Jika sedang membahas infrastruktur, yang terlintas dalam pikiran adalah pembangunan secara fisik. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional dan digunakan sebagai langkah untuk mensejahterakan warganya melalui peran partisipasinya. Hal yang sama juga terjadi di desa. Infrastruktur desa menjadi hal yang penting untuk meningkatkan kemandirian dan perekonomian warga desa. Membangun infrastruktur desa tidak sekedar membangun jalan dan gapura saja. Pembangunan infrastruktur desa sangat beragam, misalnya pembangunan irigasi sawah, pengadaan drainase, pengembangan jaringan internet dan telekomunikasi, dan lain sebagainya.
Alasan utama pengadaan infrastruktur desa ialah minimnya fasilitas sarana dan prasarana utama yang ada di desa. Keterbatasan tersebut menjadi penyebab desa sulit berkembang. Desa biasanya didominasi oleh wilayah agraris yang sebagian besar warganya bekerja sebagai petani. Jika aksesibilitas yang handal untuk mobilisasi ke kota tidak tersedia, petani akan sulit menjual hasil panennya ke kota sehingga akhirnya penjualan hasil panen kurang optimal. Begitu pula dengan pembangunan irigasi dan pengadaan teknologi penunjang pertanian. Jika tidak ada pembangunan irigasi di sawah, maka petani hanya dapat mengandalkan hujan untuk mengairi lahan pertaniannya. Dengan pembangunan infrastruktur desa tersebut, dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat desa diharapkan juga meningkat.
Pembangunan infrastruktur desa sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat bukan keinginan masyarakat, dan disepakati dengan metode partisipasi masyarakat. Perencanaan pembangunan yang transparan dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur menjadi hal yang fundamental untuk dijalankan demi meminimalisir tindak penyimpangan dan ketidaktepatan sasaran program yang telah direncanakan. Masyarakat desa hendaknya dijadikan sebagai aktor pembangunan, sehingga infrastruktur yang terwujud merupakan pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat desa.
Gotong royong bukan merupakan suatu hal yang asing di negeri ini, sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.
Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani mengemukakan pendapatnya bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lainnya guna mewujudkan keselarasan hubungan antara sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di dalam setiap diri seorang manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling membutuhkan satu sama lain. Dari manusia lahir hingga menutup usia, manusia tidak bisa mengurus dirinya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah dari setiap manusia sebagai individu sekaligus makhluk sosial. Dengan demikian, paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, sebuah keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup sendirian maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk bersikap toleran terhadap yang lain. Hal tersebut yang menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung dengan perdamaian, bukan kekerasan berujung dengan perpecahan seperti yang sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.
Di tengah segala perbedaan yang ada, kita harus bersyukur bisa disatukan dalam konsep Indonesia yang menganut Pancasila sebagai pedoman dasarnya. Mengacu pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita perlu menyadari akan anugerah yang diberikanNya, sebab atas nama Tuhan Yang Maha Esa kita bisa disatukan untuk bisa menuju Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan cara bergotong royong. Dengan demikian, hubungan antara Gotong Royong dengan Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak boleh dipisahkan.
Gotong royong merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia yang wajib kita lestarikan, terutama untuk kaum-kaum milenial. Tujuan dari gotong royong itu sendiri adalah untuk meringankan suatu pekerjaan yang sedang dilakukan. Salah satu bentuknya yaitu gotong royong membangun desa, termasuk yang dilakukan di desa Turus ini. Di setiap desa tingkat pembangunannya pasti berbeda-beda, ada yang sudah maju dan ada pula yang masih menurun. Maka dalam hal ini, salah satu cara untuk membangun desa yang semangatnya belakangan ini menurun, adalah dengan cara bergotong royong. Dalam hal membangun desa, pemerintah desa harus melibatkan anak-anak muda dalam setiap kegiatan desa, karena anak-anak muda dianggap memiliki ide kreatif dan inovatif.
Perlu adanya motivasi dari masyarakat untuk secara bergotong royong membangun desanya. Bergotong royong membangun desa terbagi menjadi beberapa bidang, salah diantaranya bidang sosial dan ekonomi. Suatu desa dapat dikatakan sebagai desa yang maju apabila secara fasilitas lengkapnya sarana dan prasarananya. Seperti adanya sekolah, rumah sakit/ puskesmas, tempat ibadah dan sebagainya. Di berbagai desa terpencil terkadang masih banyak yang tidak memiliki sarana dan prasarana tersebut. Untuk bisa mewujudkan itu, masyarakat harus bergotong royong secara bersama-sama. Pada umumnya masyarakat desa tidak terlalu memikirkan tentang pembangunan desa, karena mereka anggapan mereka pembangunan desa hanya dilakukan oleh pejabat pemeritah setempat, anggapan itu salah. Tanpa adanya bantuan masyarakat, pembangunan desa pun terhambat. Oleh sebab itu dibutuhkan peran masyarakat yang turut andil dalam pembangunan.
