Tidak sulit untuk menyepakati bahwa agama adalah petunjuk bagi manusia. Agama merupakan panduan untuk mewujudkan peradaban dan keadaban. Dalam agama Islam, telah ditegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Seruan pun juga harus dilakukan dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Jika terdapat perbedaan dan perdebatan, juga harus dilakukan dengan cara elegan dan argumentatif. Bukan dengan mencaci maki atau menghina agama lain. Dalam internal umat Islam, tidak sedikit wasiat Kanjeng Nabi Muhammad SAW (shalawat dan salam semoga tercurah kepada beliau) yang menegaskan larangan untuk saling menghina dan merendahkan sesama saudara muslim. Semisal dalam hadist riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H) dan Imam Muslim (204-261 H), Rasulullah menegaskan bahwa kejelekan seseorang dapat dilihat dari apakah ia terbiasa merendahkan dan menghina saudaranya sesama muslim.
Hanya saja, nilai ideal ini akan berubah menjadi petaka jika agama berada di tangan makelar politik. Di sini agama tidak difungsikan sebagai panduan etis untuk menebar keadaban, kejujuran, kedisiplinan, serta amanah dalam memperoleh dan menjalankan kekuasaan. Sebaliknya, sentimen agama malah dijadikan sebagai mesin untuk menebar bibit kebencian dan kecurigaan. Dan ujungnya adalah hanya untuk memenangkan kontestasi dan meraup suara emosi umat. Kenyataan ini, hampir di setiap lintasan sejarah terus terjadi dan bak budaya yang terus dilestarikan. Kini, sudah saatnya umat dan tokoh agama harus mulai cermat dan cerdas memahami situasi yang demikian. Tokoh agama harus menjadi garda terdepan dalam upaya menjinakkan pemelintiran nilai-nilai luhur agama. Harapannya, umat dapat beragama secara sehat sesuai dengan esensi mulia agama itu sendiri.
Terkait hal ini, buku karya Cherian George yang berjudul “Hate Spin; The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy” (2016) ini penting untuk ditelaah lebih lanjut. Buku hasil riset lapangan yang ditulis oleh guru besar studi-studi media Departemen Jurnalisme, Hong Kong Baptist University ini akan mengantarkan kita untuk menilik bagaimana agama digunakan oleh makelar politik guna membangkitkan sentimen agama di tiga negara.
Pertama, pada proses pemilu di Amerika Serikat yang memenangkan Donald Trump. Di sini agama Kristen digunakan untuk membangkitkan kebencian terhadap Partai Demokrat yang memiliki kedekatan dengan minoritas muslim. Islamophobia terus digencarkan untuk menyudutkan umat Islam dan kebijakan Partai Demokrat.
Kedua, adanya narasi kebencian dan hasutan kelompok konservatif-esktrem Hindu di India. Kelompok ini berhasil memenangkan Narendra Modi sebagai perdana menteri.
Ketiga, narasi bela agama yang terjadi di Indonesia, khususnya selama Pilkada Jakarta tahun 2017 silam.
Secara akademis dan argumentatif, Cherian George memperlihatkan bahwa sentimen agama dalam kontestasi pemilu yang terjadi di tiga negara demokrasi besar di dunia ini bukanlah serta merta kesadaran murni umat beragama mayoritas. Akan tetapi, terdapat peran aktor yang secara sadar dan terencana menggunakan agama sebagai alat untuk meraup kemenangan. Oleh karena itu, pelintiran kebencian (hate spin) didisain sedemikian rupa. Strateginya ada dua, yaitu untuk menghasut umat agar membeci umat agama lain dan di satu sisi, untuk menggencarkan narasi bahwa umat agama lain juga membenci dan mengancam eksistensi agama mayoritas.
Pemaparan ini, lebih lanjut tersaji dalam delapan bab di buku terbitan The MIT Press Cambridge. Di bagian awal, akan dipaparkan kerangka teori dan konseptual. Kemudian diikuti dengan ulasan praktik pelintiran kebencian di Amerika Serikat, India, dan Indonesia. Di bagian akhir, penulis juga menawarkan beberapa langkah penting dan strategis yang harus dilakukan oleh umat, tokoh agama, dan negara. Saat ini, wabah pelintiran agama telah semakin masif dijalankan dengan jaringan internet dan Google. Media sosial digunakan sebagai jalan lapang untuk membangkitkan kemauan umat guna menghina agama lain, dan sebaliknya, juga menguatkan perasaan terhina akibat tindakan dan ucapan umat agama lain. Kondisi demikian sangatlah berbahaya dan menjadi petaka bagi semua umat beragama.
Jadi, untuk membendungnya, umat harus memiliki pemahaman yang utuh terhadap esensi agama. Dengan bekal ini, umat akan imun dari hasutan kebencian. Umat akan selalu dapat bersikap kritis, tidak asal menelan terhadap dakwah-dakwah para makelar politik. Selain itu, secara hukum, politik, dan perundang-undangan juga harus diperkuat. Para makelar politik yang menggunakan sentimen agama harus disadarkan dengan cara-cara yang demokratis dan penuh keadaban. Bukan dengan balik membenci ataupun dengan jalur yang keluar dari norma demokrasi itu sendiri.
Lantas, tertarikkah Anda untuk ikut berkontribusi menjaga kedamaian dalam beragama? Mari bergandengan tangan untuk memeluk kembali para makelar politik itu. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudara kita. Salam… (EN)
*Muhammad Hanifuddin adalah Dosen Darus-Sunnah International Intitute For Hadith Sciences dan pengkaji di Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.
No comments