Sebuah pengetahuan bersama apabila postmodernisme bermuatan kritik terhadap modernitas muncul tepatnya menjelang abad ke-20. Implikasinya berdampak terhadap gejala dinamis kultural dalam era globalisasi. Postmodernisme membantu masyarakat bagaimana memahami gejolak yang signifikan tersebut. Adanya pembaharuan di setiap pertambahan masa menyebabkan perkembangan dunia semakin cepat dan maju. Alasan itulah yang mendorong orang-orang di dunia dituntut untuk berinovasi guna menstimulasi dirinya sendiri. Manusia harus menciptakan standar ide terbaiknya guna mengefisiensikannya dengan situasi dan kondisi masa itu, sekarang, dan masa depan. Titik temunya berakhir pada produk yang dihasilkan manusia. Akan tetapi, uraian demikian bukanlah sebuah perkara simplistik. Setidaknya membutuhkan suatu kontemplasi panjang untuk mengeksekusi ide-ide unlimited manusia ke ranah bentuk produktif. Hingga pada akhirnya, tercetuslah sebuah kata yang sangat familiar di benak ini yaitu disrupsi.
Saat ini kedatangan istilah disrupsi masih hangat untuk diperbincangkan. Seperti halnya postmodernisme, disrupsi terutama menempati sebuah instrumen konseptual untuk memahami gelombang yang diakibatkan karena maraknya teknologi informasi. Disrupsi adalah istilah untuk menunjukkan keadaan yang sebenarnya terjadi sebagai akibat dari perubahan keadaan industri berawal dari perkembangan teknologi informasi yang telah berubah secara cepat. Dukungan teknologi informasi mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan industri.[1]
Disrupsi hadir mengubah stereotip masyarakat untuk mengidentifikasi kondisi aktual melalui inovasi dan kreativitas seperti dalam bidang cara memimpin, cara kerja, relasi dan komunikasi, dan sebagainya.[2] Diuraikan secara luas oleh Rhenhald Kasali dalam bukunya Disruption, istilah tersebut mula-mula muncul dalam konteks bisnis, investasi, dan keuangan. Akan tetapi kemudian meluas pengaruhnya dalam banyak kehidupan seperti politik, dunia hiburan, pemerintahan, sosial, kepemimpinan, dan kependidikan.[3]
Pengertian demikian diharapkan masyarakat tidak termarginalisasikan oleh faktor-faktor yang sederhana tetapi menjadi krusial apabila terabaikan. Salah satunya adalah faktor inovasi teknologi. Beberapa celotehan kalimat tersebut sangat cocok apabila dijadikan sebuah konsepsi mengenai penanaman hakikat bonus demografi terhadap generasi saat ini. Pasalnya, dewasa ini gejala dimensi teknologi yang kian berinovasi mampu menggeser kebiasaan individu ke ranah digitalisasi. Implikasinya menunjukkan dampak di berbagai bidang, seperti adanya aplikasi untuk mempermudah transaksi pembayaran. Apabila zaman dulu orang-orang harus mengantre demi mendapatkan makanan, maka di era 4.0 cukup memesan melalui aplikasi. Kemudian, munculnya berbagai aplikasi untuk mempermudah pemesanan tiket sehingga seseorang tidak lagi repot mengatur jadwalnya yang padat. Bagi yang menyukai dunia belanja namun tidak sempat mengunjungi pusat perbelanjaan maka, disediakanlah situs belanja online. Dari segi pendidikan, adanya buku online yang dapat dengan mudah diunduh dalam play store. Bahkan yang sempat viral hingga sekarang yakni muncul sebuah aplikasi semacam bimbingan belajar dengan harga yang amat terjangkau. Tentunya beberapa contoh demikian hanyalah secuil produksi garapan era 4.0.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, isu-isu kependudukan selalu menarik untuk dikaji. Era digitalisasi ini pemerintah dihadapkan dengan kontestasi adanya bonus demografi yakni rumusan tentang bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang usia 14 sampai 64 tahun) sebagai evolusi kependudukan, terjadi karena transisi demografi yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi terhadap tiga komponen utama pertumbuhan penduduk: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (mobilitas/migrasi), menyebabkan penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia bayi dan anak-anak maupun lansia di atas 64 tahun. Besarnya proporsi penduduk usia produktif inilah yang menjadi modal dan sumber kekuatan bagi suatu negara yang mampu mencapainya.[4] Kesimpulannya, bonus demografi merupakan salah satu perubahan dinamika demografi yang terjadi karena adanya perubahan sruktur penduduk menurut umur. Fenomena transisi demografi ini terjadi karena berkurangnya angka kelahiran yang dibarengi oleh tingginya angka kematian dalam jangka panjang.[5] Digadang-gadang pula implementasi keberhasilan bonus demografi akan menjadi mesin penggerak ekonomi Indonesia.
