Namaku Naira. Seorang gadis 18 tahun yang saat ini tinggal bersama keluarga yang sangat sederhana. Meski sederhana, semua tetap terasa indah pada awalnya, sebelum Kakakku, Airin, pergi. Kini, sudah empat tahun Kakak meninggalkan rumah. Menimba ilmu sebagai mahasiswa di kota Surabaya. Tahun-tahun pertama dia sering memberi kabar dengan menelepon terlebih dahuu. Akan tetapi tahun-tahun berikutnya dia menghilang tanpa ada kabar sama sekali. Hal itu membuat Ayah dan Ibu pergi ke kota Surabaya untuk mendatangi alamat yang pernah diberikan oleh Kakak melalui telepon. Namun hasilnya nihil. Dia sudah pindah tanpa memberikan informasi sedikitpun kepada pemilik rumah kontrakan yang disewa oleh kakak. Mereka juga sudah mengunjungi kampus kakakku, tapi pihak kampus menyatakan bahwa Kakak telah mengurus surat cuti dalam beberapa semester ke depan. Orangtuaku akhirnya memutuskan untuk pulang dengan rasa kecewa dan berimbas pada kondisi Ayah yang sekarang. Hanya murung dan berbaring sepanjang hari. Semenjak itu, Ibu telah menganggap bahwa kakakku, Airin, telah mati karena tidak lagi memberi kabar ke rumah. Tinggallah aku yang bekerja paruh waktu untuk membantu ibuku.
Saat ini aku telah duduk di bangku SMK kelas XII. Sebentar lagi hari Ujian Nasional akan tiba. Di sekolah, aku punya teman yang cukup dekat. Namanya Seli. “Ra. aku membawa brosur untuk kamu. Kamu harus ikutan!” ucap Seli sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas berwarna biru muda. Aku membacanya perlahan dari atas. Ada tulisan besar yang isinya LUKISLAH HARAPAN DALAM LOMBA MELUKIS NASIONAL. Aku tertarik sekali dengan lomba itu, tapi acaranya akan diadakan sebulan lagi. “Bagaimana aku bisa menyiapkan lomba kalau aku sendiri sedang menyiapkan UN, Sel?” tanyaku. “Ra, itu kan dilaksanakan setelah UN. Kamu tidak akan melewati UN, Ra,” jawabnya mencoba meyakinkan. Lalu aku menjawab, “Tapi kan, lomba ini butuh biaya besar untuk mendaftar, Sel. Terlebih dilaksanakan di luar kota. Belum lagi aku harus beli peralatan melukis. Aku sudah bertekad untuk fokus pada UN. Bagaimana aku bisa mengikuti lomba ini, Sel?”. Seli terdiam menatapku, aku tahu dia tak punya kata-kata lagi untuk menjawab pertanyaanku.
Sepulang sekolah, aku memikirkan tentang lomba itu sembari menikmati hangat dan gurihnya singkong rebus yang telah dihidangkan oleh ibu. Aku sangat ingin mengikuti lomba itu, bukan hanya karena aku hobi melukis, namun terlebih karena aku punya waktu untuk mencari kakakku, hidup atau mati. Setelah menghabiskan singkong, aku mencoba berbicara kepada Ayah dan Ibu. Mereka mengerti bahwa aku sangat menyukai melukis, tanpa penjelasan lebih panjang mereka merestuiku untuk berangkat ke Surabaya.
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Badanku mulai terasa pegal. Jam 6 pagi aku harus pergi ke sekolah, jam 5 sore pergi bekerja, dan jam 10 malam harus belajar untuk mempersiapkan UN. Hingga tak terasa empat hari lagi aku akan berhadapan dengan UN yang notabenenya sangat ditakuti oleh semua siswa semester akhir. Hari ini aku mengajak Seli untuk menemani membeli peralatan melukis. Aku sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba melukis dan membayarnya dengan uang yang beberapa hari kutabung. Hanya soal waktu aku akan bertemu dengan hari perlombaan itu.
Hari-hari Ujian Nasional pun terlewati tanpa ada hambatan. Waktu terasa bertambah cepat, hari ini saatnya berangkat. Bersama Seli, aku berpamitan dengan ibuku yang mengantar hingga stasiun. Ketika mencium tangannya, tiba-tiba ada telepon masuk. “Siapa, Bu?” tanyaku bingung, karena Ibu berulang kali bilang Halo. Ibu hanya mengangkat kedua bahu menandakan bahwa dia tidak tahu siapa yang baru saja meneleponnya.
