Sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo tidak terlepas dari penyebaran agama Islam. Sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo sendiri teranalogi dengan sebutan kota religi karena sejarahnya. Setelah proses panjang sejak jaman penjajahan Hindia-Belanda dan proses penyebaran Islam di Indonesia dan Jawa Timur, beberapa sumber menyebutkan bahwa masuknya penyebaran agama Islam di Sidoarjo berawal dari asal mula Masjid Al-Abror yang ada di Kampung Kauman Jalan Gajah Mada. Islam sendiri telah masuk di Pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah 1349-1406 ke Gresik.
Komunitas Muslim pertama diberitakan oleh Man Huan yang mengatakan bahwa antara tahun 1415-1432 di Jawa bagian Timur terdapat tiga kelompok komunitas. Pertama, adalah penduduk Muslim yang berasal dari Barat, kedua komunitas Cina yang beberapa di antaranya telah memeluk Islam, dan ketiga penduduk pribumi sedikit tetapi setidaknya telah ada indikasi adanya pemukiman Islam. Islam pertama kali memasuki Jawa Timur pada abad ke-11. Bukti awal masuknya Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam Islam atas nama Fatimah binti Maimun di Gresik bertahun 1082, serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam kerajaan Majapahit. Melihat makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslim Fathimah binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475 H 1082 M, serta makam ulama Persia Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882 H 1419 M menjadi tanda bukti bahwa waktu itu masyarakat biasa di Gresik banyak yang menganut agama Islam.
Pada waktu zaman Prabu Kertawijaya 1447 M para bangsawan dan punggawa telah ada yang menganut agama Islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan Islam di wilayah Timur, di Persia, Afghanistan, Baluctistan sekarang Pakistan di India sungai Gangga sampai Benggala. Di tanah Aceh dan Malaka dapat tersebar dengan cepat di kota pelabuhan Jawa. Keadaan yang demikian merupakan sumbangan moral dan kebanggaan dalam hati rakyat Majapahit yang sedang rapuh karena gila jabatan.
Apalagi Islam progresif terhadap agama Hindu saat itu. Penyebaran Islam di Jawa Timur tak lepas dari peran Walisongo. Lima wali di antara sembilan wali yang menyebarkan Islam di pulau Jawa berada di wilayah Jawa Timur. Lima wali tersebut adalah Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Gresik di Gresik, Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, dan Sunan Bonang di Tuban. Ada banyak sekali prasasti atau bukti sejarah yang menerangkan bahwa Islam pernah jaya di Pulau Jawa terutama Jawa Timur salah satunya yaitu masjid-masjid tertua yang ada di semua kota Jawa Timur.
Di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, yang identik dengan sebutan kota religi, memiliki sejarah cukup panjang semenjak jaman penjajahan Hindia-Belanda. Terkait dengan proses penyebaran Islam di Indonesia dan Jawa Timur khususnya. Beberapa sumber sejarah menyebutkan, mulai masuknya penyebaran agama Islam di Sidoarjo berawal dari Masjid Al-Abror yang ada di Kampung Kauman Jalan Gajahmada Sidoarjo, atau berada di belakang pertokoan Matahari Gajahmada. Banyak sejarah menarik yang mungkin orang belum diketahui banyak terkait Masjid Jami’ Al-Abror ini. Seperti diungkapkan ketua takmir H. Zainun Chasan Alie, menurutnya masjid sudah beberapa kali renovasi. “Renovasi terakhir pada tahun 2007, kalau berdirinya masjid ini tercatat pada tahun 1678,” jelasnya.
Beberapa informasi mengatakan keberadaan masjid ini adalah Masjid Tiban, yakni masjid yang sudah ada kerangka pondasinya tetapi belum ada bangunannya. Pembangunan masjid ini sendiri kata Zainun, tak lepas dari peran besar empat orang yang kini makamnya ada di bagian depan masjid. Seperti sejarah yang ada kata Zainun, saat itu ada seorang berasal dari Jawa Tengah bernama Mbah Mulyadi yang datang ke kampung Kauman. “Mbah Mulyadi ini berasal dari Demak, ia lari ke sini Kauman karena ada pemberontakan Trunojoyo,” ujarnya. Saat berada di Kauman inilah, Mbah Mulyadi ini menemukan pondasi masjid yang selanjutnya ia bersama tiga orang lainnya yang sudah ada di kampung Kauman yakni Mbah Badriyah, Mbah Sayid Salim, dan Mbah Musa, bersama sama membangun Masjid Al-Abror ini. Kisah pendirian Masjid Al-Abror erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo yang awalnya masih bernama Kadipaten Sidokare. Masjid yang terletak di timur sungai Jetis ini mengalami pemugaran pada 1859 dilakukan oleh bupati pertama Sidokare, R Notopuro RTP Tjokro negoro. Karena beberapa kali mengalami renovasi kini bagian masjid yang masih utuh hanya tinggal gerbang utara yang bentuknya terus dijaga dan tidak ada pemugaran. “Meski banyak mengalami renovasi hingga kubah atap berubah menjadi lebih megah, tetapi ada satu sisi bangunan yang tidak pernah berubah sampai sekarang. Yakni, pintu gerbang di sebelah utara,” jelasnya.
