris individu-kelompok yang berimplikasi pada sikap fanatisme buta dan memicu kebencian sesama.

Berangkat dari uraian di atas, perlu adanya bahasan mengenai bagaimana reaktualisasi antara teks dan konteks paradigma toleransi dari kacamata masyarakat berbasis era disrupsi, tinjauan moderasi beragama dan pancasila, serta tindakan solutif bukan sekadar mengevaluasi dengan kacamata konsep washatiyah. Problematika demikian bukan perkara simplistik yang mudah terselesaikan. Oleh karena itu, dibutuhkannya suatu alat kontrol guna mengatur tatanan masyarakat. Di dalam hal  ini, bisa dilihat bahwa agama telah memberikan implementasi bagus tentang bagaimana tatanan masyarakat dalam identitas sosial tetap teguh. Istilahnya, reifikasi agama mampu memeluk ‘disrupsi’ tanpa meninggalkan nilai-nilai keluhuran, akhlak, dan welas asih, bakal membedakan pengabdi ‘buta’ dan pemeluk bernilai ‘tinggi’. Namun, kiranya nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan Pancasila lebih tereduksi.

Pendidikan pancasila berbasis teknologi sebagai aspek penting sebagai teorema edukasi agar manusia tidak kehilangan moral serta dapat mempererat segala perbedaan yang terjadi di masyarakat. Sehingga toleransi pun muncul di tengah-tengah problematika yang kian signifikan. (Ulya, 2016, 23) Paradigma tersebut selaras dengan perspektif masyarakat washatiyah yakni egalitarianisme, penghargaan bagi orang lain berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, ras, dan sejenisnya), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, penegakan hukum dan keadilan, toleransi, dan pluralisme, serta prinsip musyawarah.

Di dalam platform media sosial atau teknologi tersebut, influencer harus memberikan dogma yang berkorelasi dengan pancasila. Salah satunya ialah mengontektualisasikan ajaran Rasulullah dalam mendengki karena setiap hamba Allah adalah saudara. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab adab no. 5606 dan kitab fara’idh no. 6229. Hadis ini mengandung banyak larangan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat meretakkan ukhuwah sehingga dapat tercipta ketentraman dalam masyarakat. Hadis ini juga dapat ditemukan dalam Sunan Abu Daud kitab adab no. 4271, Musnad Ahmad bab musnad Abu Hurairah no. 9620, 9861, 9698, 9979, 10149, 8148, 7770, 7520, 7035, 10283, 10527, Muwattho’ Malik kitab lain-lain no. 1412, Shahih Muslim kitab berbuat baik no. 4646 dan Sunan Tirmidzi kitab berbakti dan menyambung silaturrahim no. 1911.

Hal di atas dimaksudkan agar generasi muda yang tidak hanya memiliki kualitas intelektual yang tinggi, kepribadian yang tangguh, kreatifitas dan keterampilan yang memadai. Namun, juga harus memiliki akhlak dan budi pekerti serta iman yang kokoh dan kuat sehingga upaya dalam mewujudkan masyarakat madani serta survive menghadapi berbagai tantangan yang semakin tidak terkendali. Goals dari program tersebut yakni masyarakat dapat mengajarkan hak dan kewajiban sebagai bagian dari jiwa pancasila serta perintah bergotong royong dalam menyelesaikan masalah di masyarakat. Ketika nilai-nilai akhlak sosial ini terwujud, maka di situlah muncul masyarakat ideal yang disebut sebagai masyarakat madani yang mumpuni untuk menangkal problem fanatisme dan intoleransi. (Khanif, 2017, 81)

Di samping itu, di dalam media sosial baik platform chatting sampai caption dalam konten ditambah pemahaman perihal arti washatiyah. Moderatisme Islam yang sesuai dengan misi Rasulullah Saw maka, diperlukan sikap anti kekerasan, memhami perbedaan yang ada di masyarakat, mengutamakan konstekstualisasi dalam memahami ayat ilahiyah, menggunakan istinbath dalam pesoalan saat ini, serta menggunakan pendeketan sains dalam mengatasi dinamika persoalan di masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif. Menurut Quraish Shihab, bahwa konsep Islam sikap inklusif merupakan tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif dalam kegiatan tersebut. Sikap inkluisifime dalam Islam dapat dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keberagaman ruang dan pemikiran, pemahaman dan juga persepsi keislaman.

Adapun implementasi yang bisa diterapkan dari penanaman washatiyah di antaranya tawasuth atau mengambil jalan tengah (pengamalan yang tidak effort atau berlebih lebihan dalam beragamadan tafrid atau mengurangi ajaran agama), tawazyn atau berkesimbangan (pemahaman secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrowi secara tegas dapat membedakan inhira’  atau penyimpangan dan iktilah/perbedaan, i’tidal yaitu lurus dan tegas (menempatkan sesuatu pada tempatnya), tasmuh atau toleransi yaitu menghormati segala aspek baik dalam aspek perbedaan kegamaan maupun dan berbagai aspek kehidupan lainnya, aspek egaliter atau musawah yaitu tidak bersikap diskriminatif atau yang lan disebabkan karena perbedaan keyakinan atau tradisi atau asal usul seseorang, syura’ untuk mencapai mufakat dengan menempatkan kemaslahatan di atas segalanya, Islah atau reformasi yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai yang lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan bekerja pada kemaslatan umum dengan berpegang pada prinsip al muhafadzah ‘ala al qodimi al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas) yaitu kemampuan mengidentifikasi hal yang lebih penting harus diutamakan untuk diterapkan dibadingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah, tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif) selalu terbuka melakukan perubahan-perubahan ke arah lebih baik.

