Bisik-bising mesin berpintal benang
menjahit-jahit telingaku …
di kala purnama masih benderang
bersama embun seruncing salju …
\1\
Dan benang-benang mulai diurai,
juga sepasang kaki menjuntai
dirangkainya kain pelindung paru,
sedari subuh terbangunkan lesu
demi berjuta kepala-
yang menjadi sasaran empuk lokawigna.
\2\
Mereka mesti segera
bergegas bersama pasang lencana,
menyandang peranan pahlawan
penghembalang wabah dunia.
Juga demi menghidupi gelap rumah sendiri
dengan sebutir pelita, sekadar sebagai
pengganjal lapar lambung keluarga;
sekadar sepanjang sehari sahaja.
\3\
Wabah yang kini melanda
tandang sebagai titah amanat Tuhan,
yang di balik lahir penampilan-
membawa hikmah juga cobaan.
Tibalah era dimana temu dan hindar
menjadi langgam hidup baru zaman.
\4\
Selayang mata-mata mengancam,
mereka semua mesti kenakan;
senjata perang suci melawan pandemi-
bukan pedang maupun panah berapi.
Di tengah belantara sunyi mencekam,
mereka bangun kubu bertahan
dengan tudung-masker pencadar nyawa,
yang mereka jahit dengan mesin tua.
Gegana gegara lokawigna kian menjadi-jadi,
ritus hidup di atas bentala ini begitu ngeri.
Walakin, mereka tak ubahnya ibu kita: Fatmawati,
menjahit luka-nganga negeri berpandemi ini.
Betapa kiprahnya begitu berjasa bagi negeri,
tertuang abadi di atas prasasti bumi Pertiwi … (EN)
Kediri, 2021
BIOGRAFI PENULIS
Lahir di Kediri, 01 Desember 1998. Berdomisili di Kab. Kediri. Hobi mendengarkan, membaca, dan menulis. Email dzik.roch@gmail.com. Ig : @_dzikroch.
No comments