Surabaya pukul 18:30. Kami telah tiba di rumah saudara Seli. Jaraknya dari stasiun hanya ditempuh selama 15 menit dengan menaiki bentor. Lomba akan dilaksanakan pada hari Minggu di gedung The Empire Palace Surabaya. Seli menceritakan tentang gedung tersebut saat kami masih dalam perjalanan. Dia berkata bahwa itu adalah gedung serbaguna yang sangat megah di kota Surabaya karena arsitekturnya dibuat seperti gedung-gedung yang ada di Eropa. Malam ini aku memutuskan untuk beristirahat dan memulai perjalanan mencari kakakku besok pagi.
Setelah menghabiskan sarapan, kami berangkat menuju tujuan utama, yaitu kampus kakakku. Ditemani Seli dengan mengendarai motor pamannya, kami sampai hanya dalam waktu 30 menit. Kampus kakakku besar sekali, bagaimana aku bisa menemukannya. Seli memutuskan mengajakku menuju bagian akdemik. Dari sanalah kami mencari tahu di mana kakak berada. Namun, seorang staf mengatakan bahwa kakakku sudah drop out dari kampus karena tidak memperpanjang masa cutinya. Segala informasi yang kutanyakan terutama alamat rumah kontrakan kakakku, tidak satupun yang menemukan titik terang. Aku tidak bisa menentukan langkah selanjutnya. Aku benar-benar stress dan down. Aku berlarian dari satu fakultas ke fakultas yang lain, menanyakan ke setiap mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi tak satupun dari mereka yang mengenal kakakku. ‘Ya Tuhan, di mana dia?’, batinku.
Siang begitu cepat berganti malam, Seli memintaku untuk segera pulang karena harus mempersiapkan seluruh keperluan perlombaan besok pagi. Dengan perasaan hampa, kami bergegas kembali menuju rumah paman Seli. Sesampainya di sana aku langsung menuju kamar tanpa benar-benar memejamkan mata. Bahkan aku tidak sempat memikirkan apa yang akan ku lukis besok pagi. Aku terjaga hingga pukul 3 dini hari.
“Ra, sudah pukul 08.15. Bangun!” teriak Seli membangunkanku dan sigap menuju kamar mandi. ‘Ya Tuhan, bagaimana aku bisa kesiangan di hari sepenting ini?’, batinku. Lantas, kami kemudian berangkat tanpa sarapan dengan kecepatan penuh. Bukan hanya perkara kesiangan, rupanya Surabaya mengalami kemacetan panjang. Aku berulang kali merengek kepada Seli agar bisa melewati jalanan padat ini. Tapi percuma, hari Minggu ini benar-benar macet. Aku bergegas turun dari motor dan memutuskan untuk berlari. Seli melarangku karena aku sama sekali tidak tahu jalan, tapi aku tetap memaksa untuk berjalan kaki. Aku tidak bisa menunggu lagi karena batas waktu perlombaan hanya sampai pukul 10.00 wib.
Aku berlarian di atas trotoar, membawa perkakas melukisku yang sesekali terjatuh. Berkali-kali bertanya, berkali-kali juga salah arah. Aku merasa dehidrasi tapi tak ada waktu lagi untuk meneguk air minum, aku harus bergegas. Keringat yang bercucuran telah membuat baju basah bak kehujanan. Akan tetapi, aku merasa lega setelah melihat gedung megah berwarna putih bagai gedung ala Eropa, persis seperti yang diceritakan Seli telah ada di hadapanku. Tanpa berpikir panjang aku memasuki gedung, bertanya di mana aula tempat perlombaan digelar. Kemudian satpam mengantar hingga di depan pintu lift. Jantungku berdebar sangat kencang, bukan hanya karena aku habis berlarian, tapi lebih karena ketika aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 09.43 wib. Ketika pintu lift belum terbuka sempurna, aku langsung berlarian menuju aula. Namun langkahku terhenti oleh dua orang dengan seragam berwarna hitam dengan tulisan Marigold berwarna emas di saku baju sebelah kiri.
“Maaf, waktu perlombaan hanya tersisa 15 menit lagi. Setelah ini akan dihentikan seluruh kegiatan melukisnya. Lebih baik anda kembali.” Ucap salah seorang yang sedang menghadangku. Tapi aku tidak menyerah. Aku memohon kepada mereka agar waktu 15 menit yang tersisa itu dapat kugunakan dengan baik. Namun mereka menggeleng menolak permohonanku meski aku menangis dan bersimpuh di hadapan mereka. Lalu aku menunduk dan berkata “Kudapati kalimat LUKISLAH HARAPAN DALAM LOMBA MELUKIS NASIONAL dari seorang sahabatku. Rasa semangat membara dalam jiwaku saat membacanya, membuatku melakukan dan merelakan apa saja agar bisa mengikutinya. Namun sesampainya di sini, meski aku memelas agar bisa melukis harapan yang kusimpan di balik kuas yang kubawa, kalian menolakku seolah menunjukkan bahwa tak ada lagi yang bisa kuharapkan. Terimakasih, aku menghargai keputusan yang kalian buat”.
