Ponorogo menjadi salah satu daerah yang memiliki kesenian luhur yang masih dilestarikan dan dijaga hingga sekarang. Kesenian ini dinamakan dengan Reog Ponorogo. Merupakan sebuah kesenian yang ditampilkan dengan iringan musik berupa gamelan yang terdapat penari dari jathilan, warok, klonosewandono, bujangganong, dan identik dengan barongan dan merak. Reog mengkisahkan tentang perjuangan raja kerajaan Bantarangin yaitu Prabu Klono Sewandono yang ingin mendapatkan cinta dari sang putri kerajaan Kediri yaitu Dewi Songgolangit sebagai syarat untuk mendapatkan Dewi Songgolangit, beliau mengajukan syarat yaitu membuat pertunjukan yang belom ada di dunia dan membawa binatang berkepala dan badan berbeda.
Cerita singkatnya, bahwa Prabu Klana Sewandono dapat memenuhi persyaratan tersebut meskipun terdapat saingan yang kuat yaitu Singo Barong yang akhirnya dapat dikalahkan dan dirubah wujudnya menjadi hewan unik dengan badan seekor singa dan kepalanya terdapat burung meraknya. Dewi Songgolangit pun dibopong dan dinikahi di Bantarangin. Sampai akhirnya kesenian tersebut menjadi sarana menyampaikan dakwah islam oleh seorang anak raja dari kerajaan Majapahit yaitu Raden Bathara Katong, murid dari sunan Kalijaga yang menyebarkan sekaligus menjadi adipati pertama Ponorogo. Penyebaran islam ini tidak lepas dari campur tangan sang Raden.
Sebagai penyebar agama Islam di Ponorogo, Bathara Katong menggunakan kesenian Reog sebagai media dakwah seperti metode yang digunakan walisanga menyebarkan agama Islam dengan menggunakan wayang. Wayang sebagai seni budaya Hindu digunakan Walisongo sebagai media dakwah. Caranya, wayang yang masih berbau Hindhu diganti dengan nilai-nilai keislaman. Mengganti seni budaya yang awalnya bermetrum Hindu kemudian menjadi metrum Islam tidaklah mudah. Keberhasilan Walisanga ditentukan oleh perannya sebagai awamil dakhiliyah (faktor interen) dan awamil kharijiyah (faktor eksteren) yang muncul dari kepribadian Walisanga.
Bukti yang menjadi bahwa Batharo Kathong mengIslamkan Ponorogo salah satunya adlah didirikannya di Desa Mirah Kecamatan Sukorejo Ponorogo. Masjid ini kemudian disebut Masjid Kyai Mirah dan menjadi cikal bakal Ponorogo setelah masa Kerajaan Hindu Wengker di bawah kekuasaan Ki Ageng Kutu. Saluran Islamisasi di masyarakat Ponorogo yang dibawa oleh Bathara Katong disalurkan lewat berbagai media, antara lain lewat media kesenian yaitu Reog, sebagai media Politik dan strategi kultural yang sangat universal sebagai bukti bahwa Islam dapat membumi meski dengan wajah yang beragam. Kesenian Reyog merupakan kesian yang sangat mengakar dikehidupan masyarakat Ponorogo oleh karena itu, Bathara Katong memilih kesenian ini sebgai media dakwahnya dalam menyebarkan agama islam. Musik gamelan yang awalnya digunakan oleh Ki Ageng Kutu untuk adu kekuatan dan adu kesaktian dimanfaatkan oleh Bathara Kathong sebagai bagian dari media dakwah. Suara nyaring dari gamelan itu sangatlah keras, sehingga menarik masyarakat untuk dating ke arah sumber tersebut.
Ketika masyarakat mulai berkumpul, Bathara Katong memulai untuk memasukkan unsur-unsur Islam itu dengan menunujkkan makna dari setiap alat gamelan yang digunakan sebagai pengiring. Islamisasi di ponorogo tidak lepas dari media politik. Berkat kekuasaan Bathara Kathong dapat mengislamkan masyarakat Ponorogo tanpa peperangan, karena prinsip Bathara Katong memang sama dengan para wali saat itu yaitu Menang Tanpo Ngasorke (menang tanpa merendahkan). Stategi kultural juga menjadi poin penting dalam Islamisasi di Ponorogo. Dengan terjadinya perombakan agama serta semakin terkikisnya kebudayaan Hindu-Budha, maka masyarakat liminal tersebut berusaha mencari suatu pegangan atau penguat bagi kebudayaan yang menurut mereka sudah tidak mampu lagi untuk mengayomi. Dengan hadirnya agama dan kebudayaan baru yang menurut masyarakat liminal tersebut bisa diterima dengan baik dan juga mudah untuk dipelajari, maka islam dengan mudah masuk dan berkembang dimasyarakat Hindu-Budha, khususnya masyarakat Ponorogo yang ketika itu dipimpin oleh Bathara Khatong seorang raja muslim yang berusaha menyisipkan agama Islam yang berusaha menyisipkan agama Islam melalui kebudayaan yang telah mengalami masa peralihan tersebut.
Pesantren sebuah pendidikan tradisional yang para santrinya (siswa) tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang terus mencetak generasi bangsa yang paham akan norma agama dan juga melestarikan warisan yang turun temurun diberikan kepada para ulama dan Kyai. Di Ponorogo sendiri lembaga pendidikan pondok Peantren pertama yang berdiri adalah pondok pesantren Tegalsari. Pesantren Tegalsari atau biasanya disebut sebagai pesantren Gebang Tinatar adalah pesantren bersejarah di Indonesia dan disebut sebagai pelopor ribuan pondok yang ada hingga sekarang. Pesantren ini terletak di Desa Tegalsari kecamatan Jetis, Ponorogo pada 610M, adad ke 18 sampai 19.