Momentum Indonesia dalam memnafaatkan pemuda sebagai calon pemimpin bangsa adalah keniscayaan. Kesempatan tersebut dilakukan secara simultan oleh seluruh organisasi kepemudaan. Pola gerakan bersama yang dapat dilakukan yakni dalam meningkatkan kualitas pemuda melalui peningkatan pendidikan, keterampilan, dan kesehatan, serta kemampuan bangsa dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja sesuai dengan kemampuan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, sehingga mereka mampu memperoleh pendapatan yang dapat menopang kehidupan diri sendiri dan keluarganya, terutama orang yang menjadi tanggung jawab mereka di usia non produktif. Jadi, untuk mendapatkan hasil pemanfaatan yang maksimal, tidak hanya diperlukan kerja keras oleh organisasi kepemudaan saja, melainkan seluruh komponen kehidupan.[6]
Mirisnya, kondisi di atas apabila diacuhkan menjadi bumerang bagi negara Indonesia. Dijelaskan pula, jika tidak memanfaatkan secara efisisen apa yang terkandung dalam bonus demografi akan menjadi blunder di Indonesia kemudian lambat laun mengalami peningkatan. Bonus demografi tidak memberikan dampak signifikan jika negara minim investasi sumber daya manusia (human capital investment). Oleh karena itu, bonus demografi juga dapat berubah menjadi gelombang pengangguran massal dan semakin menambah beban anggaran negara.[7] Apalagi menyongsong Indonesia pada 100 tahun. Idealnya, nusantara dianggap mencapai keemasan. Tak heran sebuah tajuk perlombaan maupun seminar sering disematkan kata-kata berharmoni yakni ‘Indonesia Emas 2045’.
Disrupsi merupakan sebuah peluang bagi inovasi pengetahuan. Perbincangan mengenai konteks bonus demografi di Indonesia merujuk pada pemahaman pokok bahwa fenomena siklus populasi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh negara. Formulasi permasalahan ialah bagaimana kita memaknai bonus demografi tersebut. Realitanya ialah, Indonesia telah mencapai bonus demografi pada 2017 sampai dengan 2019 untuk gelombang pertama dan 2020 sampai 2030 untuk gelombang bonus demografi kedua. Dalam hal ini pemerintah harus menjadi agent of development dengan cara memperbaiki mutu modal manusia, mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan berkomunikasi, serta penguasaan teknologi. Solusi lain ialah memberikan keterampilan kepada tenaga kerja.
Hal yang dapat dilakukan untuk menggenjot bonus demografi ialah dengan menyinergiskan bonus demografi dengan digitalisasi. Apalagi saat ini memasuki masa disrupsi, artinya perkembangan pesat dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang industri. Orang-orang lebih sering menyebutnya dengan revolusi industri 4.0. Revolusi ini memadukan work of people dan the work of machines.[8] Implikasi tersebut menimbulkan pengalaman-pengalaman baru yang luar biasa. Menawarkan solusi atas segala masalah kehidupan. Menginspirasi lahirnya ide-ide “beyond” yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya.
Gen-Metal atau Generasi Melek Digital merupakan generasi yang mengerti, memahami, dan mengaplikasikan suatu produk digital secara sistematis sehingga mampu menghasilkan produk yanng baru di kalangan masyarakat. Seperti kata Najwa Shihab, selaku pemuda sudah sepatutnya bergerak, bergerak, berdampak. Digitaliasi atau media sosial saat ini sangat berpengaruh besar terhadap siklus kehidupan. Generasi melek digital harus mencoba memetakan tantangan dan memikirkan apa yang bisa dilakukan bersama-sama dengan memanfaatkan faktor digital.
Di antara implementasinya ialah berbicara mengenai ketenagakerjaan maka berapa banyak angka pengangguran di Indonesia. Isu ketenagakerjaan tidak akan lepas dari fenomena bonus demografi baik sebagai peluang maupun tantangan. Oleh karena itu, solusi problematika dalam hal ini berupa menggenjot pertumbuhan ekonomi yaitu dengan mereduksi the youth employment crisis Indonesia.
Penduduk usia produktif perlu memperoleh kemudahan akses pendidikan dan pelatihan. Sehingga keterampilan yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan dapat meningkatkan kompetensi agar mampu bersaing di dunia kerja. Ketersediaan lapangan kerja juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pada era digital ini, internet menjadi salah satu hal urgen. Salah satunnya ialah adanya aplikasi transportasi online seperti gojek, grab, uber mendominasi layanan transportasi online. Dari data tersedia, layanan yang dimiliki Gojek dipakai secara aktif oleh 15 juta orang setiap minggunya dimana setiap bulannya lebih dari 100 juta transaksi terjadi di platform Go-Jek (http://tekno.kompas.com/read/2017/12/18/07092867/berapa-jumlah-pengguna-dan-pengemudi-go-jek).
