PENGEMBANGAN INDUSTRI PESAWAT TEMPUR DALAM NEGERI, MUNGKINKAH?

0

Wilayah Indonesia terbentang dari ujung barat hingga ujung timur terdiri atas gugusan pulau mencapai 17.000 dan terbagi menjadi 34 provinsi. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia membuat kebutuhan akan armada pesawat tempur menjadi mutlak adanya selain kapal perang dan kendaraan taktis yang beroperasi di darat guna menjaga teritori  negara. Pabrikan pesawat berkompetisi merancang dan merakit pesawat terbaik guna melakukan ekspansi hingga ke berbagai negara. Boeing, Lockheed Martin, dan Sukhoi menjadi produsen utama dengan produk terlaris di dunia. Keduanya menjadi penyuplai kebutuhan pesawat tempur Amerika Serikat dan Rusia.

Pesawat tempur garapan pabrikan ternama tersebut menjadi primadona tak terkecuali  bagi angkatan udara di kawasan Asia Tenggara, dengan beragam jenis tentu anggaran yang dikucurkan tak sedikit guna menggait pesawat tempur incaran paling mutakhir di kelasnya. Sebut saja Singapura menyiapkan anggaran sebesar 2,75 milyar dolar AS untuk mengakuisisi 12 pesawat tempur jenis F 35 B garapan Lockheed Martin pada tahun 2020 sebagai pengganti F-16 disebabkan faktor usia. Rencana tersebut masuk dalam alokasi anggaran sebesar 30 persen untuk pertahanan, keamanan, dan diplomasi pada anggaran 2019. Lantas, bagaimana dengan armada tempur Indonesia?

Anggaran Kementerian Pertahanan mencapai 122 Triliun dengan porsi terbesar digunakan untuk pengadaan pesawat tempur jenis F-16 Viper. Bahkan, pada Juli lalu Menteri Pertahanan Prabowo menyatakan minat untuk mengakuisisi 15 pesawat tempur Thyphoon bekas Austria. Sebelumnya, Indonesia juga mempunyai pesawat tempur Sukhoi Su 27 dan 30 lalu Super Tucano garapan pabrikan asal Brasil, EMBRAER dan T 50 I Golden Eagle buatan Korea Selatan.

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia termasuk dalam jajaran 20 negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia dengan menempati urutan 16. Menurut survei Global Fire Power 2021, menjadi negara Asia Tenggara satu satunya yang masuk dalam jajaran tersebut mengalahkan Singapura yang berada di posisi 40. Indonesia diperkuat 800.000 tentara dengan 458 unit pesawat dengan rincian 41 pesawat tempur, 38 pesawat serang darat, dan 15 helikopter tempur.

Hal itu menjadi sebuah prestise bagi Indonesia yang bahkan mampu berada di atas Israel yang selama ini dipasok pesawat tempur canggih AS. Namun, kebanyakan pesawat tempur Indonesia sudah dalam kondisi tidak layak karena uzur. Selain itu, dikarenakan adanya kebijakan pembelian pesawat tempur bekas pakai dari berbagai negara dengan dalih modernisasi alutsista dinilai salah kaprah karena biaya pembelian pesawat bekas tentu tak sedikit, belum lagi pengeluaran anggaran untuk pemeliharaan dan perawatan pesawat juga memakan anggaran yang besar.

Pesawat bekas pasti mengalami penurunan kemampuan dan juga daya pakai yang singkat disebabkan usia terlalu tua, sehingga sulit menandingi kekuatan lawan dengan barikade pesawat tempur generasi mutakhir yang dilengkapi fitur teknologi terkini, meski sudah melakukan peningkatan kemampuan atau upgrading pesawat. Indonesia patut berbangga karena berada di posisi 16 dibandingkan Singapura yang menduduki ranking 40. Namun, secara kualitas pesawat bila dikomparasikan antara F-16 Indonesia dengan F-35 Singapura tentu kalah saing.