Dalam sejarahnya, Pesantren Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman dan kharisma juga kepiawian Kyai yang mengasuhnya. Pesantren ini didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakng itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Peran Kyai Hasan Besari semakin besar setelah dirinya diambil mantu oleh Pakubuono II. Setelah Kyai Ageng membantu meredamkan pemberontakan Raden Mas Gendi Susuhuhan Kuning. Sejak saat itu, Tegalsari menjadi desa yang bebas dari wajib pajak kepada kerajaan. Para santri yang terkenal seperti Pakubuwono II penguasa kerajaan Kartasura, Raden Ngabehi Ronggowarsito seorang pujangga Jawa yang masyhur, Pangeran Diponegoro seorang Pahlawan Nasional, dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto.
Setelah Kyai Ageng Hasan Besari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh yang bernama Kyai Hasan Yahya,. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Hasan Beshari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke 19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Besari, pesantren Tegalsari mulai surut. Beberapa ajaran Kyai Hasan Besari memasuki ambang kepunahan, namun masih banyak orang rajin ber I’tikaf disana.
Meskipun, pondok pesantren Tegalsari hanya tinggal kenangan, anak cucu Kyai Ageng besari tetap melanjutkan perjuangan kakeknya. Mereka menyebar ke berbagai penjuru Indonesia untuk mendirikan lembaga pendidikan agama. Salah satu yang terbesar dan terkenal adalah Pondok Pesantren Gontor yang terletak dikecamatan Mlarak. Pondok ini didirikan oleh tiga orang cucu Kyai Ageng Besari, yaitu KH. Ahmad Sahal (putera kelima), KH. Zainudin Fanantie (Putera keenam), serta KH. Imam Zarkasyi (putera ketujuh) dari Kyai Santoso Anon Besari.
Mereka memperbarui system pendidikan di Gontor dan mendirikan Pondok Modern Darussalam. Pada saat itu, jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian, pada 19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 syawal 1355, didirikan Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah, yang program pendidikanya diselenggarakan selama enam tahun, setingkat dangen jenjang pendidikan menengah. Dalam perjalanya, sebuah perguruan tinggi bernama perguruan tinggi Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1 Rajab 1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Daraussalam (ISID). Sejak 1996, ISID telah memiliki kampus sendiri di Demangan, Siman, Ponorogo. Sampai saat ini penerus KH. Shoiman Luqman Hakim, KH. Hasan Abdullah Sahal, dan KH. Abdullah Syukri Zarkasyi telah mampu mempertahankan keutuhan pondok dan menjadikanya lebih berkembang.
Modernisasi bisa diartikan sama dengan pembaruan yang merupakan alih bahasa dari istilah tajdid. Gagasan dan ide pembarusn dalam Islam muncul sebagai upaya interpretasi kaum muslim terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam rangka menghadapi berbagai perubahan sosiokultural yang terjadi setiap waktu dan tempat. Muhammad Abduh melakukan pembaharuan pendidikan dengan tujuan adalah mendidik akal dan jiwa serta menyampaikan pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual.
Abduh berpandangan bahwa jika aspek akal dan spiritual dididik dengan baik dan maksimal, maka umat islam akam mampu bersaing dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat menciptakan kebudayaan yang tinggi. Bagi Abduh pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik terutama fitra akal dan agamanya. Dengan fitrah akal, peserta didik akan dapat mengembangkan daya berfikir secara rasional. Melalui fitrah agama akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang selanjutnya berdampak pada seluruh aktivitas hidupnya. Jadi pendidikan bukan hanya mengedepankan dan menekankan pengembangan aspek kognitif (akal) semata, akan tetepi juga harus menyelaraskan dengan perkembangan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (ketrampilan).
Muhammad Abduh menyusun kurikulum pendidikan Islam dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Namun, secara umum Abduh menggaris bawahi bahwa mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran dari tingkat pendidikan paling dasar (usia dini) hingga tingkat pendidikan tertinggi. Artinya pendidikan agama harus diberikan tingkat pendidikan sedini mungkin. Pandangan ini mengacu pada pendapat bahwa ajaran Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Adapun kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi adalah :
- Untuk tingkat sekolah dasar, kurikulum pendidikannya meliputi: membaca, menulis, berhitung,dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah Islam.
- Untuk tingkat menengah: ilmu logika, dasar penalaran akidah yang dibuktikan dengan dalil qat’I maupuan zany, fikih, akhlak, sejrah Islam dan ilmu debat atau diskusi.
- Untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Dari formulasi kurikulum diatas, sangat jelas bahwa Abduh berusaha menghilangkan dualism pendidikan yang ada pada masa itu. Abduh menghendaki semua sekolah umum untuk memberikan pelajaran agama dan untuk semua sekolah tredisional diharapkan juga menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.
Modernisasi pendidikan yang dilakukan Muhammad Abduh ini diterapkan hingga sekarang di Ponorogo. Dimana di Pesantren Gontor juga diajarkanya ilmu agama namun ilmu pengetahuan umum juga berjalan. Ini sudah menjelaskan bahwa lembaga pendidikan agama seperti Pesantren tidak hanya akan focus terhadap ilmu agamnaya, namun juga berfokus pada ilmu pengetahuan umumnya. (EN)
PROFIL PENULIS
Lilik Maesaroh adalah mahasiswa Psikologi Islam IAIN Kediri. Penulis lahir pada tanggal 24 Agustus 2001. Untuk mengenal lebih dekat, hubungi email : lilikmaesaroh364@gmail.com.
No comments