Utopia Keilmuan Kita

0

Siapapun, setinggi apapun ilmunya, dukun ataupun ahli epidemiologi sekalipun di dunia, tidak mampu memprediksi kapan pandemi ini berakhir. Dulu kita sempat optimis, Bulan Juni 2020, Indonesia akan kembali normal, seperti yang WHO sampaikan. Justru hingga kini, pandemi menyebar sampai ke pelosok-pelosok desa. Semakin disadari, kalau kita tidak sedang berhadapan dengan karya atau skenario buatan manusia. Yang harus dilakukan adalah dua hal; menjadi manusia yang bermanfaat dan tidak merusak.

Ilmu itu adalah egoisme, Plato pernah berucap begitu. Egoisme merasa paling benar (walaupun di jalan yang salah), pendapat lain dianggap keliru, kritik dihujamkan dimana-mana, bahkan terkadang mendekati kerusakan. Egoisme, ilmu dapat menjelma menjadi iblis, bisa pula menjadi malaikat penyelamat. Egoisme, hal yang dilakukan benar, sekalipun menurut akal jelas tak kaprah. Seolah Plato ingin mengungkapkan, bahwa setinggi apapun ilmu manusia, ada batasnya. Saat ini, utopia keilmuan kita ditampakkan oleh yang Maha Kuasa. Keterbatasan keilmuan kita, dari kedokteran, sosial, pendidikan, ekonomi, tampak jelas menuai lemah.

Kritik mengkritik berhamburan. Ahli pendidikan mengatakan, “kenapa dunia kedokteran tak kunjung menemukan vaksin”. Tak mau kalah, kedokteran balik bertanya, “apa peran perguruan tinggi selama ini”. Ditengahi oleh sosiolog, “tidak usah saling menyalahkan, pikirkan saja bagaimana masyarakat bisa tetap makan”. Terakhir ekonom ikut protes “negara bisa krisis kalau pandemi ini belum berakhir”. Parsialisme keilmuan tak lagi saling mendukung dan menopang, karut marut seperti ucapan John Lock “jika ilmu tidak mampu memanusiakan manusia, maka ilmu tersebut perlu dipertanyakan”. Untuk kesekian kalinya, utopia keilmuan kita tidak berada pada tempatnya.

Seolah ramalan al-Jazari (1100 M.) benar adanya, model keilmuan generasi selanjutnya terkotak-kotakkan, kecil tidak dalam dan tidak lebar. “Kecil” sama dengan terkonsentrasi pada satu bidang keilmuan, “tidak lebar” disamping hanya satu bidang juga tidak mendalam. Berbeda dengan dulu, ilmu seperti pohon asam; dalam dan lebar. Artinya, seluruh bidang ilmu dikuasai (kedokoteran, filsafat, fiqh, pendidikan, matematika) dan itupun dikuasai dengan sangat mendalam pengetahuannya. Meskipun begitu, dalam komentar al-Idrisi (Abad ke-12), ilmu manusia itu terbatas, sejengkal dari luas samudera.

Dari beberapa artikel, opini atau surat kabar, tak jarang mempertontonkan adegan “saling menyalahkan” atau “perasaan pesimis” antar para ilmuan. Malu drama demikian, terjadi tanpa dialektika yang logis. Malu pada ilmu, kita seperti kena khitab dari singgungan ayat dalam al-Quran “apakah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu?” Masih lekat diingatan, saat Imam as-Syafi’ie bertamu kediaman Imam Hanafi, sekalipun pendapat ahli fikih ini kerap ikhtilaf, namun mereka tidak pernah saling menyalahkan. Dialektika keilmuan mereka berjalan pada arus pola kehidupan masyarakat yang beragam.

Sudah saatnya lidi yang berserakan itu diajumi menjadi sapu, hierarki utopisme keilmuan seperti yang al-Ghazali teriakan dulu. Ibnu Sina (ahli kedokteran), al-Khawarizmi (ahli Matematika), Ibnu Sina (ahli kedokteran) dan Ibnu Khaldun (ahli sosiolog), mengajumi seluruh bidang ilmu menjadi solusi. Di masa-masa beliau-beliau itu, bukan mereka tidak ahli di bidang lainnya. Namun kehebatan mereka , ditunjang oleh kondisi masyarakat saat itu. Saat ini pun sama, semua keilmuan disatukan untuk memecahkan masalah.

Yang bidang tarbiyah (pendidikan), fokus untuk mencerdaskan generasi dengan cara apapun di masa pandemi; yang bidang ekonomi, fokus untuk membuat terobosan-terobosan produktif mikro ataupun makro; yang bidang sains dan tekhnologi, fokus medesain kemudahan pelayanan dan akses; yang bidang hukum, fokus pada penyusunan regulasi di era pandemi; yang bidang kedokteran, fokus menemukan vaksin dan menyembuhkan pasien. Keilmuan kita tidak lagi utopis. Semua ilmu berjalan pada jalurnya. Salam… (@D)

Basar Dikuraisyin, M.H.*

Basar Dikuraisyin, M.H.*

* Basar Dikuraisyin, M.H adalah Dosen UINSA-Surabaya, dan juga Editor dipenerbit nasional (Email: basardikuraisyin@uinsby.ac.id)

highlight

About author

No comments

HEDONISME LEBARAN INDONESIA DI MUSIM CORONA

Membaca buku Mocthar Lubis dalam mendeskripsikan karakter utama manusia Indonesia membuat saya mengernyitkan dahi. Beliau  mendeskripsikan manusia Indonesia dengan penuh hal-hal negative seperti  manusia Indonesia ...