Pancasila bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Sebagai falsafah hidup dan kepribadian bangsa, Pancasila diangkat dari kenyataan pluralistik masyarakat Indonesia. Isi dan wujud nilai-nilai itu telah tertanam dalam masyarakat sebagai titik temu persamaan dan kesepakatan bersama dari kemajemukan agama, ras dan budaya.
Namun belakangan, kehadiran Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dianggap final kembali dipertentangkan. Seiring menjamurnya doktrinasi keagamaan yang ekstrimis serta minimnya wawasan kebangsaan membuat agama tertuduh sebagai pengikis hubungan harmonis dengan negara bahkan mengarah kepada Pancasila. Padahal, ia telah dirajut berpuluh-puluh tahun sebagai ijtihad politik kebangsaan oleh para pendiri bangsa.
Pancasila, Agama dan Negara merupakan susunan triadik yang manunggal, satu sama lain saling menopang. Namun ketika sikap keagamaan berubah wajah menjadi fundamental (militan-ekstrimis), merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka atas legitimasi ketuhanan, memandang dirinyalah kelompok pilihan untuk membawa misi suci, maka agama menjadi ambivalen sebagai alat untuk membenturkan negara dan ideologinya dalam hal ini Pancasila. Muaranya ia dianggap tak dapat didamaikan.
Dalam konteks kebangsaan, tentu sikap ini sangat berbahaya dan mengancam. Pasalnya, Pancasila merupakan grand idea sekaligus pedoman pokok dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara agama merupakan spirit pengamalan Pancasila dalam ideal moralnya berasas ketuhanan sekaligus kemanusiaan sebagai ejawantah keadilan, persatuan, persamaan dan musyawarah dalam suatu negara.
Upaya mencari titik temu hubungan agama dan negara, sebetulnya telah lama dipersoalkan. Bahkan, hal ini dianggap sebagai pemicu konflik intelektual dalam kaitan beragama dan bernegara. Jika menengok ke belakang, ketika Indonesia mencari arah perumusan dasar ideologi negara, terjadi dua pemahaman. Satu sisi menganggap agama hendaknya menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan negara. Kelompok nasionalis sekuler ini berupaya memisahkan hubungan antara agama dan negara. Sementara di sisi lain sebaliknya, menganggap tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Karena agama bukan hanya mengatur urusan dengan Tuhan, namun juga dengan manusia. Kelompok ini diwakili oleh nasionalis religius.
Kesepakatan dengan “Pancasila” dianggap kata sakti yang ampuh mempertemukan kedua silang pendapat tersebut, ia menjadi titik temu agama dan negara. Hal ini berdasarkan suatu pandangan bahwa negara yang dibangun harus berdiri atas dasar kebangsaan dan ketuhanan. Demikianlah Muh. Yamin sebagai salah satu penggagas dalam mendamaikan hubungan keduanya yang tertuang dalam lima dasar negara. Hal ini kembali dikukuhkan dalam mukhtamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo dan terbitnya UU Nomor 8 tahun 1985 Muhammadiyyah yang mewakili ormas keagamaan bahwa Pancasila sebagai asas ideologi Negara yang tidak bertabrakan dengan agama. (Budiyono, 420)
Menurut Nurcholish Madjid, dalam diri Pancasila terkandung hubungan vertikal dan horizontal. Secara vertikal menggariskan hubungan manusia dengan Tuhan yang tertuang dalam sila Ketuhanan yang maha Esa. Ini sebagai inti ajaran agama dan puncak kesadaran keagamaan yang menentukan tinggi rendahnya martabat seseorang dihadapan Tuhan.
Dalam konteks sila pertama, agama bukalah suatu kontradiktif yang harus dihadap-hadapkan dengan negara, melainkan ia melebur menjadi kesatuan nilai-nilai. Perspektif Islam umpamanya, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya negara islam atau bukan. Artinya, dalam memahami kenegaraan, Islam dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi dan landasan etik-moral.
Dengan kata lain, ia tidak dibaca dari sudut doktrinalnya, tetapi ditangkap dari spirit dan rohnya. Selama pemeluk agama dapat mengekspresiakan keagamaan, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya, membiarkan setiap warga negara menjalankan ajaran agamanya tanpa upaya intervensi negara. Dengan demikian, hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling membutuhkan, di mana agama memberikan kerohanian dalam berbangsa dan bernegara sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Sementara hubungan horizontalnya, Pancasila berbicara kemanusiaan. Ini termanifestasikan dalam sila-sila setelahnya. Sila kedua, ketiga dan kelima merupakan konsep dasar keadilan, persatuan dan persamaan, sementara sila yang keempat sebagai konsep dasar demokrasi. (Nurcholish Madjid, 83)
Jika demikian, betulah yang diungkapkan Gusdur, bahwa hubungan agama (islam) dengan Pancasila terjalin saling mengisi yang akan menyuburkan keduanya, tanpa merusak tatanan dasar satu sama lain dalam negara. Selamat hari lahir Pancasila 1 Juni 2020. Salam… (@D)
*Salim Rosyadi adalah Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Instuktur Nasional Moderasi Beragama Kemenag RI, dan Pengurus Cabang GP Ansor Kab. Lebak (Email: salim.rosyadi@uinbanten.ac.id)
No comments