Aku kembali menuju lift dengan rasa yang tak bisa kujelaskan. Tiba-tiba ada yang berteriak memanggilku. Aku menoleh dan melihat air mata membasahi pipi mereka. Salah satu dari mereka menghampiriku dan berkata “Maafkan saya yang sudah meruntuhkan harapan Anda. Perkataan Anda telah membuat saya tersadar bahwa saya sangat kejam. Waktu anda tersisa 10 menit. Silahkan gunakan dengan sebaik-baiknya. Semangat”. Tanpa berpikir panjang aku berlari dan mencari tempat duduk serta menyiapkan semua alat lukisku. Aku mulai memejamkan mata membayangkan apa yang akan kulukis lalu mulai menggerakkan tanganku di atas kanvas kosong. Kulukis harapan yang selama ini kuidam-idamkan. Meski pembawa acara mengingatkan waktu akan segera habis aku tetap fokus mengindahkan kanvasku dengan segala harapanku. Gerakanku telah sempurna ketika bel tanda waktu melukis telah selesai berbunyi. Aku menghembuskan napas lega dan tersenyum memandang hasil goresan tangan ini.
Seli datang 15 menit setelah bel berbunyi dan berlari kecil menuju tempat duduk di sebelahku. Jantung kami berdegup kencang menuju pengumuman pemenang. Kami bercerita sebentar untuk menghilangkan rasa gugup hingga tanpa tersadar bahwa juri sedang memanggil-manggil nama pemenang. Aku tersentak ketika juri menyebutkan inisial R sebagai pemenang utama. Aku menaruhnya di lukisanku, namun aku tak berani mengambil langkah karena aku takut jika inisial itu bukan hanya aku yang membuatnya. Lalu juri menegaskan dengan berkata “Pelukis dengan inisial R yang melukis setengah bunga Marigold”. Aku berdiri karena terkejut. Itu aku. Ruangan menjadi lengang dan seluruh mata memandangku, tak lama disusul dengan gemuruh tepuk tangan. Aku melangkah perlahan tak percaya. ‘Aku pemenangnya?’ Seli bersorak riang.
Di atas panggung, juri bertanya apa alasanku melukis separuh bunga Marigold. Aku memberikan alasan bahwa bunga Marigold memiliki makna “Kebahagiaan akan datang“, aku kemari membawa harapan untuk bertemu kakakku dan berharap agar kebahagiann di dalam keluargaku kembali. Tiba-tiba seseorang melangkah dari arah samping panggung membawa sebuah kanvas yang sudah terlukis lalu diletakkan di samping lukisanku. Semua peserta dan penonton terseru heran karena lukisan kami seperti tersambung sempurna membentuk bunga Marigold, ditambah inisial yang dia berikan adalah huruf R terbalik. Aku melihat wajahnya, jantungku berdegup kencang saat aku menyadarinya. Air mataku jatuh tanpa kuduga. Dia kakakku, Airin. Aku memeluknya erat dan menangis kencang. Ruangan dipenuhi dengan perasaan haru dan tepukan tangan bahagia.
Seminggu setelah kejadian itu, aku pulang membawa Kak Rin. Marigold yang dilukisnya memiliki makna Kedukaan. Benar saja, dia meninggal setelah dua minggu berada di rumah. Empat tahun telah dia lewati untuk berjuang mengobati penyakitnya, kanker kelenjar getah bening. Dia memiliki sebuah galeri lukisan yang diberi nama Marigold. Marigold telah dia bangun susah payah selama empat tahun. Orang yang menelepon ibuku di stasiun kala itu adalah kak Rin, dia terdiam karena penyakit yang dideritanya membuat dia tak mampu lagi bersuara. Galeri yang dibesarkan kini akan terus kurawat dengan sepenuh hati, aku mengajak keluargaku pindah ke Surabaya setelah sepekan kepergian Kak Rin. Kami akan terus berjuang untuk melukiskan segala harapan.
“Perjuangan adalah sebuah proses yang harus dilewati ketika seseorang telah menggenggam harapannya. Tanpa harapan, perjuangan hanya bagaikan kapal tanpa nahkoda, berjalan tanpa tahu dimana akan berlabuh.” Salam… (EN)
*Amroh Mustaidah, adalah mahasiswi aktif prodi Tadris Bahasa Inggris-IAIN Kediri (Email: amrohmustaidah23@gmail.com)
No comments