Candi Pari dan Candi Sumur menjadi salah satu warisan budaya di Jawa Timur. Kedua candi ini terletak di Desa Candipari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Candi yang dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit ini masih dilestarikan hingga kini. Sempat dipugar pada 1994-1999 oleh BP3 Jawa Timur, candi berbahan bata merah ini terlihat kokoh. Meski strukturnya sederhana, namun aura magisnya sangat kental. Di dalamnya masih tersimpan beberapa arca yang bentuknya tak lagi utuh. Lantainya juga berbahan bata. Ada tempat meletakkan dupa bagi pengunjung yang ingin sekadar melakukan penghormatan, bahkan meditasi.
Sejarah dibangunnya candi tersebut konon saat Kerajaan Majapahit masih berjaya, tersebutlah seorang lelaki tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan. Kyai ini mempunyai dua orang putri, yaitu Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin. Kyai ini juga punya adik seorang janda yang tinggal di Desa Ijingan. Janda Ijingan ini mempunyai seorang putra yang bernama Jaka Walang Tinunu, yang setelah dewasa menjadi pemuda yang tampan dan hormat kepada ibunya. Tetapi ia tidak diberitahu oleh ibunya tentang siapa ayahnya.
Suatu hari, Jaka Walang Tinunu meminta izin kepada ibunya untuk membuka hutan yang akan dijadikan tempat tinggal dan lahan penggarapan sawah. Setelah ibunya mengizinkan, ia pun berangkat bersama kedua temannya lalu tinggal di Dukuh Kedungkras (sekarang bernama Desa Kesambi) dan berhasil membuka lahan di Kedung Soko (arah utara Kedungkras dan arah selatan d selatan Desa Candipari).
Ketika Jaka Walang Tinunu dan kedua temannya mencari ikan, mereka menemukan seekor ikan kotok. Ikan ini kemudian diberi nama Deleg. Tetapi, ternyata ikan bisa berbicara. Ikan itu mengatakan bahwa sebenarnya dia adalah manusia, yang dikutuk oleh seorang pertapa karena keinginannya menjadi seorang raja. Ia pun dikutuk menjadi raja, tetapi raja ikan Atas perkataan Jaka Walang Tinunu yang menyatakan bahwa “Barangsiapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia” maka Deleg berubah kembali menjadi manusia; seorang pemuda yang tampan. Deleg kemudian dinamakan Jaka Pandelegan, dan dianggap sebagai adik Jaka Walang Tinunu.
Selanjutnya, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan bekerja sama mengolah lahan agar bisa menjadi sawah. Tapi, keduanya belum mempunyai bibit padi untuk ditanam. Ketika Jaka Walang Tinunu meminta bantuan kepada Kyai Gede Penanggungan melalui istrinya, ternyata keinginan akan bibit padi itu tidak dikabulkan. Kyai Gede Penanggungan tidak percaya jika bibit tersebut akan dipergunakan untuk bersawah. Kyai hanya akan memberikan mendang (sisa kulit padi) kepada kedua pemuda itu.
Di lain pihak, kedua putri Kyai Gede Penanggungan ternyata jatuh hati pada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Maka kedua putri itu (Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin) pun membantu kesulitan kedua pemuda itu. Ketika keduanya diutus ayahnya untuk mengambilkan mendang, mereka mencampur mendang tersebut dengan bibit padi hingga tercampur sebanyak satu karung.
Setelah sampai di rumah, mendang (dan bibit padi) tersebut langsung disebar di lahan persawahan. Ternyata, bibit tersebut tumbuh dengan sangat baik, benar-benar seperti bibit padi yang sesungguhnya. Ketika Jaka Walang Pinunu dan Jaka Pandelegan meminta izin kepada Kyai Gede Penanggungan untuk dibantu kedua putrinya saat memindahkan penanaman padi, mereka tidak diizinkan. Tetapi kedua putrinya nekat ikut kedua pemuda itu. Karena sebenarnya Nyai Loro Walang Sangit ingin menjadi istri Jaka Walang Pinunu, sedangkan Nyai Loro Walang Angin ingin menjadi istri Jaka Pandelegan.