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah pekerja per sektor selama setahun di mana terdapat penambahan pekerja pada sektor transportasi yang disumbangkan oleh penambahan driver transportasi berbasis online. Solusi lain ialah menambahkan jumlah pebisnis melalui fitur aplikasi. Adanya aplikasi berbasis pemanfaatan jaringan maka, seseorang akan mudah melalukan kegiatan ekonomi. Misalkan, memasarkan produknya melalui aplikasi.
Generasi harus memanfaatkan situs pendidikan yang ada. Misalnya Ruang Guru dan lain-lain. Generasi saat ini juga harus mengoptimalkan dirinya untuk tampil di dunia maya dengan menyiarkan pengetahuannya melalui media sosial yang dimiliki salah satunya melalui Youtube.
Generasi sekarang harus mengetahui peran media sosial bagi kepemimpinan yaitu harus memiliki kemampuan mengelola media sosial karena dengan media sosial maka eksistensi seorang pemerintah akan dapat terekspos. Berita mengenai pemerintah akan cepat tersebar.
Dalam hal wisata, peran digital juga sangat penting diterapkan. Adanya canangan untuk mewujudkan desa wisata baiknya dieksplor melalui media sosial agar menarik para wisatawan. Di sinilah, pemuda harus gencar mengaktifkan konsep wisata tersebut.
Dalam hal digitalisasi, seyogianya masyarakat mampu memanfaatkannya secara efisien. Hal ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) akan lekat dengan konsep dan pemikiran Rachel Carsoa melalui bukunya Silet Spring yang terbit pertama kali pada tahun 1962. Proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan.[9]
Bonus demografi ialah anugerah sekaligus bencana terdahsyat abad sekarang. Pemuda harus bisa berdampak dan memberikan aksi nyata demi Indonesia Jaya. (EN)
BIOGRAFI PENULIS
Penulis merupakan Mahasiswi semester 5 Jurusan Pendidikan Agama Islam di kampus IAIN Kediri
DAFTAR RUJUKAN
Ashshidqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Beata Slusarczyk, “Industry 4.0-Are We Ready?”, Polish Journal of Management Studies, 1 (June, 2018), 232. 6 T. Prasentiantono, (2018, April 10), “Revolusi Industri 4.0”, diambil kembali dari Pusat UGM: https://psekp.ugm.ac.id/2018/10/revolusi-industri-4-0/ [Diakses pada 24 Juli 2019]
Jati, Wasisto Raharjo “Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia”. Populasi, (2015), Vol. 23: 1-19.
Kasali, Rhenhald Kasali. Disruption: Tak Ada yang Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2017.
Konoras, Isyana Kurniasari, et.al. “Problematika Pemerintah dalam Menyongsong Bonus Demogarfi di Indonesia”. Potret, (2018), Vol. 22: 41-54.
Mukri, Syarifah Gustiawati. “Menyongsong Bonus Demografi Indonesia”. Adalah, (2018), Vol. 2: 51-52.
Ohotimur, Johanis. “Disrupsi: Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bgi Lembaga Pendidikan Tinggi”. Respons, (2018), Vol. 23: 144-166.
Suwardana, Hendra. “Revolusi Industri 4.0 Berbasis Revolusi Mental”. Jati Unik, (2017), Vol. 1: 102-110.
Yusmarni. “Analisis Bonus Demografi sebagai Kesempatan dalam Mengoptimalkan Pembangunan Pertanian di Sumatera Barat”. Agrisep, (2016), Vol. 16: 67-82.
[1] Hendra Suwardana, “Revolusi Industri 4.0 Berbasis Revolusi Mental”, Jati Unik, 2 (2017), 102-110.
[2] Johanis Ohotimur, “Disrupsi: Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bgi Lembaga Pendidikan Tinggi”, Respons, 2 (Desember, 2018), 163.
[3] Rhenhald Kasali, Disruption: Tak Ada yang Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 139.
[4] Isyana Kurniasari Konoras, et.al., “Problematika Pemerintah dalam Menyongsong Bonus Demogarfi di Indonesia”, Potret, 2 (Juli-Desember, 2018), 52.
[5]Yusmarni, “Analisis Bonus Demografi sebagai Kesempatan dalam Mengoptimalkan Pembangunan Pertanian di Sumatera Barat”, Agrisep, 1 (Maret, 2016), 70.
[6] Syarifah Gustiawati Mukri, “Menyonngsong Bonus Demografi Indonesia”, Adalah, 6 (2018), 52.
[7] Wasisto Raharjo Jati, “Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia”, Populasi, 1 (2015), 2.
[8] Beata Slusarczyk, “Industry 4.0-Are We Ready?”, Polish Journal of Management Studies, 1 (June, 2018), 232. 6 T. Prasentiantono, (2018, April 10), “Revolusi Industri 4.0”, diambil kembali dari Pusat UGM: https://psekp.ugm.ac.id/2018/10/revolusi-industri-4-0/ [Diakses pada 24 Juli 2019]
[9] Jimly Ashshidqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 134.
No comments