Berangkat dari pengalaman pribadi, hingga saat ini, ada dua hal yang tak habis saya pikirkan. Meskipun sulit menerimanya, tetapi ini sebuah realita. Nyata adanya. Pertama, seorang teman yang bangkit ghirah keagamaannya. Tak lelah mempelajari Islam dari internet. Dari satu website ke website lainnya. Dari satu berita, ke berita keislaman lainnya. Akhirnya, tekad sudah bulat. Satu keluarga diyakinkan. Semua aset dijual. Berangkat ke Syiria untuk memenuhi ajakan dakwah ISIS. Hidup dalam naungan masyarakat islami. Rindu hidup di bawah naungan sistem kekhilafahan.
Sesampainya di sana, ajakan dan ajaran ISIS tidak didapati. Kenyataannya, malah sebaliknya. Hidup diajak berlatih memanggul senjata. Harus terlunta-lunta di camp pengungsian. Menghindar dari desingan peluru dan ledakan bom. Karena akal sehat dan nuraninya tersadarkan. Mereka sepakat bagaimana bisa segera pulang ke Indonesia. Dengan berbagai rintangan, akhirnya, mereka bisa kembali ke Indonesia sebelum ISIS dinyatakan bubar.
Kedua, ada satu tetangga kampung. Beliau ada contoh anak desa yang cerdas dan sukses di bidang akademik. Guru besar bidang hukum adalah salah satu capaian akademis yang cepat diraih. Tak aneh, jika setiap pulang kampung, Bapak saya senantiasa menjadikannya sebagai bahan memotivasi anaknya. Namun, dalam berapa tahun terakhir, karena ghirah keislamannya tumbuh, beliau aktif mengikuti pengajian. Selain itu, juga mengakses pengetahuan keislaman dari internet.
Tiga tahun terakhir, sikap beliau berubah. Meskipun dikenal sebagai pakar sosiologi hukum dan filsafat Pancasila, beliau tak berdaya untuk kritis mencerna dakwah islamiyah yang digaungkan oleh saudara-saudara kita yang mengusung penerapan sistem khilafah di Indonesia. Apapun kebijakan pemerintah selalu salah dan tidak tepat. Tidak ada solusi islami yang tepat, kecuali dengan penerapan sistem khilafah. Karena hal ini, apresiasi masyarakat kepada beliau bergeser. Beberapa bulan yang lalu, ketika saya pulang kampung, Bapak saya dengan lirih menasehati; “Kamu boleh pinter dan terus kuliah, tapi jangan melawan negara.”
Dua penggal episode perjalanan hidup teman dan tetangga saya di atas mungkin hanya sebagian kecil contoh bahwa internet dan media sosial memiliki pengaruh (bahkan menentukan) paham dan sikap keagamaan seseorang. Jika kita insafi bersama, tidaklah salah jika ghirah keislaman seseorang itu bangkit dan tersadarkan. Demikian juga kemajuan teknologi dan digital yang terus melaju pesat. Hanya saja, tinggal bagaimana kita menyandingkan nilai-nilai luhur agama dengan kemajuan tersebut.
Guna menilik tantangan ini, adalah sebuah keniscayaan jika masyarakat muslim harus cerdas memahami dinamika dan peta persaingan ideologi di media sosial dan internet. Beberapa karya Garry R. Bunt berikut menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Pertama, “Islam in the Digital Age; E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments” (2003). Kedua, “iMuslims Rewiring the House of Islam” (2009). Ketiga, “Hashtag Islam; How Cyber-Islamic Environments AreTransforming Religious Authority” (2018).
Dari ketiga buku ini, kita akan tersadarkan bahwa website, blog, you tube, telegram, line, facebook, instagram, twitter adalah tantangan sekaligus peluang bagi umat beragama. Apakah kesemuanya dapat menjembatani untuk menampilkan dan mendakwahkan keluhuran agama, atau sebaliknya. Sejarah yang akan menjawabnya. Salam… (@D)
*Muhammad Hanifuddin adalah Dosen Darus-Sunnah International Intitute For Hadith Sciences dan pengkaji di Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.
No comments