Singkat cerita, akhirnya sawah yang dikelola Jaka Walang Pinunu dan Jaka Pandelegan berkembang luas dan jenis tanaman padi yang dihasilkan sangat baik. Karena luasnya sawah, hingga orang-orang dari segala penjuru datang untuk membantu derep (memotong padi). Padi yang tumbuh pun konon tak ada habis-habisnya. Diceritakan, setelah padi dipotong, langsung tumbuh padi lagi. Hasil padi pun kemudian ditumpuk di penangan, yang berjumlah sangat banyak, sangat melimpah.
Hingga suatu ketika, Kerajaan Majapahit mengalami paceklik. Pertanian gagal dan banyak petani yang sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong karena luasnya sawah yang terkena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif dan memiliki banyak padi, maka beliau memerintahkan patihnya untuk meminta penyerahan padi.
Sang prabu pun ingin tahu siapa pemilik sawah yang subur tersebut. Patih mengatakan bahwa pemilik sawah tersebut adalah anak seorang janda Ijingan. Serta merta sang prabu teringat masa lalunya, bahwa dulu ia pernah berhubungan dengan seorang perempuan di desa itu. Jaka Walang Pinunu dan istrinya pun kemudian datang ke kerajaan setelah diundang sang prabu. Seperti dugaan Prabu Brawijaya sebelumnya, ternyata Jaka Walang Pinunu memang benar adalah anaknya
Prabu Brawijaya juga ingin mengundang Jaka Pandelegan dan istrinya ke kerajaan, dengan maksud akan dinaikkan derajatnya. Tapi Jaka Pandelegan beserta istri sudah berunding, bahwa mereka tidak akan mau datang ke kerajaan. Maka, ketika patih dan pasukannya menjemputnya, Jaka Walang Tinunu bersembunyi. Ketika dikepung, dia bersembunyi di tumpukan padi di penangan, kemudian menghilang tanpa bekas. Begitu pula yang terjadi dengan istrinya, yaitu Nyai Loro Walang Angin. Ketika dikepung, dia meminta izin akan mengisi kendi (tempat air) terlebih dahulu. Namun, dia menghilang tanpa jejak.
Prabu Brawijaya kagum demi mendengar cerita hilangnya (atau “moksa” dalam konsep agama Hindu, yang artinya kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi kehidupan) kedua suami istri tersebut. Maka, untuk mengenang peristiwa tersebut, Prabu memerintahkan untuk dibangunkan candi di kedua tempat menghilangnya suami istri itu. Jaka Pandelegan menghilang di Penangan yang kemudian di sana didirikan Candi Pari. Sedangkan Nyai Loro Walang Angin menghilang di tempat mengambil air, yang kemudian di situlah didirikan Candi Sumur.
Konon saat Kerajaan Majapahit masih berjaya, tersebutlah seorang lelaki tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan. Kyai ini mempunyai dua orang putri, yaitu Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin. Kyai ini juga punya adik seorang janda yang tinggal di Desa Ijingan. Janda Ijingan ini mempunyai seorang putra yang bernama Jaka Walang Tinunu, yang setelah dewasa menjadi pemuda yang tampan dan hormat kepada ibunya. Tetapi, ia tidak diberitahu oleh ibunya siapa ayahnya.
Suatu hari Jaka Walang Tinunu meminta izin kepada ibunya untuk membuka hutan yang akan dijadikan tempat tinggal dan lahan penggarapan sawah. Setelah ibunya mengizinkan, ia pun berangkat bersama kedua temannya lalu tinggal di Dukuh Kedungkras (sekarang bernama Desa Kesambi) dan berhasil membuka lahan di Kedung Soko (arah utara Kedungkras dan arah selatan Desa Candipari).
Suatu hari ketika Jaka Walang Tinunu dan kedua temannya mencari ikan, mereka menemukan seekor ikan kotok. Ikan ini kemudian diberi nama Deleg. Tetapi, ternyata ikan itu bukan sembarang ikan, kerena bisa berbicara. Ikan itu mengatakan bahwa sebenarnya dia adalah manusia, yang dikutuk oleh seorang pertapa karena keinginannya menjadi seorang raja. Ia pun dikutuk menjadi raja, tetapi raja ikan. Atas perkataan Jaka Walang Tinunu yang menyatakan bahwa “Barangsiapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia” maka Deleg berubah kembali menjadi manusia; seorang pemuda yang tampan. Deleg kemudian dinamakan Jaka Pandelegan, dan dianggap sebagai adik Jaka Walang Tinunu.
