Indonesia merupakan negara yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau, dan memiliki ragam suku serta budaya. Salah satunya Pulau Jawa, Pulau Jawa memiliki penduduk sekitar 16 juta, termasuk pulau berpenduduk terbanyak di Indonesia. Jawa adalah pulau yang relatif muda dan sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini, dengan dataran endapan aluvial sungai di bagian utara.
Banyak kisah sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu–Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Sebagian besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 100 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah orang-orang dwibahasa, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Dua bahasa penting lainnya adalah bahasa Sunda dan bahasa Betawi. Sebagian besar penduduk Pulau Jawa beragama Islam, tetapip tetap terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini. Di Pulau jawa sendiri terbagi menjadi beberapa provinsi, salah satunya provinsi yang kini penulis tinggali, yaitu Jawa Timur, di provinsi ini terdapat beberapa kota, dan kota yang penulis tinggali saat ini adalah Kota Kediri.
Kota Kediri merupakan kota terbesar ketiga di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang menurut jumlah penduduknya. Luas wilayah Kota Kediri adalah 63,40 km² atau (6.340 ha) dan merupakan kota sedang di Provinsi Jawa Timur. Terletak di daerah yang dilalui Sungai Brantas dan di antara sebuah lembah di kaki gunung berapi, Gunung Wilis dengan tinggi 2.552 meter. Kota berpenduduk 312.000 (2012) jiwa ini berjarak ±130 km dari Surabaya, ibu kota Jawa Timur terletak antara 07°45′-07°55’LS dan 111°05′-112°3′ BT.[8] Dari aspek topografi, Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 meter di atas permukaan laut, dengan tingkat kemiringan 0-40%.
Struktur wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai Brantas, yaitu sebelah timur dan barat sungai. Wilayah dataran rendah terletak di bagian timur sungai, meliputi Kecamatan Kediri dan Kecamatan Pesantren, sedangkan dataran tinggi terletak pada bagian barat sungai yaitu Kecamatan Mojoroto yang mana di bagian barat sungai ini merupakan lahan kurang subur yang sebagian masuk kawasan lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung Maskumambang (300 m). Kota Kediri terdiri dari 3 kecamatan dan 46 kelurahan. Salah satunya desa yang penulis tinggali, yaitu Desa Kaliombo yang terletak di perbatasan antara Kecamatan Kota dan Kecamatan Pesantren, tetapi masih memasuki wilayah Kecamatan Kota. Di Desa Kaliombo ini wilayahnya sangat luas sampai dibagi menjadi beberapa sebutan nama yaitu Desa Kaliombo sendiri, Corekan, Perumahan Bumi Asri, Ngloji, dan masih banyak lagi. Namun, yang ingin penulis bahas di sini adalah Desa Kaliombo secara keseluruhan yang memiliki adat istiadat berbeda dengan desa lainnya.
Desa Kaliombo, mengapa disebut Kaliombo? Menurut Bahasa “Kali” yang artinya sungai, dan “Ombo” yang artinya luas, Kaliombo berarti sungai yang luas, tetapi hal ini berbeda dengan nama aslinya, bukan berarti desa ini hanya berisikan sungai tetapi desa ini diapit atau dikelilingi oleh banyak sungai mulai dari sungai kecil hingga besar, terdapat banyak sungai kecil yang terhubung dengan sungai besar, dan sungai besar itu merupakan sungai Brantas, dan ada beberapa orang juga mengatakan bahwa desa ini disebut Kaliombo karena jika hujan jalan raya yang biasanya digunakan oleh kendaraan menjadi sungai yang lumayan dalam. Namun, juga cepat surut jika hujan telah berhenti.
