Bernegara, beragama dan berbudaya adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sama-sama membutuhkan kesinambungan. Sebab, dalam suatu wilayah yang dihuni manusia pasti ada suatu tatanan pemerintahan yang sah yaitu negara. Dan dalam sebuah negara pasti ada berbagai kepercayaan yang dan dianut oleh masyarakatnya. Kemudian, dalam kepercayaan tersebut terdapat budaya dan tradisi yang dianut secara turun temurun. Maka dari itu dalam kehidupanya manusia berperan penting dalam menjaga kesinambungan antara bernegara, beragama, dan berbudaya. Hal ini bertujuan agar tetap sejalan dalam eksistensinya sebagai manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keberagaman merupakan takdir yang nyata dari Allah, keberagaman sudah menjadi bukti bahwa mahkluk hidup di dunia ini tidak hanya manusia saja. Keberagaman merupakan suatu yang sempurna dan indah. Oleh sebab itu, dalam simbol atau semboyan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, keberagaman merupakan hal yang paling indah dan penting dalam pandangan hidup berbangsa, beragama, dan berbudaya. Dimana hal ini terwujud dalam Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam kehidupanya, manusia akan disuguhkan beragam perbedaan yang indah, tetapi tidak menuntut kemungkinan dalam perbedaan itu juga akan menimbulkan perdebatan. Apa lagi perbedaan yang dimaksud membahas ras, agama, maupun etnis. Tak jarang semakin banyak perbedaan juga semakin banyak perdebatan. Perdebatan dan permasalahan yang sangat menonjol di Indonesia yang membahas terkait dengan perbedaan agama.
Memang, membahas perbedaan tentang agama merupakan suatu pembahasan yang sangat sensitif. Hal ini dikarenakan pembahasan tentang agama sudah menyangkut ranah ideologi teologis. Dimana pemikiran tentang keyakinan sudah mengarah kepada manusia yang beragama dengan Tuhannya. Menurut penulis, pembahasan tentang keyakinan dalam ber-Tuhan jauh lebih sensitif dibandingkan dengan pembahasan perbedaan budaya yang hanya mengulas tentang tradisi dan adat kebiasaan. Tidak menutup kemungkinan jika membahas perbedaan tentang agama sangat sensitfif apa lagi di Indonesia merupakan negara yang sangat kompleks dengan keberagaman kepercayaan.
Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan cendekiawan muslim Indonesia dan pernah menjadi presiden Indonesia yang keempat. Gus Dur pernah memunculkan gagasannya bahwa meskipun ada keberagaman agama harus tetap saling mencintai dan toleransi. Hal ini diwujudkan dalam gagasannya yang disebut dengan dengan pluralisme. Bagi Gus Dur, pluralisme yang dipahami sebagai keberagaman dan sikap saling menghormati merupakan keniscayaan yang sama sekali tidak boleh dipertentangkan. Hal ini dikarenakan, jika kita mempertentangkan keberagaman itu, maka sebenarnya kita sedang mempertentangkan Tuhan yang telah menciptakan keberagaman di muka bumi ini. Pluralisme harus dipahami sebagai kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Layaknya manusia yang mempunyai pandangan keyakinan sendiri-sendiri, tetapi dalam kehidupan sosial mereka juga butuh bantuan antar sesama manusia lainya, maka tidak bisa dipungkiri jika berbeda agama juga membutuhkan bantuan manusia lain yang juga berbeda agama. Maka dari itu, keadaban kita dalam menjalani kehidupan harus saling toleransi dan saling membantu antar sesama walaupun adanya sebuah perbedaan. Pluralisme dalam beragama dapat diwujudkan dengan cara menghormati hak-hak berkeyakinan, sehingga ketika ada rasa toleransi yang kita contohkan kepada seluruh agama maka kita bisa memberi taulada yang baik.
Pluralisme merupakan salah satu wacana yang tepat dalam menyongsong peradaban Islam yang ideal. Hal ini juga diterapkan di Masyarakat Desa Muneng Kabupaten Madiun dalam kegiatan sosial beragama. Masyarakat Desa Muneng menganggap bahwa pluralisme adalah kunci yang tepat untuk Islam yang ideal. Sebab, pada pokok pemikiran ideal itu meyakini bahwa adanya Tuhan merupakan ide tertinggi dari sebuah kejadian alam semesta. Selain itu, dalam pemikiran pluralisme menganggap bahwa kebutuhan humanis itu akan selalu ada dengan memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, awal mula pemikiran dan penerapan pluralisme dalam beragama yang dianut masyarakat Desa Muneng itu diwujudkan dengan kegiatan saling berinteraksi serta bersosialisasi dengan berbagai perbedaan kepercayaan, sehingga tidak mungkin kalau dalam kegiatan itu mengesampingkan agama lain. Oleh karenanya cara itu agar tetap berjalan bersamaan, akan tetapi berkaitan dalam konsep Aqidah tetap pada kepercayaan masing-masing yang dianutnya. Artinya, dalam pluralisme terdapat suatu sikap penerimaan dan pada saat yang sama juga menghormati antar kemanusiaan (hak asasi manusia), jadi pada dasarnya pluralisme atas dasar kemanusiaan bukan tentang toleransi berlebihan.