Selanjutnya Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan bekerja sama mengolah lahan agar bisa menjadi sawah. Tapi sayang, keduanya belum mempunyai bibit padi untuk ditanam. Ketika Jaka Walang Tinunu meminta bantuan kepada Kyai Gede Penanggungan melalui istrinya, ternyata keinginan akan bibit padi itu tidak dikabulkan. Kyai Gede Penanggungan tidak percaya jika bibit tersebut akan dipergunakan untuk bersawah. Kyai hanya akan memberikan mendang (sisa kulit padi) kepada kedua pemuda itu.
Di lain pihak, kedua putri Kyai Gede Penanggungan ternyata jatuh hati pada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Maka kedua putri itu (Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin) pun membantu kesulitan kedua pemuda itu. Ketika keduanya diutus ayahnya untuk mengambilkan mendang, mereka mencampur mendang tersebut dengan bibit padi hingga tercampur sebanyak satu karung.
Singkat cerita, akhirnya sawah yang dikelola Jaka Walang Pinunu dan Jaka Pandelegan berkembang luas dan jenis tanaman padi yang dihasilkan sangat baik. Karena luasnya sawah, hingga orang-orang dari segala penjuru datang untuk membantu derep (memotong padi). Padi yang tumbuh pun konon tak ada habis-habisnya. Diceritakan, setelah padi dipotong, langsung tumbuh padi lagi. Hasil padi pun kemudian ditumpuk di penangan, yang berjumlah sangat banyak, sangat melimpah.
Hingga suatu ketika, Kerajaan Majapahit mengalami paceklik. Pertanian gagal dan banyak petani yang sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong karena luasnya sawah yang terkena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif dan memiliki banyak padi, maka beliau memerintahkan patihnya untuk meminta penyerahan padi. Sang prabu pun ingin tahu siapa pemilik sawah yang subur tersebut. Patih mengatakan bahwa pemilik sawah tersebut adalah anak seorang janda Ijingan. Serta merta sang prabu teringat masa lalunya, bahwa dulu ia pernah berhubungan dengan seorang perempuan di desa itu. Jaka Walang Pinunu dan istrinya pun kemudian datang ke kerajaan setelah diundang sang prabu. Seperti dugaan Prabu Brawijaya sebelumnya, ternyata Jaka Walang Pinunu memang benar adalah anaknya. Prabu Brawijaya juga ingin mengundang Jaka Pandelegan dan istrinya ke kerajaan, dengan maksud akan dinaikkan derajatnya. Tapi Jaka Pandelegan beserta istri sudah berunding, bahwa mereka tidak akan mau datang ke kerajaan. Maka ketika patih dan pasukannya menjemputnya, Jaka Walang Tinunu bersembunyi. Ketika dikepung, dia bersembunyi di tumpukan padi di penangan, kemudian menghilang tanpa bekas. Begitu pula yang terjadi dengan istrinya, yaitu Nyai Loro Walang Angin. Ketika dikepung, dia meminta izin akan mengisi kendi (tempat air) terlebih dahulu. Namun kemudian dia menghilang tanpa jejak.
Demikianlah, kisah asal usul berdirinya Candi Pari dan Candi Sumur.
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide itu ditempatkan di sekundernya, sebab materi itu ada terlebih dahulu baru kemudian ada ide. Pandangan ini berdasarkan atas kenytaan menurut proses waktu dan zat. Misalnya menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada di dunia, alam raya ini sudah ada. Dan menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide apabila tidak mempunyai otak sedangkan otak adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada lalu baru muncul ide dari padanya. Para filsuf materialisme menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. (DEW)
Biografi Penulis
Nisa Nur Agustin, mahasiswi program studi Psikologi Islam IAIN Kediri.
No comments