Masih terngiang jelas di ingatan, pagi-pagi buta sekerumun orang beramai-ramai di seantero jalan sepetak pinggiran trotoar dan lapangan membawa aneka ragam makanan. Ada yang dipikul, didorong pakai gerobak ataupun ditaruk pada talam-talam berukuran jumbo. Ternyata hari itu bertepatan dengan perayaan sedekah bumi (tradisi nyandran). Trandisi masyarakat yang telah berjalan berabad-abad, turun temurun. Sebagian warga menilai sedekah bumi adalah warisan para ulama sejak dulu, buktinya, setiap tahun panen sawah mereka selalu mujur. Orang Islam disana beranggapan bahwa tradisi nyandran dapat mendatangkan berkah, sekaligus menghidupkan rasa bermasyarakat.
Islam di Bojonegoro sebenarnya tidak beda jauh dengan daerah lain. Hanya saja, iklim pegunungan dan nuansa pedesaan membuat karakter masyarakatnya ikutan sejuk, murah senyum, saling sapa dan peduli sesama. Islam disana kental dengan tradisi. Islam masuk melalui asimilasi budaya. Tidak ada istilahnya tradisi bertentangan degan Islam. Yang dikira bertentangan, oleh ulama dipengkok sedikit menjadi pola-pola kehidupan yang tentram. Disitulah letak indahnya Islam disana, tradisi dan Islam tak ubahnya seperti dua mata uang; saling bersimbiosis. Seperti tradisi Hari Kamis Pon (penggalan di Jawa), slametan dan kirim doa ke ruh-ruh nenek moyak mereka, dulunya diangap memuja kuburan atau pohon, kemudian Islam datang dengan merubah tujuan, namun tradisinya tetap utuh.
Kesejukan Islam di Bojonegoro tersembul dari para ulamanya dulu. Perjuangan mereka menyebarkan islam gigih dan tidak mengenal lelah. Tersebutlah Mbah Hasyim dan Mbah Sabila. Dengan sabar penuh penolakan, beliau-beliau ini merintis penyebaran islam di Bjononegoro. Segala cara dilakukan oleh beliau untuk menyebarkan islam di Bojonegoro. Salah satunya dengan membangun langgar (mushola kecil) yang kemudian berkembang menjadi masjid dan pesantren. Hingga saat ini masih banyak musholla-musholla berjejeran di setiap desa, bahkan setiap RT mempunyai satu sampai dua langgar. Bukan hanya langgar, masjid pun juga ada di setiap desa. Untuk apa ada bangunan-bangunan langgar di setiap desa? Ya tentu bangunan-bangunan tersebut dugunakan untuk syi’ar islam. Bisa jadi dibuat jamaa’ah, ngaji, lantunan sholawat, dll.
Pesantren yang awalnya dirintis oleh Mbah Hasyim dan Mbah Sabila, kini jejaknya juga diikuti oleh para kyai-kyai. Saat ini sudah banyak sekali bangunan-bangunan pesantren dijadikan tempat untuk mencari ilmu bagi para santri. Santri-santri ini digodok dengan ajaran Islam seperti tauhid, akhlak dan tasawuf. Nantinya merekalah sebagai penerus da’I Islam, yang akan menjaga sangkolan para kiai untuk menjaga agama dan tradisi. Makanya tidak heran, kalau santri di Bojonegoro pintar-pintar baca kitab kuning. Wong setiap langgar diajari baca kitab.
Para santri tidak diam saja, mereka bukan tipe generasi yang –meminjam istilahnya Dr. Limas Dodi- berego konservatif. Pikiran mereka maju. Islam semakin berkembang dari waktu ke waktu. Komunitas sosial mulai dibentuk mulai dari yang muda, ibu-ibu sampai dengan pentolan tokoh masyarakat. Komunitas Ibu-Ibu membentuk Muslimat Nahdhatul Ulama dan Fatayat NU, yang muda-muda tergabung pada IPNU dan IPPNU dan pemuda Ansor. Organisasi ini benar-benar hidup disana, kegiatan keagamaan tidak pernah absen setiap minggu.
Hal inilah yang membuat keislaman di Bojonegoro terjaga dari serangan-serangan paham baru yang tidak sehat di otak. Seperti yang digambarkan Islam radikal di daerah-daerah lain. Saat ini terdapat banyak sekali pemikir-pemikir muslim yang mengkaji masalah keislaman, baik yang berdedikasi di perguruan tinggi maupun bukan. Tapi sering kali output dari sarjana-sarjana muslim yang telah mengkaji maslaah keislaman masih belum mumpuni, bahkan kurang maksimal serta belum berdampa luas di masyarakat, Yang menyedihkan adalah wajah keislaman di sini hanya dijejeli dengan pengajian-pengajian atau khutbah-khutbah saja, bukan pemikiran islam yang didasarkan pada riset, studi, atau ilmiah.
Model Islam seperti ini bukan tidak dipahami oleh mereka. Islam itu memang luas, bisa dilihat dari semua sisi. Yang terpenting adalah tujuannya sama. Semua masyarakat serentak melasanakan ajaran Islam yang sama, memang kita sama-sama Islam, Islam hanya satu namun syari’at-syari’at yang dianut itu mungkin berbeda. Seperti halnya adanya NU dan Muhammadiyah, ada kelompok tertentu yang pro dan mengikuti NU, ada juga kelompok yang mengikuti aliran Muhammadiyah. Jika ditelaah lagi, dua-duanya sama-sama Islam, sama-sama menjalankan ajaran islam, namun secara praktek nya mereka berbeda, sesuai dengan syari’at yang dianut.
Itulah keistimewan Islam di Bojonegoro, sekalipun terdapat perbedaan pemahaman tentang Islam, tapi disatukan oleh kultur dan budaya setempat. Terkadang muncul keegoisan ingin dihormati dan ditokohkan, namun seketika luntur oleh rasa sosial yang muncul. Semua masyarakat Islam merasa sama, tidak ada yang unggul ataupun paling paham agama. Etika Islam seperti ini, terjalin turun temurun tak lekang oleh waktu. Sangat indah Islam di Bojonegoro, sejuk dan tentram. (@D)
* Penulis adalah Siska Dwi Efayanti: Mahasiswi Aktive IAIN Kediri (siskaeva1998@gmail.com)
No comments