Di dalam melakukan kegiatan gotong royong warga sebenarnya telah berpraktek berfilsafat eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus menciptakan makna di alam semesta yang tak jelas, kacau, dan tampak hampa ini. Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan akar kata eks “keluar” dan sistensi “berdiri”, menempatkan (diturunkan dari kata kerja sisto). Oleh karena itu, kata “eksistensi” diartikan bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Pokok-pokok filsafat eksistensialisme adalah menganggap bahwa hanya manusialah yang bereksistensi.
Eksistensi merupakan cara khas manusia mengada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanistis, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan, manusia ditinjau sebagai “sesuatu” yang terbuka dan manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk, dan filsafat ini memberi tekanan pada pengalaman yang konkret yang berbeda-beda.
Jean Paul Sartre (1905-1980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. “Man is nothing else but what he makes of himself”. Maka manusia itu bebas dalam arti yang sebenarnya, ia menciptakan masa depannya dan karena itu ia bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan.
Di dalam eksistensialisme tidak membahas esensi manusia secara abstrak, maksudnya ialah dimana eksistensialisme ini membahas tentang hakikat manusia secara spesifik meneliti kenyataan konkrit manusia, sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya. Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada di balik penampakan manusia, melainkan hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri, misalnya seperti pengalaman individu itu tersebut. Esensi atau substansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis, sehingga menafikkan sesuatu yang konkret, individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi justru mengacu pada hal yang konkret, individual dan dinamis. Itu dimaksudkan karena seorang individu belajar dari apa yang mereka alami sesuai faktanya. Hal demikian dialami oleh dirinya sendiri bukan orang lain.
Istilah eksistensi berasal dari kata existra (eks artinya keluar, sister artinya ada atau berada), dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada sesuatu pun yang mempunyai ciri atau karakter existere selain manusia. Hanya manusia yang bereksistensi. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya, melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya, berusaha untuk tidak terkungkung dari segala keterbatasan yang dimilikinya, contohnya saja dalam gotong royong membangun infrakstruktur di desa pada orang yang tidak bisa membantu pekerjaan berat bisa membantu pekerjaan yang ringan atau membuat makanan dan minuman sehingga dirinya dapat bermanfaat dan mampu berbaur dengan orang lain tanpa memperdulikan kekurangan yang ada pada dirinya.
Oleh sebab itu, para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses, “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis. Warga yang ikut turut berpastisipasi dalam gotong royong dan saling bekerja sesuai bidang dan keahliannya masing – masing akan membuat mereka “eksis”
Ada beberapa tema kehidupa yang coba diungkap oleh para eksistensialis. Menurut mereka tema-tema tersebut selalu dialami oleh manusia dan mendasari perilaku manusia. Tema-tema tersebut diantaranya adalah kebebasan (pilihan bebas), kecemasan, kematian, kehidupan yang otentik (menjadi diri yang otentik), ketiadaan, dll. Masalah kebebasan dan kehidupan yang otentik oleh eksistensialime dianggap sebagai 2 masalah yang mendasar dalam kehidupan manusia. Manusia diyakini sebagai makhluk yang bebas dan kebebasan itu adalah modal dasar untuk hidup sebagai individu yang otentik dan bertanggung jawab.
Fenomenologi menempati kedudukan urgen, bahkan “sentral” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Sartre mengakui besarnya pengaruh fenomenologi Edmund Husserl dalam pemikiran filsafatnya, ia berkata, “fenomenologi Husserl dengan gemilang membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi, tanpa hipotesis dan tanpa teori prafenomenologis.” Tegas dan jelasnya, fenomenologi merupakan “metode” atau “teknik” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, Sartre menyebutkan beberapa arti penting dalam fenomena Husserl. Pertama, perlunya meletakkan kesadaran sebagai dasar penyelidikan filsafat. kedua, pentingnya filsafat untuk kembali kepada realitasnya. (DEW)
Biografi Penulis
Ismi Faizatul Khoiriyah adalah mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam semester tiga IAIN Kediri. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail pribadinya ismifaizah1605@gmail.com
No comments