Setelah penulis menyebutkan tentang Desa Kaliombo, kini penulis ingin bercerita mengenai adat istiadat yang ada di Desa Kaliombo. Desaku dikenal dengan adat istiadatnya jika ingin mengadakan hajatan atau acara besar yang sakral maka harus mengirim doa atau seserahan kepada nenek moyang yang ada di desa tersebut. Contoh dari acara sakral tersebut adalah pernikahan, khitanan, membangun rumah, dan masih banyak lagi. Selain itu, jika ingin mengadakan pertunjukan wayang dan juga jaranan juga biasanya orang atau masyarakat setempat harus mengirim sesajen ke nenek moyang tersebut.
Yang dimaksud dengan nenek moyang di atas adalah seseorang yang dahulunya atau seseorang yang pertama kali tinggal di desa tersebut. Beliau di makamkan di tengah-tengah Desa Kaliombo dan beliau juga dihormati oleh warga setempat karena kebajikan yang dilakukan semasa hidupnya. Beliau bernama Ageng, karena beliau sudah sepuh dan warga mengenalnya sebagai sesepuh di Desa Kaliombo, maka beliau dipanggil dengan sebutan Mbah Geng. Untuk asal-usul mengapa nama beliau seperti itu kurang jelas juga informasi yang penulis dapat.
Seperti yang penulis katakan tadi bahwa beliau sudah wafat sangat lama yang makamnya berada di tengah Desa Kaliombo, dan dahulu waktu penulis kecil di sebelah makam terdapat pohon beringin yang sangat tua dan besar, banyak warga dulu percaya bahwa pohon tersebut pernah ambruk atau roboh. Namun, setelah pohon tersebut dipotong agar tidak menghalangi jalan keesokan harinya pohon tersebut berdiri kembali dan utuh, bahkan orang yang memotong pohon tersebut telah meninggal yang penyebabnya sampai sekarang tidak diketahui. Hal inilah yang menyebabkan makam tersebut dapat dikatakan sakral, dan beliau juga dikenal sebagai tokoh penting di desa ini. Dan juga adat istiadat yang ada di Desa Kaliombo juga tidak dapat terlepas dari hal ini.
Meski hal-hal yang terjadi adalah mitos belaka atau tidak adanya bukti yang kuat, tetapi hal-hal yang tidak terduga dapat terjadi dan dapat dikaitkan dengan beliau. Salah satu contoh hal mistis yang mau tidak mau dan percaya tidak percaya hal tersebut kejadian.
Hal mistis itu adalah warga Desa Kaliombo terlebih lagi yang rumahnya berdekatan dengan makam Mbah Geng ini jika ingin mengadakan hajatan besar, yaitu pernikahan, khitanan, mengadakan tontonan wayang maupun kesenian jaranan, warga harus memenuhi persyaratan dengan mengirimkan sesajen atau sesaji yang diletakkan di ruangan yang di dalam ruangan tersebut ada makam Mbah Geng ini. Sesajen ini tidak hanya diletakkan dan dibiarkan begitu saja, tetapi juga diadakannya tahlilan untuk orang laki-laki yang ingin mengadakan hajatan besar tersebut. Setelah diadakan tahlil maka boleh untuk warga mengadakan acara hajatan tersebut. Sesajen ini berisikan sama halnya dengan nasi orang meninggal seperti nasi putih, ayam kampung utuh yang sudah dimasak, dan lauk pauk lainnya, selain itu warga juga menyiapkan bunga untuk diletakkan di makam Mbah Geng. Sebenarnya, semua hal ini bertujuan untuk menghormati beliau sebagai sesepuh atau orang terpandang sejak dahulu oleh warga setempat, dengan kata lain banyak warga mengatakan menggunakan bahasa daerah setempat bahwa, “Setidak e gak nglangkahi wong tuwo sing wis suwi urip ning deso kene”. Maksudnya adalah setidaknya tidak lupa dengan orang tua yang sudah lebih dahulu hidup di desa ini. Dengan cara inilah warga setempat menghargai beliau sebagai sesepuh. Masalah dari studi kasus ini yang berkaitan dengan adat istiadat setempat adalah dahulu waktu penulis masih kecil tetangga pernah bercerita bahwa ada sekeluarga yang ingin mengadakan hajatan besar yaitu pernikahan, ia bertempat tinggal dekat dengan makam Mbah Geng ini dan ia juga tahu bahwa adat istiadat setempat harus memberikan sesaji kepada makam Mbah Geng ini. Namun, sekeluarga tersebut menganggap itu hanyalah mitos dan masih cara kejawen yang menurutnya tidak modern. Namun, karena hal tersebut, hajatan besar dan meriah yang ingin mereka lakukan menjadi malapetaka keluarganya, percaya tidak percaya akan hal gaib inilah terjadi malapetaka menimpa keluarganya. Akan tetapi, hal ini juga beredar di masyarakat dari mulut ke mulut tanpa adanya bukti yang kuat dan valid, namun juga warga setempat yang asli penduduk dari Desa Kaliombo ini tidak dapat menghilangkan kebiasaan yang ada karena pernah melihat pengalaman-pengalaman yang dahulunya terjadi sebelum mereka lahir.
