“Agama dan kebudayaan?” Bukanlah hal yang asing bagi kedua telinga ini. Seringkali kita mendengar dua kosa kata ini diperbincangkan oleh lisan. Dua kosa kata yang tak hanya sekali berjalan berdampingan dan selalu dipadupadankan. Ini menunjukkan bahwa ada relasi diantara mereka. Padahal jika ditelisik, agama dan kebudayaan adalah hal yang berbeda. Agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan, sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi yang kuat.
Relasi antara agama dan kebudayaan menurut pandangan penulis yaitu agama menyebarkan ajarannya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai dengan ajarannya Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, dan sebagainya
Adanya relasi antara agama dan kebudayaan diperkuat oleh salah satu argumen budayawan bangsa ini, Didik Nini Towok. Lemah gemulainya tubuh dengan siblakan sampur oleh jemari lentiknya saat pentas di Universitas Brawijaya Malang begitu memesona. Selepas menari, beliau mengatakan, “Kesenian terutama tarian di Nusantara dipengaruhi oleh agama. Seperti tarian Bali dipengaruhi oleh agama Hindu, tarian Jawa dipengaruhi oleh Kejawen, dan tarian Aceh dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga para penari harus mengikuti tata cara dan adab menari” (Widianto, Eko. 2016. Seni Budaya Nusantara Dipengaruhi Agama. Terakota.id). Hal ini menegaskan bahwa agama mampu memengaruhi budaya yang ada.
Penulis sendiri juga merupakan seorang pecinta budaya yang mana sejak zaman sekolah dasar sudah bergelut di bidang tari (penari tradisional). Jadi, sedikit banyak merasakan suka suka saat agama dan budaya dipersandingkan. Ada yang pro dan kontra menanggapi budaya yang ada dan dikaitkan dengan ajaran agama. Misalkan, saat penari berkostum terbuka, seperti memakai kemben, jarik, dan bersanggul yang sejatinya ini adalah budaya cara berpakai masyarakat Jawa pada jaman dulu. Hal ini sekarang dipandang begitu rendah seperti tidak dihargai dikarenakan membuka aurat dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Padahal, ini merupakan sebuah pelestarian budaya yang mana memang dari dulu sudah seperti itu.
Bukan hanya itu saja, masalah juga terjadi saat budaya dibenturkan dengan nilai-nilai agama. Bernostalgia sejenak dengan menilik peristiwa kemarin pada bulan Oktober 2018 (Nurrhochman. 2018. Memaknai Relasi Agama dan Budaya. Beritagar.id) yaitu adanya pembubaran yang dilakukan oleh pihak-pihak/sekelompok orang terhadap warga yang melakukan kegiatan sedekah laut di Pantai Baru, Bantul. Sebenarnya, sedekah laut merupakan budaya yang sudah turun temurun dan memang perlu untuk dilestarikan. Pembubaran ini sangatlah disayangkan bisa terjadi di bangsa yang katanya berbudaya dan beragama ini.
Mengapa sampai ada pembubaran? Hal ini dikarenakan ada sekelompok oknum beragama yang mana mereka membenturkan budaya dengan agama. Di sini terlihat ada perbedaan dalam penginterpretasian budaya. Pihak yang pro menilai bahwa budaya sebagai tradisi yang harus dilestarikan sedangkan pihak yang kontra memiliki penafsiran lain. Pihak yang kontra membenturkan budaya dengan ajaran agama sehingga mereka merasa kegiatan tersebut sesat, syirik, dan betentangan dengan ajaran Islam.
Memiliki pandangan yang berbeda di negara yang majemuk ini sah-sah saja. Akan tetapi output atau tindakan yang mengekor setelahnya adalah masalahnya. Di mana dengan adanya oknum yang membenturkan budaya dengan ajaran agama yang berbuntut pada aksi pembubaran budaya sedekah laut di pantai Baru bisa memecah belah bangsa. Perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang beragama. Jadi dalam hal ini, akan lebih elok apabila setiap insan sadar untuk menanamkan jiwa toleran dalam dirinya. Indonesia sendiri juga tidak hanya mengakui satu agama saja melainkan enam agama, yakni Islam, Hindu, Buddha, Katholik, Kristen Protestan, dan Kong Hu Cu. Selain itu, juga ada aliran kepercayaan lain yang sudah menyatu dengan penduduk seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapi, dan sebagainya.
Kembali pada pembubaran kegiatan budaya sedekah laut di Pantai Baru, Bantul. Budaya ini oleh sebagian oknum dianggap syirik. Padahal budaya ini adalah ungkapan syukur pada Tuhan akan karunia yang telah diberikan. Di Indonesia, budaya yang serupa juga ditemui, seperti Larung Sesaji di Lereng Gunung Kelud, Kediri, yang pernah penulis hadiri. Budaya yang dilakukan masyarakat dengan memberikan hasil panen dari gunung baik berupa sayur-sayuran maupun buah-buahan untuk dibagikan sebagai rasa syukur masyarakat lereng gunung Kelud terhadap Sang Pencipta. Di mana Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kebutuhan hidup yang melimpah pada penduduk sekitar. Budaya ini juga diikuti oleh umat antar agama, termasuk aliran kepercayaan/kejawen.
Beragam budaya yang ada di daerah lain terlihat damai-damai saja bukan? Ini menunjukkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan itu bisa berjalan berdampingan, tidak perlu dibenturkan. Bukankah lebih indah dan damai apabila setiap elemen masyarakat memahami hal ini? Menurut hemat penulis, budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan positif, di mana sedekah berarti beramal, dalam maksud ingin membersihkan agar menjadi lebih baik ataupun sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta. Lalu siapa yang disalahkan atau bertanggung jawab atas pembubarpaksaan budaya di Pantai Baru? Ya hanya oknum yang melakukan hal tersebut, bukan agama yang dianutnya. Di daerah-daerah lain fine-fine saja dengan adanya tradisi sedekah-sedekah itu. Jadi, boleh saja menjadi orang agamis, akan tetapi harus tahu situasi dan kondisi, jangan sampai terlalu fanatik dalam beragama lalu membubarpaksakan budaya yang memang sudah di lestarikan turun temurun.
Kesimpulannya, agama dan budaya memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukanlah hal yang perlu dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama memperoleh kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap insan untuk menerapkan nilai toleransi. Penulis yakin, kita sebagai bangsa yang majemuk bisa berjalan berdampingan, tanpa perlu untuk saling membenturkan perbedaan yang ada. Salam … (EN)
*Erin Wulan Nofember adalah Mahasiswa aktif IAIN Kediri Prodi SAA Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Email: errinrin4545@gmail.com)
No comments