Pengadaan pesawat tempur juga ditempuh  pemerintah dengan jalan hibah tepatnya pada tahun 2018. Lantas, sebanyak 24 pesawat tempur F-16, pesawat tersebut dioperasikan oleh militer AS pada dekade 80-an juga di masa Perang Teluk 1991 serta Perang Afghanistan 2001. Tentu dalihnya sama dengan maksud menghemat anggaran karena harganya yang tidak terlalu mahal.  Namun, justru menambah beban anggaran bahkan mungkin menambah utang luar negeri Indonesia serta kualitasnya dipertanyakan sejauh mana kemampuan pesawat bekas dalam bertempur di medan perang? Menjadi sebuah ironi bagi Indonesia yang ingin memperkuat kekuatan militernya. Namun, justru diperkuat barikade pesawat tempur bekas pakai yang amat meragukan.

China mulai unjuk gigi dalam kekuatan militer bahkan kini diperhitungkan, sehingga  mampu sejajar dengan negara kuat seperti Amerika dan Rusia dan mampu melakukan rekayasa teknologi dengan mengadopsi teknologi pesawat  siluman AS.  Bahkan, disebut sebagai pesawat tiruan F-22 Raptor milik Amerika, pesawat buatan tiongkok diberi nama J-20 Chengdu. Tiongkok juga mengembangkan pesawat tempur siluman generasi ke-5 lainnya Shenyang FC-31, pesawat ini dirancang untuk menjalankan misi tempur udara.

Shenyang FC-31 ditopang 2 mesin turbofan afterburning RD-93 pabrikan Rusia JSC Klimov. Di sisi lain, daya jelajah pesawat ini berada di kecepatan 2.200 KM/jam dengan daya jangkau mencapai 2.000 KM, pesawat tempur ini diklaim memiliki kemiripan dengan pesawat generasi ke-5 garapan Lockheed Martin F-35. Tiongkok menjadi barometer bagi negara- negara Asia dalam rekayasa dan perakitan pesawat yang terbukti berhasil dan mampu menghapus stigma bahwa selama ini negara-negara Asia atau bahkan dunia ketergantungan pada produk Amerika dan Rusia dalam urusan pesawat tempur. Salah satu faktornya mungkin keterbatasan teknologi.

Hal serupa juga dilakukan oleh India untuk menghapus asumsi bahwa negara Asia tidak mampu membuat serta memproduksi pesawat tempur yang selama ini berkiblat pada negara Amerika serta Eropa. Dalam rangka menjawab keraguan juga  mengonversi status yang selama ini tersemat pada negara kawasan Asia sebagai konsumen pesawat tempur, India berusaha memperkuat industri pertahanan dengan mendirikan konsorsium pesawat tempur dalam negeri serta mulai melakukan produksi pesawat secara mandiri untuk tujuan pemenuhan kebutuhan alutsista Angkatan Udara India.

Dikutip dari Ipdefense-forum.com, berdasarkan dokumen Kementerian Pertahanan, India mendeskripsikan Tejas sebagai pesawat berteknologi tinggi, berkursi tunggal, bermesin tunggal, berkecepatan supersonik, multiperan, ringan, superioritas udara yang dirancang untuk menjalankan peran tempur udara ke darat dan udara ke laut. Keseriusan pemerintah India dalam melakukan pengembangan pesawat Tejas menjadikan pesawat ini sebagai tulang punggung India di masa depan. Tejas dipersenjatai rudal jarak pendek udara ke udara, bom pemandu laser, bom tandan, serta senapan mesin berkaliber 23 mm.

