Mungkin sudah tidak asing lagi bagi warga Mojokerto mendengar kata ‘Majapahit’ yang sudah meninggalkan beragam situs. Ya, Situs Trowulan merupakan kawasan purbakala peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Peradaban Majapahit memang bukanlah legenda, terdapat banyak sekali bukti-bukti otentik arkeologis yang bisa kita temukan di Trowulan hingga saat ini. Desa yang dahulu ditengarai merupakan ibukota Kerajaan Majapahit ini memang menyimpan sejarah yang tak terpisahkan dari sebuah peradaban salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di nusantara. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya di abad ke-16 di bawah tampuk pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Sebagai situs penting dalam dunia arkeologi Indonesia, Trowulan yang telah ditetapkan sebagai sebuah kawasan situs purbakala dan ditetapkan sebagai Kawasan Warisan Dunia oleh Unesco pada tahun 2009 memang telah diakui keberadaannya di mata dunia. Tak terhitung penelitian yang dilakukan di situs yang luasnya 11 x 9 km ini untuk menggali berbagai hal dari peninggalan di masa kejayaan Majapahit, baik hal-hal yang mengandung nilai sejarah namun juga ilmu pengetahuan yang bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Bukan hanya penelitian, pemerintah pun melakukan upaya pelestarian untuk melindungi situs-situs penting tersebut. Satu-persatu situs bangunan ditemukan, digali, dipugar, dipelihara, dan dimanfaatkan hingga keberadaannya bisa kita temukan pada saat ini seperti beberapa situs penting yang sempat dikunjungi oleh Tim Indonesia Asri pada bulan Agustus lalu yaitu Candi Brahu, Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajangratu, Candi Tikus, Gapura dan lain-lain.
Kisah kejayaan kerajaan Majapahit masih menjadi perbincangan hingga kini. Jejak kebesarannya terus diteliti oleh arkeolog, ilmuwan, hingga paranormal. Kerajaan yang pernah tumbuh besar pada tahun 1293 M hingga ambruk pada sekitar tahun 1500 M ini menyisakan banyak jejak sejarah. Jejak-jejak itu dicoba untuk dikembalikan dengan dibangunnya puing-puing sisa kerajaan di sebuah desa di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Secara khusus banyak wartawan yang melakukan peliputan sisa-sisa keruntuhan Majapahit di Desa Bejijong, di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Desa tersebut memang dipenuhi sisa bangunan, tembok kuno, batu-batuan kuno, hingga tata letak bangunan-bangunan yang menunjukkan usia yang sudah sangat tua. Tak heran jika Desa Bejijong dikenal sebagai Kampung Majapahit.
Untuk menuju Desa Bejijong tidaklah sulit karena posisi desa berada persis di pinggir jalan. Melewati gapura Kampung Majapahit pemandangan memang sudah berbeda dibanding dengan desa-desa tetangga. Sebuah rumah bergaya kuno berdiri kokoh. Bentuk bangunan rumah menyerupai pendopo, sedikit terbuka dengan empat tiang kayu penyangga. Lantai terbuat dari batu sungai yang ditutup dengan batu berwarna merah marun. Atap rumah berbentuk limas segitiga yang memanjang. Kemudian pintu masuknya terdiri dari dua daun pintu kembar yang terbuat dari kayu dengan ukuran lumayan besar. Di kiri dan kanan pintu terdapat dua buah jendela yang juga terbuat dari kayu.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Andi Muhammad Said menjelaskan, desain rumah Kampung Majapahit yang dibuat saat ini merupakan hasil modifikasi dari rumah kawula (rakyat biasa) Majapahit kala itu. Dengan konsep di zaman itu, ruangan rumah hanya berfungsi sebagai tempat tidur, sementara aktivitas kehidupan lainnya dilakukan di luar rumah. “Hanya saja atap yang ada sekarang sudah menggunakan desain modern. Sementara untuk rumah Majapahit zaman dulu biasanya modelnya menggunakan atap sirap,” katanya. Rumah-rumah itu dibangun guna mengembalikan kampung Majapahit sesuai penelitian-penelitian para arkeolog, bahwa kerajaan Majapahit berlokasi di Trowulan.