Secara umum bangunan Masjid Al-Abror menempati lahan seluas 700 meter persegi, dengan konsep kultur Jawa yang kental, yang dilukiskan pada tekstur tiga atapnya, yang menggambarkan Iman, Ikhsan, dan Islam. Sementara, di bagian barat masjid terdapat makam para pendiri Masjid yang sering disinggahi peziarah. Salah satu tradisi di Masjid Al-Abror yang tidak pernah hilang hingga sekarang adalah ngaji kitab yang rutin dilakukan tiap hari. Pengajian kitab kuning ini dilakukan setiap hari selesai salat Magrib. “Kalau saat ini bulan puasa dilakukan sebelum maghrib,” jelasnya. Hal yang menarik di halaman Masjid Al-Abror ini ada sebuah pohon kurma besar. Namun, mulai ditanam hingga sekarang keberadaan pohon kurma ini belum pernah berbuah. “Nah itu dari dulu sampai sekarang kok tidak pernah berbuah pohon kurma itu,” kata Hamim warga sekitar Masjid Itulah sedikit cerita singkat tentang hubungan fenomena Al-Abror dengan sejarah Islam di Sidoarjo, jika menilik tahun masuk Islam di Sidoarjo itu tidak bisa menerangkan secara detail karena pada masa Islam masuk di Nusantara khususnya Jawa Timur Sidoarjo sendiri belum menjadi suatu kota atau kabupaten sendiri masih menjadi satu kesatuan dengan wilayah kekuasaan Majapahit. Karena dilihat dari tahun masuknya Islam di Jawa Timur saat jauh sekali dengan berdirinya kabupaten Sidoarjo, Islam masuk pada abad ke-11. Sedangkan, kabupaten dibentuk pada tahun 1859 oleh pemerintah Hindia Belanda.
Membahas tentang aliran fenomenologi, fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan, logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Pada aliran fenomenologi, adanya masjid ini sebagai bukti konkrit bahwa Islam masuk di Kabupaten Sidoarjo benar adanya. Fenomena masjid sebagai objek yang dijadikan bukti masyarakat dipercaya sebagai peninggalan pada saat penyebaran agama Islam diwilayah ini. Masjid Al-Abror sebagai satu-satunya peninggalan yang ada di Kabupaten Sidoarjo terus dikaji, dengan demikian pengetahuan tentang sejarah masuknya Islam di Sidoarjo dapat dianalogikan secara empiris sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat sekitar.
Rupanya masjid ini berusia 341 tahun dan berdiri sekitar pada tahun 1678. Bangunan tuanya hanya menyisakan dua tanda peninggalan bangunan Tahun 1678. Yakni pintu masuk sisi utara masjid dan tempat pemakaman Mbah Moelyadi sebagai pendiri masjid yang terletak di depan Imam serta penunjuk waktu sholat dengan hitungan sinar matahari. Disekitar masjid Al-Abror juga terdapat pusat perbelanjaan, maka dari itu letak pusat Kabupaten Sidoarjo berada di Jalan Gajahmada. Mulai dari pasar pekauman yang berada bersebelahan dengan masjid, pusat batik tulis khas Sidoarjo yang terletak dibelakang masjid, dan pasar modern atau Plaza Sidoarjo yang juga bersebelahan dengan masjid tersebut. Kegiatan dimasjid Al-Abror selain sebagai tempat keagamaan seperti beribadah juga sebagai tempat pendidikan, seperti rutinitas ngaji kitab kuning setiap ba’da magrib. (DEW)
Biografi Penulis
Mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam di IAIN Kediri. Selain sibuk mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi. Organisasi tersebut antara lain:
- Anggota karang taruna dan remaja masjid ds.Ngelom
- Anggota PAC IPNU-IPPNU Ranting Ngelom
- Bergabung dalam anggota organisasi PMII Rayon Aufklarung Saka Negara IAIN Kediri.
- Sebagai anggota orda atau organisasi daerah FORSIDA (Forum Mahasiswa Sidoarjo IAIN Kediri).
Beberapa prestasi yang pernah diraih antara lain:
- Juara 1 Fesban tingkat SMA/SMK umum yang diadakan di UMAHA tahun 2018
- Juara 3 Fesban umum yang diadakan di Masjid Agung Al-Akbar Surabaya tahun 2018
- Juara 1 Qiroat umum yang diadakan di PP.An-Nidhomiyyah tahun 2019
Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail diananoerf@gmail.com
No comments