Studi kasus ini ingin penulis kaitkan dengan teori filsafat aliran empirisme, bahwa aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Mengapa studi kasus ini penulis kaitkan dengan empirisme? Karena warga setempat melakukan hal-hal tersebut hasil dari pengalaman dirinya yang ditangkap oleh alat indranya yang menjadikan hal tersebut sebuah informasi dan dilakukan terus menerus. Sebenarnya aliran empirisme ini juga sedikit lemah, karena tidak adanya bukti yang cukup dan bukti yang nyata sebagai pendamping sebuah statement atau kepercayaan yang terjadi hingga sekarang. Dan juga indra seharusnya sejalan dengan akal manusia, namun dengan adanya permasalahan yang ada di atas sedikitnya akal tersebut kurang bekerja dan juga kurang begitu baik. Ilmu empiris ini juga berlawanan dengan ilmu rasional, karena ilmu empiris itu dapat dan meyakini apa yang ada, namun tidak dapat menjelaskan hal itu ada seperti apa dan bagaimana, jadi memercayai adanya hal tersebut tanpa adanya bukti yang kuat.
Pesan dari apa yang penulis ceritakan dari cerita ini adalah sebenarnya ada seseorang yang hidup sebelum kita hidup, dan mau tidak mau kita juga harus menghormati adat istiadat yang ada pada tempat tinggal kita untuk menghormati pendahulu kita yang sebelumnya hidup di tempat kita tinggal. Dan juga adat istiadat ini juga termasuk dari budaya yang kita miliki agar tetap dilestarikan hingga sekarang. Jika kalian juga memiliki cerita atau budaya yang berbeda hal itu tidak masalah, tetap lestarikan guna kebudayaan tersebut tidak hilang dan dengan melestarikan kebudayaan tersebut kita juga menghormati nenek moyang yang ada di sekitar kita. (EN)
Biografi Penulis
Perkenalkan Nama saya Anindya Muji Rastiwi, saya merupakan mahasiswi aktif dari program studi Psikologi Islam di Institut Agama Islam Negeri Kota Kediri semester 3. Selain aktif di bidang akademik, saya juga aktif di bidang non-akademik, saya mengikuti organisasi KSR (Korp Suka Rela) yang bernaungan langsung dengan PMI di bidang kesehatan. Dan juga saat masih Sekolah Menegah saya juga pernah mengikuti lomba Kudapan seperti memasak yang beranggotakan dua orang, saya bersama teman saya dan berhasil membawa nama sekolah ke juara 3 tingkat kota di Kota Kediri. Untuk lebih mengenal saya, saya juga memiliki akun Blogspot yaitu Cerita AMR yang isinya keseruan aku, dan juga kalian bisa mengunjungi akun Instagram aku yang bernama Anindyamjr. Kalian juga bisa menghubungi saya melalui Instagram atau e-mail pribadi saya anindyamjr@gmail.com.
No comments