Lalu, setelah melewati rumah pendopo tersebut, suasana perkampungan ala Majapahit semakin terasa. Pasalnya, semakin masuk kampung semakin banyak pula rumah yang berbentuk serupa. Rumah itu berjajar-jajar berdampingan di kanan dan kiri jalan utama desa. Yang membedakan hanyalah ukurannya, ada yang besar ada yang kecil. Di Desa ini memang terdapat banyak peninggalan bersejarah Kerajaan Majapahit. Diantaranya Candi Brahu dan Makam Siti Inggil yang merupakan makam sang raja Majapahit yaitu Raden Wijaya. Di Bejijong juga terdapat Maha Vihara Majapahit Bejijong. Bangunan-bangunan kuno itu menyatu dengan rumah-rumah bergaya kuno, meski dibangun baru sekitar dua tahun sebagai proyek mengembalikan wajah kampung Majapahit.
Pembangunan desa wisata bertema kampung Majapahit ini sendiri tidak hanya berada di Desa Bejijong. Dua desa lainnya yang disulap adalah Desa Sentonorejo dan Desa Jatipasar. Total ada 296 rumah yang dibangun, sebanyak 200 rumah ada di Desa Bejijong, 46 di Desa Sentonorejo, dan 50 rumah lainnya di Desa Jatipasar. Rumah-rumah itu dibangun agar bisa mengesankan sebuah desa masa zaman kerajaan Majapahit. Pembangunan ke-296 rumah itu dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, anggaran bersumber dari APBD provinsi Jatim tahun 2014 sebesar Rp 5,92 miliar, dan Rp 1,48 miliar dari APBD Pemkab Mojokerto. Kemudian pada tahap kedua, anggaran yang dikucurkan dari APBD provinsi Rp 7,4 miliar, sedangkan dari APBD Pemkab Mojokerto Rp 2,5 miliar. Sehingga secara keseluruhan, rumah majapahit di ketiga desa tadi menghabiskan total anggaran sebesar Rp 16,3 miliar.
Namun baru-baru ini, muncul wacana pemerintah akan menambah jumlah pembangunan rumah Majapahit hingga 300 unit lagi di tiga desa yang berbeda. Yaitu di Desa Trowulan, Temon dan Watesumpak. Dengan begitu rumah majapahit di Trowulan total akan menjadi 596 unit yang tersebar di enam desa. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Andi Muhammad Said melanjutkan, kedepannya rumah Majapahit yang ada di enam desa ini diharapkan bisa menjadi tempat akomodasi para wisatawan. Seperti tempat homestay, toko suvernir barang kerajinan, dan tempat kesenian seperti panggung. Jadi masyarakat desa bisa diberdayakan sepenuhnya dan pengunjung juga bisa bermalam dan merasakan tinggal di kampung Majapahit.
Jika itu tercapai maka bukan tidak mungkin desa-desa wisata ini bisa menjadi ‘museum hidup’. Dimana masyarakat bisa menyaksikan kembali nuansa peninggalan sejarah salah satu kerajaan terbesar di Jawa. Tidak hanya dengan menyaksikan artefak-artefak yang tersimpan dan candi-candi yang berdiri kokoh. Tak hanya sekadar rumah dan bangunan kuno saja yang menyuguhkan nuansa kuno di Desa Bejijong. Namun desa dengan julukan Kkampung Majapahit itu juga semakin membawa imajinasi pada kerajaan Majapahit zaman dulu karena aktivitas sebagian besar warganya. Di kampung tersebut warganya kebanyakan berprofesi sebagai pengrajin batik tulis khas Majapahit. Sebagian lainnya adalah pengrajin patung tanah liat.
Warga pembuat batik menuturkan bahwa batik Majapahit sendiri sebenarnya sama dengan batik yang ada di daerah lainnya. Hanya saja untuk motifnya, batik Majapahit lebih mengangkat peninggalan-peninggalan era Majapahit. Seperti ada ukiran candi, tanaman, atau bunga yang dipercaya pernah ada saat Majapahit berkuasa. Dari ciri khas yang ada, batik Majapahit hampir sama dengan batik yang ada di Yogyakarta. Dimana warna dominan batiknya yaitu coklat muda dan biru. Batik khas peninggalan Majapahit memang memiliki corak dan motif yang berbeda dibanding dengan batik-batik daerah lain. Kekhasan batik tulisnya terletak pada simbol Surya Majapahit. Sepotong kain batik tulis dengan kualitas bagus bisa membutuhkan waktu sebulan. Selain motif Surya Majapahit, motif-motif batik khas Mojokerto lebih banyak berasal dari alam seperti sisik grinsing, mrico bolong, pring sedapur, dan burung bertengger.