Lalu, sejauh mana Indonesia menyongsong tren produksi pesawat tempur? PT Dirgantara Indonesia menjadi ikon bagi industri kedirgantaraan Indonesia yang diinisiasi oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Keberhasilan pengembangan pesawat oleh PT DI membuat Indonesia memiliki reputasi di dunia internasional, pesawat komersil sekaligus helikopter berhasil dirakit dan diproduksi hasil kerjasama pabrikan pesawat maupun heli dari sejumlah negara. Sebut saja pesawat CN 235 yang telah berekspansi hingga Afrika merupakan hasil kerjasama dengan perusahaan CASA Spanyol atau helikopter BELL 412 EP hasil kerjasama dengan pabrikan BELL Amerika yang digunakan oleh TNI. Bahkan, PT DI dipercaya oleh perusahaan pesawat asal Prancis Airbus dalam pembuatan komponen sayap pesawat A 320.

Kemampuan Dirgantara Indonesia tak perlu diragukan, hal itu bisa dibuktikan dengan beragam varian pesawat dan helikopternya. Namun, Indonesia belum mampu seperti halnya India dan China dalam melakukan pengembangan pesawat tempur. Indonesia sempat melakukan kolaborasi dalam pembuatan pesawat tempur bersama Korea Selatan.

Dikutip dari sumber Info Singkat  Vol X No. 14, Juli 2018 Puslit Badan Keahlian DPR RI inisiasi tersebut digulirkan 10 tahun lalu tepatnya tahun 2010 hingga 16 tahun mendatang dengan maksud menghadapi invasi Korea Utara. Kerja sama tersebut terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama yakni Technology Development Phase (TDP)  dalam durasi 2 tahun 2010-2012, tahap kedua Engineering and Manufacture Development Phase (EMDP) yang memakan waktu hingga 8 tahun mulai 2015-2023 yang merupakan rangkaian inti pengembangan prototype pesawat  dan pada tahap akhir yakni Production Phase (PP) pada tahun 2025-2028.

KFX/IFX menjadi pesawat tempur hasil adopsi pesawat generasi 4,5 setara F-18 AS  spesifikasi keunggulannya di atas F-16 single seat, twin engine Amerika yang memiliki kemampuan di atas pesawat Dassault Rafale Prancis juga Thyphoon besutan Eurofighter. Proyek ini sebenarnya dalam tahap pengembangan prototype, tetapi perkembangan pesawat ini jarang tersiar di media massa dan kelanjutannya dipertanyakan apakah proyek ini tetap dijalankan atau justru vakum serta terancam berhenti.

Terpaan isu tidak sedap berhembus bahwa Indonesia tak mampu membayar biaya patungan pengembangan KFX/ IFX yang mencapai 124,5 juta dolar AS bisa memupuskan mimpi Indonesia mengakuisisi pesawat hasil kolaborasi ini dan menipiskan peluang Indonesia mampu setara dengan India dan Tiongkok yang telah mampu merakit hingga mengoperasikan pesawat buatannya. Sampai sejauh ini prestasi Indonesia pada pengembangan pesawat perintis dan komersil juga helikopter.

Hal tersebut bukan prestasi yang buruk bagi Indonesia, bahkan menjadi kebanggaan dikarenakan amat jarang negara berlabel berkembang mampu memproduksi pesawat hingga helikopter yang selama ini identik dengan negara maju. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berhasil memproduksi pesawat. Dalam hal ini pesawat non tempur Singapura yang masuk dalam kelompok negara maju belum mapu melakukannya.

Dalih tersebut menghapus label negara berkembang tertinggal dalam aspek teknologi kedirgantaraan serta pembuktian negara berkembang mampu bersaing dalam pasar pesawat  seperti halnya yang dilakukan China, India, dan juga Indonesia hingga merambah pasar ekspor. (DEW)

Biografi Penulis

*) Muhammad Iqbal Fuadhi

Salah satu mahasiswa program studi Pendidikan Bahaa Arab semester 6 IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat follow akun instagramnya @Iqbalfuadhi dan facebook iqbalfuadhi atau menghubungi e-mail pribadinya @fuadhiiqbal@gmail.com

About author

No comments