Sehingga pada penerapannya, pluralisme masyarakat Desa Muneng diimplementasikan dalam sebuah kegiatan masyarakat yaitu metil`an. Metil`an sendiri merupakan tradisi upacara yang dilakukan dengan membawa nasi, ingkung ayam, disertai membaca doa, dan tahlil yang dikuti seluruh warga yang memiliki sawah tanpa terkecuali, agama apapun itu. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur para petani kepada Tuhan atas limpahan hasil panen yang memuaskan. Dalam kegiatan itu sudah membuktikan bahwa nilai toleransi dan saling menghormati akan mengantarkan kepada keharmonisan dan kerukuranan dalam bernegara, beragama, dan berbudaya. Masyarakat Desa Muneng memandang pluralisme sangat relevan dalam menyongsong peradaban Islam yang ideal. Salah satunya dengan gerakan transedensi, yakni usaha dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT, melalui ibadah-ibadah yang dilakukanya. Untuk memelihara kesempurnaan sebagai insan yang ideal, gerakan trasendensi yang dilakukan masyarakat Desa Muneng merupakan upaya mendekatkan diri dengan cara beribadah sekaligus mengamalkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dengan berbagi rejeki yang mereka punya kepada semua orang tanpa terkecuali ras dan agama.
Tolak ukur Islam yang ideal bukanlah hanya pandai dalam kajian fiqih dan tajwid saja, tetapi juga pandai dalam analisa lingkungan dengan berbagai karakter kultur dan perbedaan. Sehingga dalam menyiasati terjadinya kesalahan dan penyimpangan akan mempermudah dalam mencari solusinya. Itu sebabnya masyarakat Desa Muneng dalam memandang Islam yang ideal harus menggunakan kaca mata kasih sayang dalam arti melihat permasalahan dengan hati dan rasional yang dipadukan secara bersamaan dalam menganalisanya. Maka dari itu pluralisme menjadi sebuah alat yang digunakan masyarakat Desa Muneng dalam penerapan hidup bernegara, beragama, dan berbudaya secara berkesinambungan.
Islam adalah agama yang universal, agama yang mampu menghadapi berbagai persoalan dalam hidup manusia dari lahir sampai ajalnya, dan sekaligus relevan sampai kapanpun dan dimanapun. Maka dari itu, nilai-nilai dan ajaran Islam tidak mungkin menyesatkan seseorang yang menganutnya dalam beragama Islam, kecuali orang itu sendiri membuat sesatnya. Sesat itu perkara yang tidak rasional, sebab ketika dalam keadaan tersesat orang akan bingung mana yang benar dan mana yang salah. Bisa jadi ketika seseorang tersesat dalam ajaran Islam berarti orang tersebut tidak dapat berpikir dengan jernih sehingga tidak bisa membedakan mana yang rasional dan tidak rasional. Oleh karena itu, perlu dicermati dan dipahami lagi jika ada seseorang bergama Islam yang menganggap pluralisme merupakan pemikiran yang sesat, sebab dalam penerapanya pluralisme merupakan toleransi yang berlebihan dan ikut campur dalam urusan Agama lain. Dari kutipan berikut berarti mereka tidak paham akan esensi dari pluralisme, bukan toleransi yang berlebih ataupun ikut campur, akan tetapi dari pengertian Islam ideal dan Islam adalah agama universal. Itu sudah cukup bukti sebagai landasan dasar akidah bahwa pluralisme itu dilandasi atas sebuah kemanusiaan. Pada dasarnya bukan toleransi yang berlebihan, akan tetapi sesama manusia kita diwajibkan saling menolong, saling toleransi, dan Islam itu harus bisa saling merangkul walaupun ada batasan dalam berkeyakinan.
Nilai-nilai pancasila yang dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia juga di dalamnya terkandung nilai-nilai Pluralisme. Oleh karena itu, di dalam pemikiran pluralisme menjaga perdamaian, identitas global dianggap lebih penting dari pada identitas individu maupun kelompok. Moralitas bangsa Indonesia yang mengedepankan asas gotong royong dan toleransi membuktikan berbagai perbedaan suku, ras, dan agama tidak menjadikan batasan untuk saling toleransi dan saling membantu. Negara Indonesia itu terbentuk sebab asas gotong royong dalam menggapai kemerdekaan secara bersamaan, sehingga tidak dapat suatu golongan suku, budaya ataupun agama mengakui kepemilikian Indonesia secara pribadi. Sehingga perlu diketahui bahwa Indonesia itu milik semua. Maka dari itu nilai-nilai pluralisme sangat relevan dijadikan landasan beragama Islam di Indonesia agar saling rukun dan berjalan sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain. (EN)
BIODATA PENULIS
Syaiful Anwar adalah mahasiswa program studi Psikologi Islam. Selain kuliah, penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi. Hal ini ditunjukkan dari beberapa pengalaman organisasinya, meliputi CO Keagamaan PMII Rayon Aufklarung Saka Negara tahun 2019-2020, CO Keintelektual HMPS Psikologi Islam IAIN Kediri 2019-2020, dan CO Minat Bakat Dema Ushuludin IAIN Kediri 2020-2021.
No comments