Kampung ini menyimpan banyak candi hingga peninggalan bersejarah dari Kerajaan Majapahit. Situs Trowulan memiliki luas hampir 100km2. Dengan lahan seluas itu, Situs Trowulan di Mojokerto memiliki beberapa candi seperti Candi Brahu, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, dan Candi Kedaton. Tidak hanya candi-candi, terdapat juga kolam segaran, makam permaisuri Brawijaya, pendopot Majapahit dan makam Syeikh Jumadil Qubro. Selain itu yang menjadi pusat perhatian adalah patung Sleeping Buddha. Patung Sleeping Buddha memiliki panjang 22 meter dengan lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter. Patung ini menjadi patung Sleeping Buddha terbesar di Indonesia. Bisa jadi rekomendasi bagi traveler pecinta sejarah. Jadi tidak perlu ke luar negeri kan untuk melihat patung Buddha tidur.
Dari jalan utama, kita dapat berjalan ke Kompleks Vihara Sasono Bhakti yang berada di perkampungan warga. Di dalam Vihara tersebutlah patung Buddha tidur berada. Berdasarkan, Patung Buddha Tidur memiliki Panjang 22 Meter dengan lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter. Bahannya menggunakan beton dan dipahat langsung oleh pengrajin patung asal Trowulan. Pembuatan patung ini dilaksanakan pada tahun 1993 oleh YM Virhanadi Maha Tera. Patung Buddha tidur ini berada di kompleks Vihara yang digunakan untuk umat Buddha untuk sembahyang. Di sisi lain juga di kompleks ini, terdapat miniatur Candi Borobudur dan Patung-Patung Buddha yang berukuran kecil.
Setelah mengunjungi Patung Buddha Tidur, kita dapat mengunjungi Candi Brahu yang letaknya tidak jauh dari tempat Patung Buddha Tidur. Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Trowulan. Jika dari Patung Buddha tidur kita tinggal mengikuti jalan ke arah jalan utama. Kemudian di perempatan kita belok kiri setelah bertemu dengan pertigaan kita mengarah barat dan kemudian kita sudah melihat Candi Brahu dari kejauhan. Untuk memasuki kawasan Candi Brahu tidak dipungut biaya, hanya membayar parkir sebesar Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. Bentuk Candi Brahu menyerupai pinggang manusia di bagian tengah dan memiliki sudut banyak. Dibangun dengan menggunakan batu merah dan menghadap ke barat. Bentuk atap candi bersudut prisma dengan segi empat, berbeda dengan kebanyakan candi lainnya. Di sekeliling Candi Brahu terdapat taman dengan pohon rindang dan rumput yang hijau mempesona, menambah cantik kawasan Candi Brahu ini.
Setelah mengunjungi Candi Brahu, kita dapat mengunjungi Candi Bajang Ratu. Candi Bajang Ratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Trowulan. Candi Bajang Ratu merupakan candi yang cukup populer karena sering dijadikan spot foto-foto selfie yang memang tempat ini cukuplah bagus untuk buat foto. Bentuk candi ini menyerupai gapura dengan tangga naik turun yang mirip dengan pintu gapura kerajaan Majapahit. Di dekat Candi Bajang Ratu juga terdapat Situs Kedaton dan juga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto. Setelah dari Candi Bajang Ratu, kita dapat mengunjungi Candi Tikus. Candi Tikus terletak di sebelah timur Candi Bajang Ratu. Candi tikus berbentuk unik karena berbeda dengan bentuk candi lainnya. Candi Tikus berada di tengah-tengah kolam air. Dinamakan Candi tikus karena pada mulanya tempat penemuan candi ini dulunya merupakan sarang tikus. Candi ini dilakukan pemugaran pada tahun 1984.
Setelah mengunjungi beberapa candi, kita kemudian mengunjungi Museum Trowulan Mojokerto. Museum ini terletak di Jalan Pendo Agung, Trowulan dekat dengan kolam segaran. Museum ini merupakan Museum Arkeologi yang sangat terkenal di Mojokerto. Di dalam Museum ini kita dapat melihat barang-barang purbakala peninggalan kerajaan Majapahit. Kawasan Trowulan memang menyimpan situs-situs bersejarah Kerajaan Majapahit. Bagi yang suka jalan-jalan sejarah sangatlah cocok untuk berkunjung ke Trowulan. Tak heran kawasan ini dijuluki Kampung Majapahit. (EN)
Biografi Penulis
Maulidiya Nur Farida, Mahasiswa semester 1 jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Prestasi yang pernah diraih adalah lomba paduan suara. Untuk mengenal lebih jauh bisa menghubungi email saya maulidiyalidiya6@gmail.com
No comments