Desa Sumberkepuh merupakan salah satu desa yang tergolong luas yang terletak di Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 53 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan keadaan geografis desa, curah hujan rata-rata mencapai 2.200 mm. Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Sumberkepuh tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 11.003 orang dengan jumlah 3.421 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian. Utamanya adalah sawah beririgasi. Jarak tempuh Desa Sumberkepuh ke ibu kota Kecamatan Tanjunganom yaitu sekitar 10 kilometer. Sedangkan, jarak ke ibu kota Kabupaten Nganjuk adalah sekitar 19 kilometer. Secara adminstratif, Desa Sumberkepuh dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Sidoharjo, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kedungombo, di sisi selatan berbatasan dengan Desa Sugihwaras, Rowoharjo, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Kampungbaru.
Diceritakan bahwa Desa Sumberkepuh berawal dari seorang yang bernama Kromodikoro yang mencari wilayah desa ini. Kemudian, membuka daerah tersebut yang sebelumnya berupa hutan. Di tengah hutan terdapat pohon Kepuh. Pohon tersebut tidak ikut ditebang, karena dijadikan sebagai penanda bahwa tempat tersebut akan dijadikan lokasi pemukiman. Tatkala tengah malam, anak bungsu Kromodikoro menangis minta air minum. Karena kala itu sedang musim kemarau maka di tempat penyimpanan air (jun) kosong. Kromodikoro berusaha mencari air kesana kemari namun tidak menemukannya. Akhirnya, Kromodikoro pulang ke rumah dengan tangan hampa dan kebetulan ketika Kromodikoro menuju ke belakang rumah. Ia melihat di dekat pohon kepuh yang keluar sumber airnya. Sumber air tersebut lama-kelamaan menjadi besar dan airnya sangat jernih.
Sejak adanya sumber air tersebut, masyarakat banyak yang datang mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Lama-kelamaan, yang datang tadi menetap di dekat rumah Kromodikoro guna mendekati sumber air tersebut. Sehingga daerah tersebut menjadi ramai. Lambat laun daerah tersebut diberi nama oleh Kromodikoro menjadi Desa Sumberkepuh. Itulah sejarah singkat dari desa Sumberkepuh yang mungkin bisa berubah ceritanya sesuai dari sumbernya.
Masyaraat di Desa Sumberkepuh sendiri masih memegang erat budaya nenek moyangnya. Mulai dari budaya mengirim sesajen kepada para leluhur yang dianggap sebagai penjaga di desa hingga upacara setiap satu tahun sekali yang masyarakat desa sendiri sering menyebutnya dengan upacara nyadran. Hal ini dilakukan karena apabila jika kita tidak menghargai penjaga desa. Maka, warga desa akan mendapati hal hal yang tidak di inginkan, seperti kecelakaan, banjir, dan lainnya. Oleh karena itu, di desa tersebut dipercaya sebagai tempat simnggah atau bahkan tempat tinggal para leluhur. Setiap tahun sekali di desaku memeriahkan slametan atau nyadran tersebut dengan mengundang hiburan berupa jaranan atau orang lebih kenalnya dengan kuda lumping, penampilan orkes dangdut dan tontonan yang lain guna memeriahkan acara tersebut. Acara biasanya dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut.
Dulu, masyarakat desa memberikan sesajen berupa ayam yang sudah diolah, telur yang belum matang, buah-buahan, serta bunga yang biasanya diletakkan di tempat-tempat yang konon katanya dianggap sebagai tempat para leluhur berada. Sebelum diletakkan pada tempat atau punden biasanya orang yang dianggap sebagai tetua membacakan mantra untuk berkomunikasi agar leluhur dapat berkomunikasi dengan masyarakat agar desa bisa menjadi damai dan tidak ada kejadian yang tidak diinginkan. Namun tradisi ini dilakukan sebelum islam memberikan warna baru terhadap tradisi tersebut. Agama Islam adalah agama yang dulunya masih belum banyak dipeluk oleh masyarakat desa. Namun lama kelamaan dengan semangat para Ulama dan kyai di desa untuk mensyiarkan agama Islam,alhasil agama Islam bisa dipeluk oleh seluruh masyarakat desa.
Potret diatas merupakan momen saat prosesi slametan dalam memperingati prosesi nyadran di desa. ketika agama Islam sudah merubah cara pandang masyarakat desa yang awalnya masyarakat desa memberikan sesajen dengan maksud berkomunikasi kepada leluhur agar desa terjaga dari mara bahaya menjadi ajang sedekah para warga dan menjadi sarana dakwah agar masyarakat senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pada gambar di atas dilaksanakan slametan dengan digabungkan bacaan tahlil dan doa serta sesasjen yang awalnya hanya ditinggal dengan maksud diberikan kepada leluhur, sekarang dibagikan kepada jamaah yang mengikuti tahlil itu dengan niat bersedekah kepada sesama.
Hingga saat ini, masyarakat tidak lagi menjadikan kepercayaan bahwa leluhur yang menyelamatkan desa dan membawa desa kepada kedamaian. Namun, juga tidak meninggalkan tradisi yang telah dibuat dan dibangun oleh nenek moyang dan leluhur desa. Setiap tahun kami masih merayakan tradisi nyadran namun dengan cara menggabungkan antara agama Islam dan budaya. Mulai dulunya hanya memeriahkannya dengan kuda lumping, wayang, dan dangdutan sekarang ditambah dengan pembacaan sholawat dan pengajian pengajian yang dikhususkan sebagai pengingat masyarakat agar tetap menuju jalan yang benar yakni Islam dan tidak kembali berbelok arah. Semua itu tidak akan terjadi jika unsyur dalam desa atau masyarakat tidak ikut membantu dan merubah pola pikir mereka serta para kyai yang bersemangat dan terus menerus memberikan wejangan dan nasehat dalam dakwahnya.(DEW)
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Aan Khunayfi A.H. Ia adalah mahasiswa aktif prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Kediri. Penulis bisa dihubungi melalui email aan.khunayfi22@gmail.com. Adapun prestasi penulis di antarannya Juara 1 lomba Musabaqah Syarhil Qur an Kabupaten Nganjuk 2019, Juara 2 lomba Musabaqah Syarhil Qur an Provinsi Jawa Timur 2019, perwakilan Jatim dalam rangka MTQ Nasional Di Padang Sumatera Barat yang meskipun hanya sebagai peserta cadangan.
No comments