Seperti diketahui bersama bahwa isu tentang kesehatan mental sudah terjadi sejak zaman dahulu. Kini, kasus kesehatan mental yang dialami oleh masyarakat Indonesia terutama kaum muda semakin menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya, tidak sedikit orang yang merasa insecure (resah) karena disebabkan oleh dirinya sendiri, merasa kurang nyaman, atau kurang percaya diri dengan apa yang dimilikinya. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan kesehatan mental, karena masih beranggapan bahwa persoalan kesehatan hanya dilihat dari segi fisik saja. Nampaknya stereotip mereka terdogma oleh kalimat “Jika fisiknya tampak sehat, berarti dia baik-baik saja”. Kendati demikian, padahal bisa jadi jiwanya sedang terguncang.
Dilansir dari data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada 2018, memaparkan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%. Sedangkan, prevalensi gangguan mental emosional pada masyarakat usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 % pada 2018. Artinya, sekitar 12 juta masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas mengalami masalah kesehatan mental.
Senada dengan hal tersebut, WHO (World Health Organization) mengatakan, di era digital saat ini generasi milineal lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental. Hal ini dikarenakan terjadinya masa transisi dan adaptasi diri baik secara fisik, psikologis, emosional maupun finansial yang dialami oleh anak muda. Misalnya, tuntutan lingkungan seperti gaya hidup, fashion, pekerjaan, pendidikan, pergaulan dan lain-lain.
Bukan hanya perubahan hidup yang dialami oleh anak muda. Namun, media sosial dan industri kecantikan juga ikut berkontribusi besar dalam maraknya ganguan kesehatan mental yang dialami oleh para remaja. Media sosial seakan-akan mengonsep standar pola pikir manusia bahwa kehidupan yang diperlihatkan melalui layar kaca adalah kehidupan ideal yang didambakan oleh setiap orang. Padahal bisa jadi semua kehidupan yang dipamerkan itu jauh dari realistik yang sesungguhnya. Hal inilah yang mengindikasikan adanya tekanan dan beban pikiran para generasi muda karena selalu membandingkan hidupnya dengan orang lain. Akibatnya, orang-orang seperti demikian merasa hidupnya jauh dari kesempurnaan.
Di sisi lain, penelitian yang berjudul “A Tool to Help or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia” dalam International Journal of Mental Health and Addiction menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan mental karena dapat menyebabkan depresi. Pernyataan tersebut didukung oleh bertambahnya jumlah penggunaan media sosial yang dikorelasikan dengan peningkatan skor Center for Epidemiological Studies Depression/CES-D atau skala depresi pada seseorang sebesar 9%.
Mengapa industri kecantikan juga ikut andil dalam kasus gangguan kesehatan mental para generasi muda? Karena produk-produk kecantikan ini berusaha membuat iklan semenarik mungkin sehingga membuat para konsumennya merasa insecure (resah) karena tidak memiliki standar kecantikan seperti yang dipertontonkan. Akhirnya dari keresahan itu banyak orang yang berbondong-bondong memakai produk tersebut karena ingin memenuhi standar kecantikan yang diciptakan melalui iklan. Dari sinilah para industri kecantikan mengambil keuntungan dari keresahan orang-orang tentang standar kecantikan yang sebenarnya tidak ada.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, suatu yang perlu dipahami bersama bahwa feminisme itu berbeda-beda. Standar kecantikan itu hanyalah sebuah asumsi yang disepakati dan dibenarkan oleh kebanyakan masyarakat. Standar tersebut bisa berubah sewaktu-waktu dan tidak mungkin sama antara satu tempat dengan tempat yang lain. Misalnya di Indonesia orang dianggap ideal jika berkulit putih, memiliki postur tubuh yang tinggi, langsing, berambut hitam. Pandangan seperti itu belum tentu sama di negara lain, seperti di Brazil wanita dianggap ideal jika berambut pirang, bentuk mata yang ideal, kulit gelap, serta bertubuh curvy namun atletis.
Hal ini tidak hanya dialami oleh para wanita saja, tak jarang laki-laki juga mengalami hal seperti ini. Namun laki-laki cenderung diam dan memendamnya sendiri karena merasa malu dengan kemaskulinannya. Beda dengan wanita yang bisa melampiaskannya dengan berbagai ekspresi.
Kesimpulannya, para generasi muda harus mulai menyadari jika mereka merasakan hal tersebut. Hal ini memang terlihat remeh dan sering diabaikan. Akan tetapi jika dibiarkan akan berdampak besar bagi kehidupannya kelak di masa depan. Mereka akan merasa minder dan tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga dapat menghambat cita-citanya. Oleh karena itu, generasi muda harus berusaha menjaga kesehatan mentalnya agar terhindar dari stres dan insecure (resah). Hal itu bisa berawal dari peduli terhadap diri sendiri, karena dengan mencintai diri sendiri kita mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Olah raga secara teratur, filteralisasi terhadap penggunaan media sosial, serta selalu berusaha mengimprovasi diri sendiri untuk memenuhi setiap tugas perkembangan sesuai porsi usia masing-masing, itu pun juga akan turut membantu menjaga kesehatan mental kita. Love yourself means you respect all what yourself have! Salam… (DEW)
*Vina Khoirun Nisa’ adalah Mahasiswi Aktif IAIN Kediri (Email: khoirunnisavina27@gmail.com)
No comments