Sekarang mari kita melihat dalil Qur’an tentang wujud washatiyah yakni QS. Al Maidah: 2 “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertkwalah kamu kepada Allah, sesungguhny Allah amat berat siksa-nya.”. Makna ayat tersebut adalah tolong menolong dalam Bahasa Arabnya adalah ta’awun. Sedangkan, menurut istilah pengertian ta’awun adalah sifat tolong menolong di antara sesama manusia dalam hal kebaikan dan takwa. Eksplorasi tafsir maqashidi yakni dalam QS. al Maidah ayat [5] 2, ayat tersebut menjelaskan bahwa tolong menolong dalam kebaikan adalah salah satu kewajiban umat Muslim. Artinya, seandainya kita harus tolong menolong orang lain, maka harus dipastikan bahwa pertolongan itu menyangkut ketakwaan. Saling menolong juga menyangkut berbagai hal, asalkan berupa kebaikan, walaupun yang meminta tolong musuh kita. Dengan saling tolong menolong akan memudahkan pekerjaan, mempercepat terealisasinya kebaikan, menampakkan persatuan dan kesatuan. Dan sikap tersebut termasuk dalam kategori hiftzh nad (menjaga keturunan generasi). Sementara itu kontekstualisasi makna yaitu ada dua konsep ta’awun yang dijelaskan dalam teks ayat tersebut di atas yaitu pertam, saling membantu dalam kebaikan dan takwa. Kedua, saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Ta’awun dalam model pertama yang sangat dianjurkan. Sementara, model kedua adlah sangat tidak dianjurkan bahkan dilarang. Pada teks di atas disebutkan kata kerja (fi’il) perintah, ta’aawanu tanpa menyebutkan siapa pelakunya (fa’il) yang membantu dan siapa yang harus dibantu, atau siapa objek yang akan dibantu (maful). Hal ini menandakan bahwa seorang yang beriman haruslah memiliki jiwa untuk sling tolong menolong dan memberi bantuan dengan sungguh-sungguh dan siapa yang ditolong tanpa melihat aksesoris yang melekat pada diri seseorang, baik gelar, jabatan, harta, ataupun status seseorang.

Di era teknologi, bisa diaktualisasikan dengan gampang. Namun, jika konteksnya untuk mengatasi kefundamentalan, jangan berdiskusi dengan orang yang dapat dikalahkan argumentasinya tapi tidak dapat mengalahkan kepala batunya. Washatiyyah seperti yang dikatakan Quraish Shihab, bukan persoalan orang per orang, tapi merupakan urusan dan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat. Kelompok ekstrem dan lawannya telah menampakkan wajahnya dengan dalih dalih agama yang penafsirannya sangat jauh dari hakikat Islam. Semua pihak mengakui moderasi, namun apa makna tujuan dan bagaimana menerapkannya serta mewujudkannya tidak jarang kabur. Moderasi beragama dapat dipahami melalui pengetahuan agama dan pengetahuan kondisi yang lain. Bisa jadi konsep washatiyah di negara Indonesia berbeda denga negara lain. Prinsipnya tetap Ketuhanan yang maha esa. Sekali lagi, kunci washatiyah ada dua yaitu jangan emosi beragama dan pengetahuan. Jangan persoalkan perbedaan. Penanaman ini menjadi penting lagi seandainya bagaimana penerapan moderasi dalam keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda dan ketidakpahaman batas toleransi kita terhadap keberagaman beragama.

Melalui teknologi dan atmosfer era kini, memang butuh kesegaran baru dalam nuansa dakwah untuk memfilter berbagai arus tantangan dalam dunia hiburan. Dimulai dari dakwah bil lisan (dakwah dengan perkataan), dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan/keteladanan), dan dakwah bil kitabah (dakwah dengan tulisan). Ibarat konsep Al-Hanafiyyah Al-Samhah, toleransi antar umat beragama di Indonesia. Nabi Muhammad Saw menamai Islam sebagai moderasi diartikan sebagai ajaran yang lurus namun tetap mencari kebenaran dengan lapang dada.

Kehidupan yang serasi, damai, dan harmonis merupakan dambaan setiap manusia. manusia sebagai makhluk sosial sulit mencapai keharmonisan dalam bermasyarakat jika secara individu menafikan etika sosial antarsesama. Perilaku poistif untuk membangun masyarakat yang harmonis di antarannya adalah saling peduli dan tolong menolong. Tanggung jawab manusia sebagai makhluk dalam konsep Islam salah satunya adalah dengan berta’awun sesama manusia. dalam moderasi beragama, sikap tolong menolong harus ikhlas tanpa dibatasi suku, agama, dan status sosial. Karena sikap tersebut merupakan perwujudan dalam memperkokoh ukhuwah umat. (EN)

REFERENSI

Alamsyah, M. Djafar. (In) Toleransi! -Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2018.

Khanif, Al. Pancasila dalam Pusaran Globalisasi. Jakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2017.

Ulya, Inayatul, dan Ahmad Afnan Anshori. “Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konfilk Agama di Indonesia.” Ilmu Aqidah dan Studi Agama 4, no. 1 (2016): 23.

BIOGRAFI PENULIS

Dewi Trisna Wati

Dewi Trisna Wati adalah pemikir muda yang sudah menghasilkan karya tulis di berbagai media dan juga beberapa antologi bertaraf nasional, dia adalah mahasiswa aktif PAI IAIN Kediri. (email: dewitrisnawati135@gmail.com).

About author

No comments

KENAPA TAKUT MENJADI MAHASANTRI?

Mahasiswa adalah mereka yang melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Menyandang gelar mahasiswa berarti bersiap untuk menuju kedewasaan baik secara keilmuan maupun keorganisasian. Ketika di ...